KRI Belati 622: KCR Hybrid Pengganti KRI Rencong (622), Diperkuat Rudal Anti Kapal Atmaca

Jagad Kapal Cepat Rudal (KCR) Satuan Kapal Cepat (Satkat) TNI AL memasuki era baru, yakni dengan hadirnya KCR 60M KRI Belati 622, produksi galangan swasta nasional, PT Tesco Indomaritim. Disebut era baru, pasalnya KRI Belati 622 menjadi kapal cepat pertama TNI AL yang mengadopsi propulsi hybrid dan yang pertama dipersenjatai rudal anti kapal Atmaca.
Baca juga: Kapal Cepat Rudal KRI Rencong 622 Terbakar dan Tenggelam di Perairan Sorong
Berlokasi di Dermaga Jetski Cafe, Pantai Mutiara, Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 2025, digelar acara shipnaming KRI Belati 622, dipimpin secara langsung oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali.
Kapal ini merupakan kapal perang multifungsi yang dapat difungsikan sebagai kapal patroli maupun kapal kombatan, terbuat dari material Marine Aluminium, didesain dengan konsep Hybrid Mechanical Propulsion System yaitu kombinasi antara system propulsi water jet dengan propeller (baling-baling) untuk menghasilkan kecepatan tinggi, manuver yang lincah dan hemat bahan bakar serta mampu beroperasi di seluruh perairan Indonesia.

Sistem propulsi hybrid KRI Belati 622 dikembangkan bersama perusahaan asal Selandia Baru. Dapur pacu KCR terbaru TNI AL ini terdiri dari 2 water jet Hamilton HT900 serta 2 mesin diesel yakni MTU 16V 4000 M93L dan MTU 16V 4000 M63L, sementara kecepatan maksimum mencapai 30 knot.
Sistem persenjataan pada KRI Belati 622 terdiri dari meriam utama pada anjungan – Leonardo Marlin 40 RC, dua unit kanon PSU (Penangkis Serangan Udara) kaliber 20 mm, dan empat unit rudal anti kapal Atmaca buatan Roketsan.

Mendukung operasional rudal Atmaca, KRI Belati 622 dilengkapi dengan CMS (Combat Management System) dari Havelsan dan radar CENK 200N dari Aselsan. Baik rudal anti kapal, CMS dan sistem radar, kesemuanya adalah produksi industri pertahanan Turki.
Adapun spesifikasi KRI Belati 622, punya panjang lambung 62 meter, lebar 9 meter, tinggi 5 meter, dan berat 500 ton. Diawaki 62 personel, KRI Belati 622 setelah komisioning akan ditepatkan di Satuan Kapal Cepat (Satkat) Koarmada III, dan akan Operasi Militer Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk misi pengamanan perbatasan dan operasi SAR.

Bagi Satkat Koarmada III, kehadiran KRI Belati 622 merupakan pengganti dari KRI Rencong – yang juga bernomer lambung 622, buatan pabrikan Korea Selatan yang terbakar dan tenggelam pada tanggal 11 September 2018 di sekitar wilayah Sorong Papua. Sebagai catatan, KRI Rencong 622 adalah KCR Mandau class yang pada masa jayanya dilengkapi rudal anti kapal Exocet MM38 buatan Perancis.
Dalam amanatnya, KSAL menyampaikan bahwa penggunaan nama belati melambangkan karakter daya gerak dan manuver kapal yang cepat, terarah, dan efektif yang menuntut akselerasi cepat, singkat, dinamis, perubahan arah presisi, serta keputusan yang tepat dan tegas yang memanfaatkan momentum.
