Belum lama ini di bioskop diputar film “Battleship” yang dibintangi aktor kawakan Liam Neeson. Sesuai tradisi Hollywood, film tersebut nampak menghadirkan efek animasi peperangan laut yang spektakuler. Salah satunya dengan menampilkan adegan USS Missouri yang berkali-kali melepaskan tembakan meriam kaliber 410 mm (60 inchi) ke armada alien. (more…)
Tanpa pemberitaan yang berlebih, kedatangan armada helikopter tempur Mi-35P dari Rusia yang melengkapi Skadron 31/Serbu Penerbad pada tahun 2010, nyatanya juga membawa angin segar untuk lini rudal anti tank di Tanah Air. Mi-35P yang juga dikenal sebagai APC terbang, karena kemampuannya membawa 8 pasukan bersenjata lengkap, hadir melengkapi Skadron 31 dengan etalase persenjataan yang cukup garang, seperti roket S-8 kaliber 80mm, pelontar chaff/flare, kanon standar GSh-30-2 kaliber 30mm, dan sosok rudal AT-9 Spiral-2.
Seperti halnya identitas penamaan pada rudal AT-5, identitas AT-9 juga merupakan penamaan yang diberikan oleh pihak NATO. Nama asli rudal ini adalah 9M120 Ataka, dibuat oleh KBP Instrument Design Bureau, manufaktur alutista dari Rusia. Meski kodratnya sebagai rudal pelibas tank, tapi ada kekhususan pada AT-9, yakni rudal ini sengaja dirancang untuk platform peluncuran dari udara.
AT-9 terbilang rudal yang belum berusia terlalu tua, Uni Soviet sendiri baru mulai mengoperasikan rudal ini pada tahun 1990-an. Desain AT-9 merupakan pengembangan dari versi sebelumnya, AT-6 Spiral, dengan penyempurnaan pada sisi akurasi, kecepatan, dan jangkauan. Rudal ini menganut sistem pemandu SACLOS (Semi Automatic Command to Line of Sight), dimana operator harus membidik target sampai rudal berhasil mengenai target, jalur kendalinya berupa sinyal radio. Dalam pola pengoperasiannya, pilot dan juru tembak harus sama-sama mengarahkan helikopter ke arah target hingga rudal tepat tiba di sasaran. Ada rumor yang menyebutkan, versi AT-9 ada yang dirancang dengan pemandu laser, menjadikan AT-9 dapat dioperasikan secara fire and forget.
Rudal AT-9 terpasang pada sayap heli Mi-35P PenerbadRudal AT-9 milik Penerbad dalam sebuah display
Ada tiga jenis AT-9 yang dioperasikan untuk menghajar spesifik target, pertama anti lapis baja dengan tandem HEAT (High Explosive Anti Tank), yakni AT-9 yang dilengkapi proyektil peledak dengan dua tahap detonasi, tandem HEAT memang dipersiapkan untuk menghancurkan kendaraan berlapis baja, termasuk MBT (main battle tank). Kedua adalah jenis 9M120F, pada jenis ini AT-9 dilengkapi dengan hulu ledak thermobaric, pada thermobaric peledak akan menghasilkan gelombang ledakan dengan durasi yang lebih lama, pola ini juga dikenal dengan sebutan “air fuel bomb” yang ditargetkan untuk memanggang pasukan infantri, sehingga dapat mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah besar. Thermobaric mengandalkan oksigen dan udara untuk pengoperasiannya, dan sangat pas untuk menghajar target infantri yang bersembunyi di dalam terowongan, gua, atau bunker.
Jenis ketiga adalah 9A220O, di jenis ini AT-9 dilengkapi dengan hulu ledak expanding rod, sebuah amunisi khusus yang menggunakan pola fragmentasi ledakan annular. Jenis ketiga ini dikhususkan bagi AT-9 untuk melibas target berupa helikopter, untuk akurasinya ada bekal sistem laser pada jenis ini. Tidak ada informasi jenis AT-9 mana yang digunakan oleh Penerbad TNI AD, tapi besar kemungkinan adalah versi utama yakni AT-9 dengan tandeam HEAT. Dari ketiga jenis AT-9 tadi, Rusia juga mengembangkan lagi jenis 9M120M, tidak diketahui pasti fitur yang ditawarkan pada jenis ini, kecuali jangkauan rudal yang didongkrak mencapai 8 Km.
