HAPS Masuk dalam Rencana Strategis Kemenko Polhukam, Inilah Tanggapan dari Kohanudnas
|Para pembaca yang budiman tentu pernah mendengar nama seperti pesawat tanpa awak NASA Helios, Facebook Aquila, Thales Stratobus, Airbus Zephyr sampai balon udara Google Loon. Kesemuanya adalah wahana yang dirancang untuk mengangkasa di ketinggian stratosfer, yaitu di rentang 15.000 – 40.000 meter di atas permukaan bumi. Seperti telah dikupas dalam beragam literasi, peran wahana-wahana tadi adalah untuk mendukung akses komunikasi dan data, khususnya di area-area yang kurang tersentuh akses broadband dari operator.
Baca juga: Kemhan Digugat Perusahaan Satelit Asal Inggris, Inilah Profil Satelit Artemis!
Dalam pengkategorian, wahana-wahana tadi disebut High Altitude Platform Station (HAPS), atau di Indonesia akrab disebut Wahaha Dirgantara Super. Meski nampak masih jauh dari implementasi, namun ternyata HAPS telah dilirik oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Persisnya pada 26 Agutus 2019 di Bandung, telah digelar Forum Koordimasi dan Konsultasi Telekomunikasi dan Informatika yang mengangkat tema “Pemanfaaatan HAPS dalm Rangka Pertahanan dan Keamanan di Daera Terluar, Terpencil Serta Wilayah Perbatasan.”
Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Infromasi dan Aparatur, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan Marsda TNI Budi Rus Nurhadi Sutejo menyebut forum konsultasi ini bertujuan untuk mensosialisasikan penggunaan dan pemanfaatan teknologi pendukung HAPS untuk kepentingan jaringan aman mandiri dan dampaknya bagi perkembangan industri telekomunikasi dalam negeri.
Oleh beberapa panelis dipaparkan bahwa HAPS memiliki kemudahan dalam penempatan, fleksibilitas, biaya operasional rendah, delay propagasi rendah, sudut elevasi lebar dan cakupan relatif luas. Selain itu secara teknologi, HAPS memiliki potensi sebagai backbone komunikasi pita lebar untuk menjangkau daerah rural. Dan yang lebih penting HAPS dianggap tidak membahayakan lalu lintas penerbangan sipil karena berada pada posisi di atas batas ketinggian maksimal pesawat terbang komersil.
Meski punya sejumlah keunggulan, namun bukan berarti HAPS dirancang sebagai pengganti satelit. Lebih tepatnya, HAPS dapat mendukung konektivitas satelit. Pihak yang dapat memanfaatkannya pun bisa berimbang antara kebutuhan sipil dan militer.
Dari spesifikasi, HAPS yang ditempatkan di ketinggian stratosfer merupakan obyek stationer. Pada ketinggian stratosfer dicirikan dalam lingkungan yang low density, low temperature dan low wind.
Karena berada di atas ketinggian teritori udara nasional, sudah barang tentu otoritas pertahanan udara wajib merespon setiap perkembangan yang bakal terjadi di masa mendatang. Asops Kaskohanudnas Kolonel Pnb. Yostariza mewakili Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) dalam forum tersebut menyebutkan ada beberapa poin penting yang dapat disikapi terkait HAPS dalam persepektif Kohanudnas, persisnya pada unsur pengawasan dan pengamanan HAPS.
“Pada posisi stationer di stratosfer, keberadaan HAPS saat ini tidak dapat ditangkap oleh radar, oleh karena itu HAPS nantinya perlu dilengkapi transponder atau ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast). Dan dalam aspek pengamanan, Kohanudnas tidak memiiki alutsista yang dapat digunakan untuk melakukan penindakan di ketinggian lokasi HAPS,” ujar Yostariza.
Jika diasumsikan dalam pemantauan radar hanud sekelas Master-T, yang dikenal sebagai salah satu radar hanud tercanggih TNI AU (Kohanudnas) saat ini, maka jarak ketinggian deteksinya mencapai 100.000 kaki (30,48 km). Itu baru dalam aspek pengawasan.
Untuk peran perlindungan, jet tempur tentu punya keterbatasan operasional. Sebut saja Sukhoi Su-27/Su30 yang dioperasikan Skadron Udara 11, batas ketinggian terbangnya adalah 17,3 km. Belum lagi ada keterbatasan rudal hanud, seperti diketahui Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan rudal hanud di kelas MANPADS SHORADS (Short Range Air Defence System) dengan ketinggian luncur rata-rata mentok di 5.000 meteran.
Lepas dari persepktif pertahanan, implementasi NAPS boleh dibilang masih cukup panjang. Guru Besar Hukum Udara dan Antariksa Universtitas Atma Jaya, Prof Dr. IBR Supancana berpendapat, “lepas dari beberapa kelebihan yang dutawarkan, HAPS secara teknologi belum matang dan terbukti (proven), belum lagi isu regulasi yang kompleks dan cakupan (coverage) dari HAPS terbatas.”