“Terbangunnya kapal ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam pemenuhan kebutuhan alutsista, khususnya untuk memperkuat postur kekuatan maritim,” ujar KSAL. (Gilang Perdana)
Lewat PT Republik Defensindo, Indonesia Borong 45 Unit Rudal Jelajah Anti Kapal Atmaca


@kepo: “kalo ditanya knp cms + persenjataan kapal bisa beda itu karena kapal perang dirancang open source, pihak pembeli bebas memilih cms, sensor, senjata nya sendiri , beda dengan jet tempur yang dirancang dari awal sesuai standar pabrik alias negara produsen.” secara umum, pengadaan kapal perang memang menawarkan fleksibilitas yang jauh lebih besar bagi pembeli untuk memilih dan mengintegrasikan subsistem (CMS, sensor, senjata, dll.) daripada jet tempur namun, hal ini lebih tepat disebut modularity dan integrasi sistem terbuka daripada “open source” murni. Kapal perang modern, terutama fregat dan korvet, dirancang dengan filosofi modularitas, seringkali menggunakan sistem yang terpisah, seperti Combat Management System (CMS), yang dapat diintegrasikan dari vendor berbeda (misalnya, Thales, Havelsan, dll). Dalam proyek kapal perang, pembeli (angkatan laut/pemerintah) memiliki pilihan untuk menunjuk integrator sistem independen, ini memungkinkan angkatan laut untuk mengoptimalkan kapabilitasnya, mendukung industri pertahanan lokal, dan menghindari ketergantungan pada satu pemasok tunggal (vendor lock-in). Banyak sistem di kapal perang menggunakan prinsip COTS (Commercial Off-The-Shelf) dan arsitektur terbuka (open architecture), terutama pada perangkat keras komputasi di ruang operasi. Hal ini memudahkan upgrade di masa depan tanpa harus kembali ke produsen asli untuk keseluruhan sistem. Sedangkan dalam pengadaan jet tempur memang benar hal itu sangat ketat karena dirancang dari awal sesuai standar pabrik berdasarkan kebijakan dari negara produsennya, sering disebut sebagai “kotak hitam” (black box). Perangkat lunak misi, sistem avionik, dan teknologi siluman (khusus generasi ke-5) adalah rahasia dagang strategis yang dijaga ketat oleh negara produsen, dengan akses yang terbatas pembeli harus menerima “paket” yang ditawarkan. Akses ke source code perangkat lunak misi sangat jarang diberikan karena dianggap aset kritis untuk keunggulan tempur (berbeda dengan Israel yang diberikan hampir sepenuhnya keleluasaan operasional pada F-35I mereka dari AS). Singkatnya, jet tempur adalah senjata yang bergantung pada keunggulan teknologi tinggi yang sangat terbatas bahkan tertutup, sedangkan kapal perang seringkali dirancang dengan fleksibilitas dan modularitas yang lebih besar untuk mendukung kemandirian industri pertahanan lokal, kapal perang memberikan ruang manuver yang jauh lebih besar bagi pembeli untuk menyesuaikan kapabilitas tempurnya dibandingkan jet tempur.
“kecuali di modif bisa pakai rudal buatan negara lain (kalo ga dikasih source code nya ya mentok kaya ukraina + turki pake tablet ).” seperti yang sudah dijelaskan, akses ke kode sumber atau sorce code amat sangat terbatas bahkan tidak diberikan apalagi untuk pengintegrasian sistem senjata buatan yang beda produsen seperti case Ukraina (dalam perang) dan Turkiye (uji coba) karena perbedaan arsitektur avionik dan sistem tempur yang sangat tertutup (proprietary) serta source code pada komputer misi yang tidak tersedia. Kasus Ukraina, metode yang digunakan bukanlah integrasi penuh, melainkan integrasi darurat yang disederhanakan, sering disebut sebagai hack atau bypass operasional memungkinkan rudal ditembakkan, tetapi pilot tidak mendapatkan data pelacakan canggih (misalnya, range, lock-on status, track file) langsung ke Head-Up Display (HUD) atau tampilan utama Soviet pada jet tempurnya. Ini adalah solusi yang didorong oleh kebutuhan perang yang mendesak dengan bantuan ahli teknis Barat, untuk memberikan kemampuan serangan udara ke permukaan (anti-radar) dengan cepat, yang sebelumnya tidak dimiliki Ukraina. Lalu, kasus Turkiye jelas berbeda lagi, mereka bukan mengatasi perbedaan arsitektur, melainkan mengatasi keterbatasan izin integrasi dari produsen jet (AS) untuk senjata buatan lokal mereka sendiri. Turkiye berinvestasi besar pada industri pertahanan lokal (ASELSAN, ROKETSAN) dan ingin memastikan senjata mereka (seperti rudal jelajah SOM-J dan rudal udara ke udara GÖKDOĞAN/BOZDOĞAN) dapat digunakan pada armada F-16 mereka, terlepas dari keputusan politik AS. Turkiye menggunakan pendekatan yang lebih canggih, yang merupakan langkah menuju arsitektur avionik terbuka yang mereka kembangkan sendiri, mengembangkan sistem antarmuka yang memungkinkan komputer misi F-16 mengenali pylon dan rudal sebagai beban eksternal (mengatasi hardware lock), tablet yang di kokpit F-16 berfungsi sebagai layar khusus untuk perencanaan dan kendali penerbangan rudal jelajah (SOM-J). Daripada mengintegrasikan data rudal ke dalam komputer misi F-16 yang tertutup (tanpa izin AS), tablet itu sendiri (yang berjalan di atas sistem operasi buatan Turki) berkomunikasi langsung dengan rudal yang digotongnya. Ini adalah solusi yang didorong oleh strategi kemandirian teknologi untuk menghindari vendor lock-in AS dan memastikan produk pertahanan lokal mereka dapat beroperasi penuh tanpa persetujuan pihak luar.