Tampilan utuh rudal AT-9, berikut tabung peluncurnyaTampilan belakang rudal AT-9, berikut tampilan belakang tabung peluncurnya
Dalam segmen rudal anti tank, jangkauan AT-9 terbilang cukup jauh, yakni bisa mencapai 6 – 8 Km dengan kecepatan luncur 550 meter per detik. Rusia pun nyatanya sangat mengandalkan AT-9 sebagai jawara alutsistanya, terbukti rudal ini tak hanya dirancang untuk diluncurkan dari heli Mi-35/Mi-24 saja, heli tempur kelas berat Mi-28 Havoc pun juga mengandalkan AT-9 untuk menggasak target tank. Bahkan tak itu saja, ada versi Ataka-T yang bisa diluncurkan dan platform kendaraan di darat, dan jenis Ataka lain yang bisa meluncur dari kapal patroli.
Rudal AT-9 dipasang pada heli tempur Mi-28 Havoc, AT-9 menjadi lawan tanding untuk rudal Hellfire dari AS
Salah satu yang menarik dari rudal berbobot 49 Kg ini adalah sifat frekuensi radionya yang memiliki kekebalan pada jamming infrared dan elektronik lawan. Alhasil tak hanya Rusia dan Indonesia yang menggunakan AT-9, sampai saat ini AT-9 diketahui juga telah digunakan oleh Venezuela, Brazil, India, dan Slovenia. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi AT-9
Berat keseluruhan : 49 Kg
Berat hulu ledak : 7,4 Kg
Panjang : 1,83 Meter
Diameter : 13 Cm
Sistem Peluncuran : SACLOS (Semi-Automatic Command to Line of Sight)
Moda Peluncuran : air launcher
Lebar sayap : 36 Cm
Jarak Jangkau : 400 meter sampai 6 Km
Kecepatan : 550 meter per detik
Selain warna baret jingga dan corak loreng pada seragam tempurnya, apa yang benar-benar khas dari Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat) – d/h Korps Paskhas TNI AU? Jawabannya adalah kanon triple gun 20mm, pasalnya sosok kanon dengan 3 laras ini begitu melekat pada tugas utama Kopasgat dalam menjaga dan mempertahankan pangkalan udara serta instalasi vital lainnya. (more…)
Pada 16 September 1999 di Lanud El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, disiapkan 2 pesawat tempur Hawk 209, 1 Hawk 109, dan 3 pesawat tempur propeler OV-10 Bronco. Kegiatan berjalan seperti biasa pada hari itu, penerbang Hawk dipersiapkan untuk menggelar Combat Air Patrol (CAP) sebagai inti Operasi Pertahanan Udara “Elang Jaya”. (Dikutip dari Majalah Commando edisi Juli – Agustus 2004) (more…)
F-16 Skadron 3 TNI AU dengan rudal AIM-9 P4 Sidewinder
Bila dicermati, sudah tiga dekade lebih sistem senjata pada pesawat tempur TNI AU bertumpu pada rudal Sidewinder. Semenjak hadirnya F-5 E/F Tiger II pada awal tahun 80-an, hingga kini TNI AU hanya menyandarkan pada kemampuan Sidewinder sebagai rudal udara ke udara. Versi Sidewinder tercanggih yang dimiliki TNI AU adalah AIM-9 P4 yang bisa menghantam target dari beragam sudut. AIM-9 P4 dipasang oleh TNI AU pada pesawat F-16 dan Hawk 100/200.
Dari analisa kekuatan di kawasan regional Asia Tenggara, AIM-9 P4 boleh jadi masih cukup mumpuni untuk eskalasi pertempuran terbatas. Tapi harus diperhitungkan bila yang dihadapi misalnya Australia atau Singapura, yang mempunyai rudal udara ke udara kelas menengah, seperti Sparrow dan AMRAAM, yang masing-masing punya jangkauan tembak 70 Km dan 110 Km. Perlu dicatat, Sidewinder adalah rudal pengejar panas untuk target jarak dekat, dan terkenal afdol dalam dog fight.
Sedangkan belajar dari perang Teluk, konsep pertempuran udara sudah bergeser, berkat kecanggihan sistem deteksi radar pada pesawat, serta dukungan rudal jarak menengah/jauh, target bisa dihajar pada posisi lintas cakrawala, alias antar pilot pun tak mengetahui sosok pesawat lawan secara langsung. Inilah yang harus dipertimbangkan secara cermat, semoga saja generasi Sukhoi Su-27/Su-30 TNI AU nantinya akan dilengkapi rudal yang setara dengan AIM-7 Sparrow atau AIM-120 AMRAAM. Hal ini penting untuk dicatat dan didengar oleh parlemen di DPR RI, mengingat Singapura dan Malaysia sudah membekali jet tempurnya dengan rudal Sparrow dan AMRAAM.
