Hari ini dalam Sejarah, F-20 Tigershark Terbang Perdana – “Pernah Demo Udara di Jakarta”

Hari ini 41 tahun lalu, bertepatan dengan 30 Agustus 1982, menjadi momen bersejarah dalam dunia dirgantara militer, yakni dengan penerbangan perdana jet tempur Northrop F-20 Tigershark. Bagi banyak kalangan, Tigershark merupakan upaya nyata Northrop dalam meregenerasi keluarga jet tempur F-5 Tiger. Meski gagal meraih pasar penjualan di mana pun, namun F-20 Tigershark (atau disebut juga F-5G) punya kesan tersendiri di Indonesia.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah, Nyaris Milik TNI AU, Mirage-2000 Pernah Meliuk di Langit Kemayoran

Hanya berselang empat tahun sejak kedatangan F-5E/F Tiger II yang memperkuat Skadron Udara 14, pada tahun 1984, Lanud Halim Perdanakusuma kedatangan F-20 Tigershark. Dalam rangkaian promo tour di Asia, Northrop Corporation (saat itu belum merger dengan Grumman) menghadirkan F-20 untuk melakukan demonstrasi udara di langit Jakarta.

Demonstrasi itu merupakan bagian dari upaya Northrop Corporation untuk mempromosikan dan memasarkan pesawat ini kepada negara-negara potensial sebagai solusi untuk kebutuhan pertahanan udara mereka.

Para pejabat Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) yang melihat manuver Tigershark merasa puas dengan kemampuan jet tempur single engine (General Electric F404-GE-100 afterburning turbofan) tersebut. Meski Indonesia menyatakan tertarik pada F-20, namun, seperti hal negara lain, Indonesia masih menunggu, apakah F-20 nantinya akan diakusisi oleh Angkatan Udara AS (USAF) atau sebaliknya?

Pada akhirnya, F-20 Tigershark tidak berhasil mendapatkan kontrak produksi dan tidak pernah diadopsi oleh Angkatan Udara AS atau oleh negara lain. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan F-20 Tigershark di pasar penjualan:

1. Persaingan dengan Pesawat Lain
Saat F-20 Tigershark diperkenalkan, pasar pesawat tempur sudah cukup kompetitif dengan adanya jet tempur multirole General Dynamics F-16 Fighting Falcon yang battle proven, dan Mirage-2000 dari Perancis. Pesawat-pesawat tersebut memiliki reputasi dan dukungan yang kuat dari negara-negara pengguna, sehingga membuat F-20 sulit bersaing.

2. Kebijakan Pemerintah AS
Pemerintah Amerika Serikat memiliki kontrol yang ketat terhadap ekspor senjata dan teknologi militer. Pada saat itu, F-20 Tigershark dianggap memiliki teknologi yang canggih dan sensitif, dan ada kekhawatiran bahwa penjualan pesawat ini dapat mengancam kepentingan nasional AS atau dapat digunakan melawan teknologi AS sendiri. Oleh karena itu, Northrop mengalami hambatan dalam mendapatkan izin untuk menjual pesawat ini ke negara-negara tertentu.

3. Harga dan Efisiensi
Meskipun F-20 Tigershark menawarkan teknologi yang lebih canggih daripada pendahulunya, biaya pembelian dan operasional dapat menjadi faktor penting dalam keputusan pembelian oleh negara-negara potensial. Pesawat tempur lain yang sudah lebih mapan mungkin menawarkan nilai lebih tinggi dalam hal biaya operasional atau dukungan logistik.

4. Ketidakstabilan Politik dan Ekonomi
Beberapa negara yang menjadi target pasar F-20 Tigershark mengalami ketidakstabilan politik dan ekonomi pada saat itu. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengalokasikan anggaran untuk pembelian dan pemeliharaan pesawat tempur baru.

5. Persepsi tentang Kinerja
Meskipun F-20 Tigershark memiliki peningkatan performa dari F-5 Tiger, ada beberapa perdebatan tentang sejauh mana pesawat ini mampu bersaing dengan pesawat tempur canggih lainnya dalam pertempuran modern.

Baca juga: F-5E/F Tiger III – Mengenal Kecanggihan “Macan Gurun”, Jet Tempur Lapis Kedua AU Maroko

Kombinasi dari faktor-faktor di atas, serta dinamika pasar dan kebijakan internasional, berkontribusi pada kegagalan F-20 Tigershark untuk mendapatkan perhatian dan penjualan yang signifikan. Meskipun pesawat ini memiliki potensi teknologi yang kuat, faktor-faktor ekonomi, politik, dan persaingan industri memiliki pengaruh besar dalam nasibnya di pasar. (Bagas Prayitno)