“sebenarnya bisa aja pake cms buatan eropa seperti thales tapi ya jauh lebih mahal sih seharusnya untuk biaya integrasi nya, jadi emang dipilih versi hemat (1 paket full turkifikasi).” beberapa kapal perang TNI-AL sudah menggunakan CMS buatan Eropa dalam hal ini Thales dari Prancis yaitu Thales TACTICOS, seperti 4 korvet SIGMA dan 2 PKR SIGMA (Baseline 2 yang lebih canggih, bekerja sama dengan PT Len Industri) serta 1 Multi Role Light Frigate (MRLF) yaitu KRI Usman Harun (kemungkinan Baseline 1, sebagai bagian dari program Mid Life Modernization (MLM) kapal). Upaya Turkifikasi memang sudah terlihat, bagi kapal kombatan yang akan dipasangi rudal Atmaca sudah pasti menggunakan CMS dari negara produsen yang sama.
“cuman saya bingung nya gini, kalo kcr aja bawa 4 rudal anti kapal, kenapa kita harus beli korvet (4 rudal anti kapal juga).” ya ndak usah bingung, bayangkan saja pada aspek pergelarannya jika 1 KCR (4 rudal AShM), 1 korvet (4 rudal AShM + 2 rudal hanud titik Shorad + 2 torpedo) dan 1 PKR (8 rudal AShM + 12 rudal hanud titik ke area + 2×3 torpedo) masih cukup mumpuni apalagi KCR dapat cover udara sekalian cover ancaman bawah air dari korvet dan PKR, ini belum dikalikan total jumlah kapal yang dimiliki (untuk menambah daya gedornya) dan gambaran pergelaran ini hanya sebatas pandangan awam saja. Mengapa kita harus beli? Karena butuh untuk ikut bersama menjaga perairan yang sangat luas ini, itulah mengapa kita harus kuat fondasinya sebagai pemilik Green Water Navy yang mapan sebelum melangkah ke Blue Water.
“amerika serikat setau aku udah dari lama menghapus klasifikasi kapal perang yang terlalu berdekatan misalnya korvet , lalu untuk kapal fregat juga dihapus amerika.. makanya jika dilihat : armada AL amerika di isi kapal destroyer + penjelajah, untuk kapal operasi laut teritorial mereka pakai LCS.” sudah jelas karena mereka menegakkan doktrin Mahan, di mana prinsip intinya adalah pentingnya kekuatan angkatan laut dan kontrol jalur laut baik untuk perdagangan maupun pergerakan pasukan, lihat dalam satu Carrier Strike Group (CSG) lebih banyak destro dan cruiser dengan AEGIS yang mengambil peran escort untuk kapal induknya. US Navy juga menggunakan Kapal Tempur Pesisir (Littoral Combat Ship – LCS) untuk misi di perairan dekat pantai, seperti mengatasi ancaman di wilayah pesisir dengan kecepatan dan kelincahan tinggi. LCS dirancang untuk beroperasi di lingkungan pesisir abad ke-21 dan dilengkapi untuk menangani tantangan di wilayah-wilayah pesisir di seluruh dunia, mereka tak membutuhkan korvet seperti Rusia dan Indonesia (selain korvet juga KCR).
“tapi sekarang karena biaya membuat kapal besar mahal, amerika juga udah mulai lagi membuat kapal fregat yaitu fregat constellation class yang didasarkan pada kapal fregat freem ( versi amerika tentunya lebih canggih tapi lebih murah dibanding destroyer).” mengapa AS membangun kapal frigate baru yaitu kelas Constellation yang didasarkan pada desain frigate multiguna Eropa (FREMM) ? Karena untuk menggantikan kapal tempur pesisir (Littoral Combat Ships/LCS) yang bermasalah dan memenuhi peran baru serta tantangan di era modern. Frigate kelas Constellation dirancang untuk menjadi platform multi-misi yang kuat, mampu melakukan patroli, pengawalan, dan peperangan bawah laut, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kapal LCS. Amerika Serikat akan tetap menggunakan kapal perusak dan penjelajah meskipun membangun frigate baru, penambahan frigate baru ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan armada secara keseluruhan dalam berbagai jenis operasi, sambil tetap mengandalkan kapal perusak dan kapal penjelajah untuk peran-peran khusus dan pertempuran yang lebih intens.
