Pakistan Klaim Jet Tempur Chengdu J-10C Berhasil ‘Jamming’ Rafale Angkatan Udara India, Mungkinkah?
|Saling klaim terkait konflik perbatasan antara India dan Pakistan kerap memunculkan isu kontroversial, sebut saja dalam duel udara di atas Kashmir pada 27 Februari 2019, pihak Pakistan menyebut jet tempur JF-17 Thunder mampu menembak jatuh Sukhoi Su-30MKI milik India.
Baca juga: “The Man Behind The Gun,” Mungkinkah JF-17 Thunder Mampu Menembak Jatuh Sukhoi Su-30MKI?
Meski segala sesuatu mungkin saja terjadi dalam pertempuran udara, namun duel jet tempur beda kelas dengan hasil kontroversial menyisakan tanda tanya, pasalnya klaim tersebut dibantah oleh pihak lawan dan belum ada bukti otentik. Dan belum lama ini, Pakistan kembali membuat klaim, kali ini menyangkut jet tempur Dassault Rafale.
Bukan klaim menembak jatuh, melainkan klaim pihak Pakistan menyebut berhasil melakukan jamming alias serangan/gangguan elektronik pada Rafale India. Disebut kontroversi, pasalnya yang melakukan jamming adalah jet tempur Chengdu J-10C, yang notabene teknologinya di atas kertas di bawah Rafale.
Klaim tersebut disampaikan Menteri Pertahanan Pakistan Khawaja Asif, yang menyatakan empat jet tempur Rafale Angkatan Udara India berhasul diganggu secara elektronik pada malam tanggal 29-30 April oleh jet tempur Pakistan di dekat Line of Control (LoC) di wilayah Kashmir yang disengketakan. Buntut dari aksi jamming tersebut, memaksa Rafale Angkatan Udara India mundur dan melakukan pendaratan darurat di Srinagar.
Pakistan Says It Jammed Indian Rafale Jets Near Border
Pakistan’s Defense Minister Khawaja Asif claims that four Indian Rafale jets were electronically jammed and forced to retreat during border tensions on April 29–30.
The Rafales reportedly lost radar and comms and made… pic.twitter.com/Nbu2LY9nos
— Clash Report (@clashreport) May 4, 2025
Menurut posting di X yang mengutip pernyataan Asif, Angkatan Udara Pakistan mengerahkan jet tempur Chengdu J-10C buatan Cina, yang didukung oleh sistem peperangan elektronik canggih, untuk mengganggu radar dan sistem komunikasi Rafale.
Insiden yang diklaim tersebut sudah barang tentu belum dikonfirmasi oleh pihak India, dan telah memicu perdebatan sengit tentang kemampuan teknologi militer Cina yang berkembang pesat dan potensinya untuk menantang sistem yang dirancang Barat seperti Rafale buatan Perancis.
Well yes, Rafale was jammed for 4x minutes [Jamming via Platform Unspecified], Rafale failed to return to home base due to jamming, & lastly it wasn’t J-10C which deterred the Rafale, it was ⚡.
— Pakistan Strategic Forum (@ForumStrategic) May 4, 2025
Meskipun klaim tersebut masih belum diverifikasi dan berisiko menjadi propaganda, klaim tersebut menimbulkan pertanyaan kritis tentang perkembangan lanskap peperangan udara dan kecanggihan penanggulangan elektronik (jamming) yang semakin meningkat.
Isu jamming pada Rafale India dilaporkan terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua negara tetangga yang bersenjata nuklir tersebut, menyusul serangan teroris mematikan pada tanggal 22 April di Pahalgam, Kashmir, yang menewaskan 26 wisatawan, sebagian besar warga negara India.
Chengdu J-10C Cina Terbang di Atas Basis US Navy di Arab Saudi, Intelijen AS Kebobolan?
India menuduh Pakistan mensponsori serangan tersebut, tuduhan yang dibantah keras oleh Islamabad, sementara kedua belah pihak terlibat dalam sikap diplomatik dan militer, termasuk pertempuran lintas batas di sepanjang LoC. Media pemerintah Pakistan, termasuk PTV News, melaporkan bahwa angkatan udaranya mendeteksi dan mengejar jet Rafale India yang melakukan pengintaian di dekat LoC, yang memaksa mereka untuk “mundur dengan panik.”
Pernyataan Asif, yang digaungkan oleh media seperti Clash Report, lebih jauh lagi, mengklaim bahwa sistem canggih Rafale tidak dapat dioperasikan oleh kemampuan perang elektronik Pakistan, suatu prestasi yang jika benar, akan menandai pencapaian teknologi yang signifikan bagi Pakistan dan persenjataannya yang dipasok oleh Cina.

Chengdu J-10C, yang menjadi inti klaim Pakistan, adalah pesawat tempur multiperan bermesin tunggal yang dikembangkan oleh Chengdu Aerospace Corporation. Diperkenalkan kepada Angkatan Udara Pakistan pada Maret 2022, J-10C merupakan landasan upaya Pakistan untuk memodernisasi armadanya sebagai tanggapan atas akuisisi 36 unit Rafale dari Prancis.
Didukung oleh mesin turbofan WS-10B, J-10C dapat mencapai kecepatan Mach 1,8 dan memiliki jangkauan operasional sekitar 1.250 mil dengan tangki bahan bakar eksternal. J-10C dilengkapi radar AESA yang diyakini sebagai varian dari KLJ-10, memberikan kemampuan deteksi dan pelacakan target yang lebih baik.
Akuisisi Pakistan atas sedikitnya 25 jet tempur J-10C, yang diumumkan pada Desember 2021, secara eksplisit dibingkai sebagai perlawanan terhadap program Rafale India, yang menggarisbawahi persaingan strategis yang mendorong kemajuan teknologi di kawasan tersebut.
