Padahal Sudah Punya Rafale, Ini Alasan Mesir ‘Masih Harus’ Akuisisi Jet Tempur Chengdu J-10C
Bila melihat dari postur kekuatan udara, maka Angkatan Udara Mesir sejatinya layak disebut ‘strong’, betapa tidak, Angkatan Udara Mesir mengoperasikan lebih dari 200 unit F-16, 18 unit Mirage 2000 dan 24 unit jet tempur Rafale. Namun, tetap saja Mesir merasa inferior, hingga berujung pada keputusan Kairo untuk membeli pesawat tempur Chengdu J-10C, berikut paket rudal udara ke udara canggih dari Cina.
Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah jet tempur Rafale tidak cukup untuk Mesir? Rupanya jawabannya bukan pada performa pesawat tempur buatan Dassault Aviation, melainkan ada sesuatu yang ‘membatasi’ kemampuan tempur Rafale ketika digunakan oleh Angkatan Udara Mesir.
Rafale buatan Perancis, meskipun bebas dari kendala politik Amerika Serikat, faktanya masih ada serangkaian tantangan geopolitiknya sendiri. Ketika Mesir mencoba mendiversifikasi pembelian persenjataannya, termasuk menjangkau Rusia dan Cina Mesir sering kali berbenturan dengan pemasok Baratnya.
Pemerintah Barat, termasuk Perancis, terkadang enggan melengkapi Mesir dengan sistem persenjataan terbaru atau pemutakhiran karena khawatir tentang bagaimana sistem tersebut dapat digunakan di titik-titik rawan regional seperti Libya atau Yaman. Tindakan penyeimbangan antara menjaga hubungan baik dengan kekuatan Barat dan sekutu non-Barat ini telah mempersulit upaya Mesir untuk memodernisasi armadanya dengan teknologi canggih.
Selain itu, perubahan lanskap geopolitik Mesir di Timur Tengah telah memengaruhi hubungan pertahanannya. AS dan negara-negara Eropa bertujuan untuk mempertahankan pengaruh atas kegiatan militer Mesir dengan mengendalikan akses ke persenjataan canggih.
Dengan Modal Pinjaman Luar Negeri, Mesir Resmi Beli 30 Unit (Lagi) Jet Tempur Rafale
Akibat pembatasan dalam mengintegrasikan rudal udara-ke-udara dan teknologi radar canggih, upaya Mesir untuk memodernisasi armada F-16 dan Rafale-nya terhambat. Akibatnya, Mesir telah mencari opsi yang lebih independen untuk pasokan pertahanannya, dan semakin beralih ke negara-negara seperti Cina, yang memberlakukan lebih sedikit persyaratan dan pembatasan politik. Tren ini telah mendorong Mesir beralih ke Chengdu J-10
Meteor dan Rafale Mesir
Karena tekanan dari lobi Israel, kekuatan udara Mesir menjadi marginal di Timur Tengah. Sebagai contoh, negeri dengan kekuatan udara yang besar seperti Mesir justru belum mendapat ‘lampu hijau’ untuk membeli rudal udara ke udara jarak jauh AIM-120 AMRAAM. Mesir pun mencoba untuk beralih kepada Perancis, seiring dengan akuisisi Rafale pada tahun 2015, Mesir berharap bisa melengkapi Rafale dengan rudal Meteor buatan MBDA Systems, yang digadang punya kemampuan lebih baik dari AMRAAM.
Apesnya, Perancis pun menolak halus untuk menjual rudal Meteor ke Mesir. Seperti dilansir Second Line of Defence – sldinfo.com, Perancis menahan penjualan rudal udara-ke-udara jarak jauh Meteor ke Mesir sebagai tanggapan atas permintaan dari Israel, kata seorang spesialis persenjataan.
Rudal Meteor dengan mesin ramjet dapat menjangkau sasaran di balik cakrawala, dengan jangkauan hingga 200 kilometer, sementara kecepatan lesat rudal ini bisa mencapai Mach 4. Profil rudal Meteor inilah yang membuat Israel gusar bila Mesir mempunyai rudal Meteor, alasannya Israel akan kehilangan keunggulan komparatif di udara, sekalipun Israel mengoperasikan jet tempur stealth F-35I Adir. Sebagai catatan, rudal Meteor telah dijual Perancis ke Qatar (juga pengguna Rafale).
Keputusan Perancis untuk tidak mengizinkan penjualan rudal Meteor berbeda dengan penahanan awal rudal jelajah Scalp (Storm Shadow) ke Mesir, yang terakhir karena AS menolak untuk mengesahkan komponen Amerika berdasarkan in arms regulations (ITAR).
Penjualan senjata Perancis di pasar luar negeri memerlukan persetujuan dari komite antar kementerian, komisi interministérielle pour l’étude des exportations de matériels de guerre (CIEEMG). Setiap kesepakatan memerlukan lampu hijau dari kementerian luar negeri di Quai d’Orsay.
Mesir telah meminta pembelian rudal Meteor dan Scalp sebagai bagian dari pesanan tahun 2015 senilai €5,2 miliar ($6,3 miliar) untuk 24 jet tempur Rafale, dengan opsi untuk 12 unit lagi.
Hubungan politik di Timur Tengah telah bergeser, setelah Amerika Serikat, Israel, dan Uni Emirat Arab menandatangani kerja sama di bawah Abraham Accords, sebuah perjanjian yang mencerminkan kekhawatiran bersama atas ancaman yang dirasakan dari Iran. (Gilang Perdana)
Rafale Mesir Raih 10.000 Jam Terbang, Pencapaian Pertama di Luar AU Perancis
maka dari itu pak prabowo enggan meneruskan KF-21, karena pasti kena ITAR.
kelam bagi KF-21, kemungkinan kita,batal beli.
bisa jadi beralih ke J-10CE seperti mesir
Indonesia 11-12 dengan Mesir. Ingat di Asia Tenggara kita ada “Israel” kecil di utara dan mata AS di selatan. Selama kita tidak mengabdikan diri untuk menjadi jongos AS, selamanya akan dianggap ancaman oleh koalisi Anglo Saxon dan “anjing-anjingnya”.
Egypt International Air Show masih berlangsung, sudah punya ratusan unit F-16 mungkin akan “tergoda” tawaran peningkatan armada Fighting Falcon-nya ke Viper variant tersebut walau opsi tidak mencakup semuanya disamping pembelian J-10C masih tetap berjalan