“beli kapal induk tapi sebagian armada udah tua bekas jerman timur (korvet)+ belanda (fregat) ya sama aja boong.” ini saya setuju, sebaiknya dipikirkan lagi toh lebih baik memodernisasi seluruh kapal perang TNI-AL di berbagai segmen dengan kapal-kapal modern sambil menunggu kapal LHD 243 meter rancangan PT PAL launching 👍
“harusnya p 8 poseideon biar bisa buat ketar ketir kapal selam musuh..
wkwk malah ga dibeli, AU jg gajelas mlh awacs ga dibahas mau beli apa.” sayangnya tetangga selatan dan dekat Batam sudah start lebih dulu, kita sebaiknya perbanyak CN-235MPA dan jika ingin melirik pesawat MPA luar sebaiknya pertimbangkan jenis A400MP Cormorant yang digunakan Spanyol, bahkan, pesawat bermesin empat turboprop rival Sea Hercules tersebut diklaim punya kemampuan melebihi Boeing P-8A Poseidon. Terkait AEW&C kerjasamanya sudah diteken bersama Turkiye dan benar untuk platformnya masih belum jelas hingga kini, apabila CN-235 yang digunakan justru nanggung lebih baik C-295 saja dan kalo kita masih sabar menunggu, tahun 2030, RAAF akan mempensiunkan E-7A mereka secara bertahap, ini bisa jadi peluang kita untuk beli mengingat akan mudah di “Turkifikasi”-kan ke platform tersebut mengingat Turkiye sudah punya E-7T Peace Eagle
@Widya Satria Budhi
oke infonya, kalo ditanya knp cms + persenjataan kapal bisa beda itu karena kapal perang dirancang open source, pihak pembeli bebas memilih cms, sensor, senjata nya sendiri , beda dengan jet tempur yang dirancang dari awal sesuai standar pabrik alias negara produsen : source code, sensor, senjata , cms (link 16 dll) udah di tentukan. kecuali di modif bisa pakai rudal buatan negara lain (kalo ga dikasih source code nya ya mentok kaya ukraina + turki pake tablet )
oke balik lagi, knp cms nya + sensor (radar) + rudal pake buatan turki , sebenarnya bisa aja pake cms buatan eropa seperti thales tapi ya jauh lebih mahal sih seharusnya untuk biaya integrasi nya, jadi emang dipilih versi hemat (1 paket full turkifikasi).
selanjutnya soal perbedaan tugas kcr, korvet dan fregat saya tau kok gaperlu dijelasin tapi makasi uda jawab.
cuman saya bingung nya gini, kalo kcr aja bawa 4 rudal anti kapal, kenapa kita harus beli korvet (4 rudal anti kapal juga)… jadi gini , amerika serikat setau aku udah dari lama menghapus klasifikasi kapal perang yang terlalu berdekatan misalnya korvet , lalu untuk kapal fregat juga dihapus amerika.. makanya jika dilihat : armada AL amerika di isi kapal destroyer + penjelajah, untuk kapal operasi laut teritorial mereka pakai LCS , tapi sekarang karena biaya membuat kapal besar mahal, amerika juga udah mulai lagi membuat kapal fregat yaitu fregat constellation class yang didasarkan pada kapal fregat freem ( versi amerika tentunya lebih canggih tapi lebih murah dibanding destroyer). disini bisa dilihat amerika ga membangun kapal yang ukuran + spesifikasi nanggung (kcr + korvet kan mirip cuma bawa 4 rudal anti kapal). contoh lain rusia, di sana kapal korvet itu spesifikasi ya sama kaya kapal fregat (minimal 8 rudal anti kapal)
intinya kenapa indo gak menstandarisasi kapal korvet nya itu sekelas kaya fregat ringan martadinata (jadi korvet korvet tua dipensiunkan,lalu distandarisasi dg martadinata, jadi tugas patroli teritorial diserahkan ke kcr lalu kapal korvet masa depan (minimal ukuran + spesifikasi sama dg martadinata) bisa patroli diluar teritori gitu.