Yang membedakan J-10C dalam konteks ini adalah laporan integrasi sistem peperangan elektronik canggih, yang diklaim Asif digunakan untuk mengganggu jet Rafale. Meskipun rincian spesifik tentang rangkaian peperangan elektronik J-10C masih minim karena kerahasiaan dari Cina terhadap teknologi militer, analis pertahanan memperkirakan bahwa rangkaian tersebut mungkin menggabungkan sistem yang mirip dengan KG300G atau KG600, pod pengacau (jammer) yang dikembangkan Cina untuk Chengdu J-10C.
Sistem ini dapat menggunakan teknik digital radio frequency memory (DRFM), yang memungkinkannya merekam dan memanipulasi sinyal radar yang masuk, menciptakan target palsu atau membanjiri sensor lawan. Kemampuan tersebut akan sangat penting dalam melawan pertahanan canggih Rafale, khususnya sistem peperangan elektronik SPECTRA, yang dirancang untuk melindungi pesawat dari berbagai ancaman.
Secara teori, ada kemungkinan J-10C dapat mencoba melakukan jamming terhadap Rafale, tetapi efektivitasnya sangat diragukan, terutama mengingat kemampuan sistem peperangan elektronik (electronic warfare/EW) canggih milik Rafale dan filosofi desain pesawat tempur generasi 4.5 dari kedua pihak.
J-10C dilengkapi dengan radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan sistem peperangan elektronik (EW) internal serta pod jamming eksternal (seperti KG600). Radar jamming di J-10C dapat mengganggu radar lawan, terutama radar pulse-doppler, radar dapat mengganggu komunikasi datalink lawan, serta missile guidance jamming yang Menyasar rudal yang menggunakan radar aktif.
Kemungkinan J-10C membawa KG600 pod yang dirancang untuk menekan radar musuh di jalur frekuensi tertentu. KG600 berbasis DRFM (Digital Radio Frequency Memory), namun generasi awal dari sistem ini umumnya kurang efektif terhadap platform dengan sistem ECM canggih dan frekuensi agile seperti Rafale.
Sebaliknya, Rafale dilbekali SPECTRA (Self-Protection Equipment to Counter Threats for Rafale Aircraft) yang dikenal sebagau salah satu sistem EW tercanggih di dunia saat ini. Fitur pada SPECTRA mencakup jamming multi-spektrum, radar warning receiver (RWR), laser warning system, infrared missile approach warning, DRFM-based ECM, dan kemampuan untuk mengklasifikasi, mengganggu, dan mengelabui sinyal lawan secara adaptif. Artinya, Rafale tidak hanya bisa menghindari jamming, tapi juga menanggapi balik dengan jamming aktif dan decoy. (Bayu Pamungkas)
J-10C ya?
Nih saya iseng ngitung bagaimana jika usd 18 miliar untuk akuisisi alutsista dari China ? Bisa dapat apa saja dan berapa?
Usd 18 miliar itu bisa dapat:
Untuk AU : Fighter J-10CE berikut rudal PL-15 sebanyak 9 skuadron x 14 unit = 126 unit.
Untuk AL : Destroyer Type 052 berikut rudal 64 vls yang menyertainya sebanyak 8 unit.
Untuk AD : Helikopter serang Z-10ME sebanyak 4 skuadron x 12 unit berikut rudal yang menyertainya.
Tuh udah dapat tuh untuk 3 matra, jadi bertambah sangat kuat.
Usul aja gimana jika untuk masing-masing anggota tetap DK PBB dianggarkan masing-masing usd 18 miliar untuk belanja alutsista ke mereka.
5 anggota tetap x 18 miliar usd = 90 miliar usd
Trus ditambah usd 90 miliar yang lain untuk akuisisi dari 18 negara yang berbeda. Dan usd 70 miliar untuk akuisisi alutsista dari dalam negeri.
Jadi 90 + 90 + 70 = 250 miliar usd total untuk akuisisi alutsista.
Dananya dapat dari mana ?
Pinjam dulu dengan jaminan seperempat dari aset Danantara. Trus bayarnya pakai tebang hutan.
Cukup tebang 4 juta hektar hutan. Kayu dan kekayaan hutan lainnya dijual. Dapat tuh usd 250 miliar untuk bayar pokok pinjaman. Kalo kurang ya tebang lagi 4 juta hektar biar dapat usd 250 miliar lagi untuk bayar bunga pinjaman.
Lha kalo banjir bagaimana? Ya habis ditebang tanamilah dengan bermacam bibit tanaman buah berkayu keras seperti mangga, jambu, alpukat, durian, kakao, kopi, cengkeh, pala, kelapa, sirsak, rambutan, sukun, dll diselang-seling. Buah di pasar jadi murah dan terjangkau harganya oleh rakyat kecil.
Semoga India tak perang dengan Pakistan tapi jika terpaksa semoga tak frontal habis2an bolehlah adu kuat alutsista darat, laut, dan udara kapasitas terbatas untuk kebutuhan evaluasi para pabrikan senjata barat dan timur jauh, kasihan para produsen sampingan hasil hutan seperti Damar yang saya sering lihat sendiri ribuan tong dalam peti kemas rutin dikirim ke India.
kemampuan teknologi pesawat tempur cina susah ditebak, apalagi cina itu negara terkaya dan anggaran riset teknologi sangat besar untuk mencapai.. ini harus diwaspadai.. kl beli jamming pod atau pswt buatan cina pasti susah, pasti downgrade dan remote jarak jauh cina untuk tni au..
wah indonesia harus beli j-10c sih buat mengganti f-16, jdam l jdam buat rafale aja