Baca juga: Northtrop Grumman MQ-4C Triton – Drone Intai Maritim HALE, Pengganti P-3C Orion Australia
Meski begitu, apa yang dilakukan militer Amerika Serikat dengan RQ-4 Global Hawk sejatinya sudah masuk dalam pelaksanaan HAPS secara ‘terbatas.” Global Hawk yang masuk kualifikasi drone HALE (High Altitude Long Endurance) dapat terbang di ketinggian 18 km dalam endurance selama 3 hari. Pekerjaan rumah kedepan dalam implementasi HAPS yaitu penyediaan pasokan tenaga (solar cell) agar wahana HAPS dapat mengangkasa dalam durasi yang panjang. (Haryo Adjie)
Mas Bendot aka smilinghari,
Yang buat de zeven class itu khan untuk Eropa dimana mereka pakai untuk AL mereka.
Kalo di kita, smart-L itu tupoksinya hanya cocok dengan doktrin dari TNI AU dalam hal ini adalah Kohanudnas. Salah satu tugas Kohanudnas adalah melacak dan menangkal ancaman rudal balistik. Smart-L punya kemampuan mendeteksi dan melacak rudal balistik dari jarak 2000 km. Jadi yang saya bilang 4-6 unit radar smart-l itu (kalo punya duit untuk beli) bisa ditempatkan di 5 titik di darat dan 1 untuk cadangan. 5 titik itu terdiri dari 2 di utara, 2 di selatan, 1 di sebelah barat. Kalo smart-l jadi dipesan maka itu tandanya pengadaan rudal yang berfungsi untuk menumbuk rudal balistik sudah dekat. Kalo smart-l belum jadi dipesan maka pengadaan rudal yang menumbuk itu masih dalam angan-angan saja.
Sedangkan bagi TNI AL, radar seperti smart-L itu nggak cocok untuk fregat yang hanya berfungsi untuk mengawal floating high value target. Jadi kemungkinan besar radar yang dipakai untuk fregat kita nanti hanyalah NS-200 dan rudalnya hanya essm-er untuk melindungi high value target yang mengapung dan dapat berpindah tempat seperti misalnya LHD.
Oh ya bagi yang mengkritik saya tentang mistral, saya kasih tahu ya kalo Disain LHD dari PT PAL itu lebih panjang daripada Mistral. Mistral panjangnya 199 meter, LHD rancangan PT PAL panjangnya 244 meter.
https://www.instagram.com/p/BlXk84ngM1r/?hl=id
Kalo nanti PT PAL udah bisa bikin LHD yang lebih gede, ngapain harus beli dari Perancis ?
Jadi sampai di sini, mas hari eh mas bendot tahu khan benang merahnya mengapa fregat kita nggak jadi pakai smart-l dan mengapa justru TNI AU yang bisa pakai smart-l ?
Kohanudnas mengoperasikan radar sendiri….ini kan idenya mirip dg kohanudnas yg pengen punya satuan burusergap sendiri yg akhirnya dibatalkan krn kohanudnas, sesuai namanya sbg “Komando”, ia ga perlu punya alutsista sendiri tapi punya wewenang mengkoordinasikan….dan itulah gunanya kemarin2 membahas NCW 😂😂😂
Mas Bendot,
Dulu Kohanudnas di bawah Mabes TNI, sekarang Kohanudnas di bawah TNI AU.
Radar itu dari dulu di bawah Kohanudnas.
Yang sekarang digabung ke TNI AU itu bukan satuan radarnya tetapi Kohanudnasnya sehingga otomatis setiap satrad di bawah Kohanudnas jadi di bawah TNI AU.
Ini kutipan Tugas dari Kohanudnas dari wiki
“Kohanudnas merupakan salah satu Kotama Tempur TNI Angkatan Udara yaitu Koopsau, Kohanudnas, dan Korpaskhas. Kohanudnas bertugas menyelenggarakan upaya pertahanan keamanan atas wilayah udara nasional secara mandiri ataupun bekerja sama dengan Komando Utama Operasional lainnya dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lain dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menyelenggarakan pembinaan administrasi dan kesiapan operasi unsur-unsur Hanud TNI AU dan melaksanakan siaga operasi untuk unsur-unsur Hanud dalam jajarannya (Wing 100 Hanud Terminal/Menengah-Jauh Paskhas, Wing 200 Satuan Radar, Wing 300 Skadron-Skadron Udara Tempur Sergap, dan Wing 400 Hanud Titik Paskhas) dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.”
Jelas ? Daripada menyangkal dan menertawakan lha mbok situ riset dulu.