jadi jika standarisasi korvet minimat fregat ringan REM atau istif kan lebih bagus punya daya gedor lebih tinggi (8 rudal anti kapal + bisa bawa sam vertical launch system)
kalo korvet kan mentok cuma rudal anti kapal yang sama dengan kcr + sam nya ada yg vls (tp lebih kecil jumlahnya) + ada yg manpads rc (versi AL)
harusnya sih itu yg urgen, beli kapal induk tapi sebagian armada udah tua bekas jerman timur (korvet)+ belanda (fregat) ya sama aja boong
yg urgen lainnya : harusnya p 8 poseideon biar bisa buat ketar ketir kapal selam musuh..
wkwk malah ga dibeli, AU jg gajelas mlh awacs ga dibahas mau beli apa (masa iya pake cn235 yg belum ada negara yg make) wkwk
@kepo: Itulah hebatnya kita dengan standar “Gado-Gado” nya, beda rudal yang dibawa beda pula CMS pada masing-masing kapalnya 👍😅 kenapa sekelas kapal KCR dipersenjatai 4 rudal anti kapal dan korvet sigma diponegoro juga 4 sedangkan fregat martadinata aja 8? Saya coba bantu jawab, secara umum KCR atau kapal cepat rudal dirancang untuk operasi cepat di perairan dangkal dan pesisir karena ukurannya yang relatif kecil, persenjataannya berfokus pada kecepatan dan daya hancur yang spesifik (terbatas pada permukaan), korvet sebagai kapal yang lebih besar dan serbaguna dari KCR mampu melaksanakan berbagai misi peperangan, termasuk anti-kapal permukaan, anti-kapal selam, dan anti-udara (levelnya di atas KCR dan di bawah PKR), lalu PKR atau perusak kawal rudal adalah kapal perang terbesar dan tercanggih di antara keduanya. PKR memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman multi-spektrum, mulai dari udara, permukaan, hingga bawah air, menjadikannya kapal perang serbaguna (multi-role).
Dengan melihat deskripsi fungsi masing-masing sudah bisa dipastikan mengapa jumlah rudal anti kapal permukaan ke permukaan yang dibawa bisa berbeda, KCR didesign fokus di peperangan permukaan minus anti-udara (mungkin saja bisa tapi sangat terbatas) dan minus anti-kapal selam berdasarkan ukuruan kapal, korvet berada di atasnya dengan kemampuan 3 dimensinya perlu berbagi tempat dengan persenjataan lainnya berdasarkan design kapalnya, kemudian PKR yang diatas keduanya dengan design kapal yang lebih besar dengan tugas atau kemampuan yang mutidimensi dan serba guna tentu membawa berbagai persenjataan yang lebih besar karena ruang berbaginya tak sekecil korvet
@ admin
iya benar KRI kelas Sampari (KCR 60M) pertama, seperti KRI Sampari-628 dan KRI Tombak-629, dipersenjatai dengan empat peluncur rudal anti-kapal C-705 buatan Tiongkok, sedangkan kapal-kapal berikutnya dalam kelas ini menggunakan rudal anti-kapal Exocet MM40 Blok 3 dari Prancis.
tapi kenapa sekelas kapal kcr dipersenjatai 4 rudal anti kapal , sama juga dengan korvet sigma diponegoro yang cuma 4 min? kenapa sekelas korvet tidak ditambah peluncurnya?
fregat martadinata aja 8 lho
dulu rame reverse enginering rudal anti kapal c-705 , lalu ga ada kabar nya ..tau tau beli rudal turki
r&d elang hitam ucav tiba tiba hilang lalu beli drone dalam jumlah besar dari turki
sebenarnya aku mau tanya doang, negara kita sebenarnya mampu kagak sih buat sendiri? kalo kagak mampu ngapain buang buang anggaran r&d lalu hilang kabarnya dan boom tiba tiba impor lagi?
balik ke topik, biasanya kcr cuman mentok 2 rudal kan min? knp ini bisa 4 rudal ( setara korvet)
8 rudal anti kapal biasanya frigat, lalu 16 rudal anti kapal + (destroyer)
oiya indo impor kcr turki yaitu dari desain FACM-70 Sefine Shipyard
@Kepo: Tidak benar cuman mentok 2, buktinya KCR Mandau class bisa membawa empat rudal Exocet MM38, juga KCR seperti KRI Halasan 630 – bisa membawa empat rudal Exocet MM40.
nah mantap @admin, amunisi 20mm untuk kebutuhan TNI ini masih sepenuhnya impor atau sudah ada upaya untuk produksi lisensi secara lokal?