Sukhoi Su-27 Skadron 11 TNI AU, kita berharap agar jet tempur ini segera dilengkapi dengan rudal yang mumpuni.
Mungkin karena alasan politis yang bertele-tele dan anggaran yang ngepas, tak usahlah melirik rudal buatan AS, sebagai opsi TNI AU bisa membeli Vympel R-77/R-27, rudal jarak menengah berjangkauan 80 – 175 Km yang dirancang sebagai persenjataan untuk Sukhoi. Kita semua yakin, kemampuan pilot tempur TNI AU tak kalah cakap dengan pilot dari Negeri Jiran, namun terlepas dari olah ketrampilan tempur di udara, semuanya akan jadi sia-sia bila arsenal persenjataan yang melengkapi jet tempur TNI AU tidak disesuaikan dengan kondisi tantangan yang ada di kawasan. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Westland Wasp TNI AL kini menjadi monumen di Surabaya
Bila merujuk pada kuantitas kapal perang yang dimiliki, boleh disebut TNI AL merupakan angkatan laut terbesar yang ada di kawasan ASEAN. Tapi terbesar belum tentu jadi yang terkuat, perihal yang terkuat masih harus dikalkulasi ulang, terutama bila dilihat dari perspektif jenis dan teknologi alutsista yang dimiliki oleh AL Singapura dan AL Malaysia. (more…)
Dengan pudarnya dominasi rudal di Indonesia, tentu ada perhitungan sendiri, di bawah panji kestabilan ekonomi dan membina hubungan yang baik di kawasan, pada era Soeharto pengembangan rudal mulai berjalan, walau sangat lamban, bahkan secara de facto etalase rudal Indonesia sudah tertinggal dari Singapura dan Malaysia.
Tapi harus diakui, tak serta merta sistem rudal Indonesia tertinggal secara keseluruhan, di lini rudal anti kapal, terlihat pemerintah sangat serius untuk memperkuat beragam rudal anti kapal, sebagai bukti adalah Yakhont, yang kini menjadi lambang supremasi alutsista Indonesia.
Khusus pada era orba, pemerintah nampak kurang mempersiapkan militer seumpama menghadapi konflik terbuka antar negara tetangga, berkat sosok Soeharto yang sangat disegani sebagai pemimpin pemerintahan paling senior di ASEAN, beragam alutsista di per-modern, tapi sayangnya dengan kuantitas yang serba minim. Tapi fakta kini berbicara lain, musim telah berganti, era baru pun harus disikapi secara tepat tanpa harus berlebihan. Dengan segala intrik dan konflik di seputar perbatasan, potensi munculnya perang antara negara bertetangga bisa saja meletus di masa mendatang.
Tanpa bermaksud mengharap datangnya peperangan, tapi diyakini, seandainya terjadi duel antara militer Indonesia dan Malaysia, beberapa lakon dalam pertempuran akan memunculkan nama Sidewinder, Maverick, Exocet, atau bisa jadi Yakhont. Uniknya antar negara tetangga di ASEAN, termasuk Malaysia dan Singapura, mempunyai karakter dan jenis alutsista yang serupa. Sebut saja seperti rudal Maverick, Sidewinder, RBS-70, dan Rapier dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Inilah yang menarik untuk dicermati, konflik di masa mendatang akan terkait dengan teknologi tinggi, dan bisa dipastikan rudal akan selalu kebagian peran strategis yang menentukkan. Dalam buku “Indonesian Missile, Perisai Angkasa Nusantara” untuk pertama kalinya dibahas tentang sepak terjang dan etalase rudal yang dahulu dan kini memperkuat TNI.
Informasi Buku
Judul : Indonesian Missile, Perisai Angkasa Nusantara
Penulis : Haryo Adjie Nogo Seno
Penerbit : Matapadi Pressindo
Hal : xii+158
Harga : Rp45.000
Note : Tersedia di Toko Buku Gramedia
Bagi Anda pemerhati bidang kemiliteran, pastinya telah mengenal identitas Whiskey class, ya ini lah jenis kapal selam yang memperkuat arsenal kekuatan Korps Hiu Kencana TNI AL di dasawarsa tahun 60-an. Seperti diketahui, ada 12 kapal selam kelas Whiskey yang sempat dimiliki Indonesia, dan kehadirannya saat itu dimaksudkan sebagai salah satu elemen penggetar dalam operasi Trikora, merebut Irian Jaya dari tangan Belanda.