Tukang Ngitung, PhD alias Mr woof woof yg udah ditendang dari defence.pk hihihi
Oya @tukang ngitung phd, jaman sekarang rudal balistik bisa diluncurkan dari platform di darat maupun dari kapal selam….lalu bagaimana cara kerja (4~6 ????) radar Smart L-EWC untuk mendeteksi rudal balistik yg diluncurkan dari kapal selam yg bisa memposisikan diri dibagian manapun dari perairan disekitar kita karena negara kita terletak di posisi silang antara 2 samudera 🤔
—> karena anda lebih memilih radar Smart L-EWC versi ground based
Pertanyaan anda :
lalu bagaimana cara kerja (4~6 ????) radar Smart L-EWC untuk mendeteksi rudal balistik yg diluncurkan dari kapal selam yg bisa memposisikan diri dibagian manapun dari perairan disekitar kita karena negara kita terletak di posisi silang antara 2 samudera 🤔
_—————–
Itu sebenarnya udah ada di uraian di atas tadi khan udah kubilang “2 di utara, 2 di selatan, 1 di sebelah barat”.
Mau diluncurin dari daratan kek, dari udara kek, mau diluncurin dari permukaan laut kek, dari dalam laut kek, namanya rudal balistik, tetap saja terdeteksi, sebab wiki bilang “Peluru kendali balistik adalah peluru kendali yang terbang dalam ketinggian sub-orbit melalui jalur balistik.”
Smart-l versi ewc bisa ditaruh di atas menara di darat.
https://m.youtube.com/watch?v=EH2jXwiXBr8
Kayak gitu masih pake nanya lagi ?
“Pada posisi stationer di stratosfer, keberadaan HAPS saat ini tidak dapat ditangkap oleh radar, oleh karena itu HAPS nantinya perlu dilengkapi transponder atau ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast). Dan dalam aspek pengamanan, Kohanudnas tidak memiiki alutsista yang dapat digunakan untuk melakukan penindakan di ketinggian lokasi HAPS,” ujar Yostariza.,”
Coba dibelikan radar Smart L-EWC Pak 😂😂😂
Nanti beli kok dipasang di iver barengan sama APAR😜🤣
Saya baca di salah satu formil (@DS)….info dari @tukang ngitung, phd, iver nya ga jadi pake Smart L, tapi diganti dg radar NS-200 bung
Smart-L EWC bisa dipakai AU (bukan AL ya), dalam hal ini Kohanudnas, antara 4 – 6 unit cukup kalo ada duit. Prioritas AU sekarang adalah pengadaan radar GCI terlebih dulu.
“Radar Smart L-MM (aesa gan based)….pengguna perdananya justru AL 🛳⛴️🚢 ”
https://www.navalnews.com/naval-news/2019/03/thales-smart-l-mm-radar-installed-on-hnlms-de-zeven-provincien-frigate/
“Smart L-EWC adalah nama lain dari Smart L-MM 😎”
https://www.thalesgroup.com/en/germany/news/smart-l-ewc-radar-provides-ballistic-missile-defence-capability
4-6 unit radar smart L-EWC utk kohanudnas….banyak banget bung @TN, mungkin bisa dibagi disini analisanya 🙏🏻
Mas bendot@ kalau dr beliau sih , info nya kite mau beli astuti ama mistral malah om xixixixi
Menggunakan transponder ya. Artinya VSAT dong. Apakah pembangunan 42 titik VSAT yang pernah diutarakan bung ayam juga untuk mendukung HAPS
Gak bisa dik durasi panjang karna cuaca sering mendung, baterai yg dibawa cukup berat jk menggunakn durasi panjang yg akn mempengaruhi
😅😆
Drone Garuda rancangan Prof. Jospahat kah 🤔
https://www.indomiliter.com/radar-cp-sar-profesor-josaphat-bakal-jalankan-misi-firebird-c-1/
“Selain untuk misi surveilans, juga bisa mengemban tugas relasi komunikasi 👍🏻https://m.liputan6.com/news/read/2099754/sky-scanner-drone-garuda-vs-drone-rp-45-triliun-jokowi?utm_expid=.t4QZMPzJSFeAiwlBIOcwCw.0&utm_referrer=http%3A%2F%2Fwww.google.com%2F
Lalu satelitnya meluncur kapan? Katanya tahun ini kalo gak salah
Point terakhir yg penting. “Durasi yang panjang”.
Yg selanjutnya “Karena berada di atas ketinggian teritori udara nasional, sudah barang tentu otoritas pertahanan udara wajib merespon setiap perkembangan yang bakal terjadi di masa mendatang.”……ini jg penting. Jng sampai nanti seperti penempatan satelite diluar angkasa, yg mana secara vertikal ada di ruang wilayan RI, tp harus izin penempatannya…..hehehehe
Dik rusky mig 31 bisa terbang distratosfer, bakalan bisa kena tembak mig 31
😅😆