Inilah BB-1 – Bom Laut Buatan Soviet di Korvet Parchim dan Fregat Van Speijk Class TNI AL
|Meski jarang terdengar aktivitasnya, rupanya untuk misi anti kapal selam (AKS), TNI AL masih mengandalkan bom laut (depth charge). Seperti pada Pameran Alutsista TNI 2023 di Lapangan Monas, TNI AL memperlihatkan jenis bom laut tipe BB-1.
Dari usianya, bom laut ini bukan amunisi baru lagi, tapi bom laut jenis ini masih mumpuni bila dilontarkan dari korvet Parchim class.
Dari lembat informasi, disebut bahwa bom laut BB-1 adalah buatan era Uni Soviet, dan dibuat pada tahun 1958. Melihat dari tahun pembuatan, maka diduga bom laut ini didatangkan ke Indonesia satu paket dengan akuisisi kapal perang besar-besaran dari Soviet pada dekade 60-an, yakni sebagai persiapan Operasi Trikora.
Bom laut BB1 yang berbentuk bak tabung gas 12 kg, beratnya mencapai 165 kg. Di dalamnya sudah termasuk hulu ledak TNT seberat 135 kg. Dimensi tinggi BB-1 adalah 712 mm dan diameter 430 mm. Dengan bobotnya, kecepatan tenggelam bom ini mencapai 2,5 meter per detik.
Bom laut BB1 menggunakan sistem detonasi impact water pressure, alias berdasarkan kedalaman tekanan air. Bom lait BB1 dapat di-setting untuk meledak di kedalaman 10 meter (minimal) dan 330 meter (maksimal). Saat meledak di bawah permukaan air, maka daya rusak bom laut ini mencapai radius 20 meter, menjadikan kapal selam dapat hancur atau rusak berat bila masuk dalam radius ledaknya.
Pada Pameran Alutsista 2023 di Monas, TNI AL juga menyertakan alat pelempar bom laut. Menggunakan sistem kerja tracker pegas, pelempar bom laut punya diameter 107 mm, sudut elevasi 45 derajat dan berat pelempar dalam kondisi kosong 194 kg.
Yang unik, selain digunakan pada korvet Parchim class buatan Jerman Timur, bom laut BB-1 juga digunakan pada fregat Van Speijk (Ahmad Yani) class, yang notabene adalah buatan Belanda/NATO.
Dari sejarahnya, BB-1 telah digunakan Angkatan Laut Soviet pada akhir Perang Dunia II. Bom laut ini dapat dilepaskan dari B-1 lever rack atau diluncurkan dari BMB-1 depth charge projectors. Pada masa Perang Dingin, Soviet mengembangkan BMB-2 depth charge projector, yang dapat melemparkan BB-1 dengan lebih efektif. (Bayu Pamungkas)
APR-3ME – Rudal Anti Kapal Selam Rusia, Hancurkan Kapal Selam di Laut Dalam dan Dangkal
Soal pengganti Parchim nih.
Kita kan tadinya punya 16 Parchim, sekarang tinggal 14 unit. Parchim punya bobot 900 ton dan bisa menjelajah sampai 3900 km (kalo tidak salah). Dengan daya jelajah segitu hanya bisa menjangkau luas wilayah laut 2,4 juta km persegi saja yaitu Brown Water Navy.
Nah saya punya ide tentang pengganti Parchim.
Gimana kalo Parchim diganti dengan fregat ringan setara PKR Sigma 10514 REM Class yaitu yang berjangkauan 5000 nm = 9260 km, berbobot 2400-2600 ton, punya VLS 12-24 untuk anti serangan udara, dilengkapi 8 rudal anti permukaan dan 6 torpedo ringan untuk peperangan bawah air. Untuk deteksi sonar bawah air selain pakai hull mounted sonar juga dilengkapi dengan towed array sonar. Lalu tidak lupa dilengkapi dengan helikopter anti kapal selam yang sudah terkenal yaitu Seahawk SH60 atau MH60R.
Perkiraan biaya akuisisi per unit kapal fregat ringan dengan spesifikasi di atas termasuk senjata, rudal, torpedo dan lengkap sensor adalah usd 500 juta per unit.
Sedangkan perkiraan biaya akuisisi helikopter ASW adalah usd 125 juta per unit lengkap sensor, sonar cemplung, sonar apung dan torpedo.
Jadi total (500 + 125) juta = 625 juta usd per unit.
Total unit yang dibutuhkan 16 unit kapal fregat ringan plus 16 helikopter ASW.
Total biaya dibutuhkan usd 625 juta x 16 unit = 10.000 juta usd = usd 10 miliar.
Total luas wilayah yang dijangkau 10,8 juta km persegi.
Dengan demikian AL kita bisa jadi kekuatan regional di Asia Tenggara (Green Water Navy).
NB : terserah merek kapalnya apa yang penting sudah lengkap sensor, rudal dan torpedo. Untuk ASW helikopternya saran saya Seahawk yang biaya terbang per jamnya lumayan murah.
di era modern depth charge seperti ini cocok jika untuk pembersihan ranjau berbiaya rendah atau juga bisa untuk menghancurkan bangkai kapal atau semacamnya yang menganggu jalur laut, hanya saja sifatnya yang indiscriminate bisa membahayakan biota laut