Seperti banyak ditulis dalam berbagai literatur, keberadaan kapal selam bagi sebuah negara merupakan komponen yang strategis. Beragam fungsi bisa diemban dari adanya kapal selam, mulai dari patroli, intai maritim, penyusupan, hingga perang bawah/atas permukaan laut. Untuk yang terakhir disebut, perang bawah/atas permukaan laut, tentunya bisa berjalan bila kapal selam ditunjang dengan persenjataan yang memadai. Bicara soal senjata kapal selam, jelas yang utama dan tak tergantikan adalah torpedo, setelah itu baru bisa disebut ranjau laut, rudal anti kapal, dan sebagainya.
Sosok torpedo SAET-50 di museum AL RusiaTampilan baling-baling pada SAET-50
Nah, guna menapaki sejarah kejayaan militer Indonesia di masa lalu, TNI AL kala itu juga sudah memiliki jenis torpedo yang terbilang canggih pada masanya. Jenis torpedo tersebut adalah SAET (Samonavodiashaiasia Akustisticheskaia Elektricheskaia Torpeda)-50, sebuah torpedo jenis homing akustik yang ditenagai dengan teknologi elektrik. Kecanggihan SAET-50 yakni saat diluncurkan dapat langsung mencari sasaran sendiri (fire and forget) berdasarkan suara baling-baling atau material magnetik yang dipancarkan oleh badan kapal target. Yang cukup menakutkan bagi armada kapal perang Belanda, hulu ledaknya mencapai berat 375 Kg, dan teknologi homing akustik pasif torpedo ini dapat mengendus sasaran mulai dari jarak 600-800 meter.
Selain negara-negara anggota Pakta Warsawa, Indonesia menjadi pengguna pertama, dan yang pasti di Asia baru Indonesia lah yang memiliki torpedo maut ini. Tentu ada udang dibalik batu atas kedatangan torpedo ini, Uni Soviet tentu berharap kinerja SAET-50 dapat dijajal dalam operasi tempur yang sesungguhnya. Operasi Trikora bisa menjadi kampanye keunggulan militer Uni Soviet melawan kubu Blok Barat yang diwakili oleh Belanda.
Jenis torpedo Whiskey Class di Museum Satria MandalaSosok torpedo di kompartemen Monkasel KRI Pasopati, Surabaya
Sayangnya, kesaktian SAET-50 tidak pernah dibuktikan untuk menghantam armada kapal Belanda. Karena beragam kepentingan, versi torpedo ini kemudian juga diadaptasi oleh Cina secara lisensi. Dan jadilah torpedo berdiameter 533mm ini dengan versi buatan Cina yang diberi kode Yu-3/Yu-4A dan Yu-4B. Ada beberapa pengembangan yang dilakukan oleh Cina, dimana versi torpedo ini dibuat bukan hanya dalam versi akustik pasif, tapi juga akustik aktif, yakni memancarkan gelombang untuk mencari pantulan dari logam di kapal target. Cina sendiri terus memproduksi torpedo yang berasal dari platform SAET-50 hingga 1987.
SAET-50 versi Cina (Yu-4)Tabung peluncur torpedo di buritan KRI Pasopati
Tidak ada informasi, berapa unit torpedo SAET-50 yang sempat dimiliki TNI-AL. Secara umum SAET-50 produksi Uni Soviet terbagi dalam dua versi, yakni SAET-50 (digunakan mulai tahun 1950) dan SAET-50M (digunakan mulai tahun 1955). Tidak diketahui jenis mana yang dipunyai oleh TNI AL. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah spesifikasi torpedo SAET-50. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Torpedo SAET-50
Diameter : 533 mm
Berat : 1.650 Kg
Panjang : 7,45 m
Berat Hulu Ledak : 375 Kg
Jangkauan : SAET-50 – 4 Km/SAET-50M – 6 Km
Kecepatan : SAET-50 – 23 knots/ SAET-50M – 29 knots
Sumber Tenaga : Lead Acic Battery
Sebagian besar dari kita mungkin sudah mahfum dengan nama KRI Irian, sosok kapal penjelajah pertama dan terakhir yang pernah dimiliki TNI AL pada era orde lama. Tapi untuk segmen kapal permukaan, sebenarnya ada beberapa nama kapal perang TNI AL lainnya yang juga fenomenal di masa tersebut. Sebut saja salah satunya adalah KRI Ratulangi (RLI), kapal yang disebut kapal tender kapal selam ini punya peran penting pada masa operasi Trikora sampai operasi Seroja di tahun 70-an. (more…)