Tawaran F-5 Tiger dari Yordania, Korea Selatan dan Taiwan, Bukti Program Pengadaan Jet Tempur Bekas Tak Selalu Mulus

Adopsi alutsista bekas pakai, entah berasal dari program hibah atau lewat pembelian, rasanya sudah menjadi ‘tradisi’ di Indonesia sejak era Orde Lama. Meski ada upaya penghentian pembelian alutsista bekas pakai di era Presiden Jokowi, namun ramainya pemberitaan tentang rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membeli jet tempur Typhoon milik AU Austria, sontak kembali mengingatkan pada periode pengadaan alutsista bekas pakai, terutama di lini pesawat tempur.
Baca juga: Bila Indonesia Jadi Beli Typhoon Milik Austria, Jangan Berharap Dapatkan Fitur “Joss..”
Meski kebanyakan program pengadaan jet tempur asal bekas pakai, berakhir dengan kesuksesan, namun ada beberapa yang akhirnya gagal atau batal. Salah satu yang mungkin terlupakan netizen adalah rencana hibah F-5E/F Tiger dari Yordania dan Korea Selatan. Berangkat dari berkurangnya armada F-5 E/F Tiger II Skadron 14, dari jumlah awal ada 16 unit, kemudian berkurang akibat serangkaian insiden, jumlah Sang Macan di Lanud Iswahjudi lantas tinggal 12 unit.
Guna memulihkan postur kekuatan F-5 Tiger pada posisi satu skadron penuh, maka pada tahun 1993 ada tawaran untuk membeli empat unit F-5E eks surplus AU Yordania, dengan harga US$25 Juta untuk seluruh pesawat. Yordania sendiri menggunakan 61 unit F-5E dan 14 unit F-5F. Namun, karena buatan Amerika Serikat, penjualan F-5 dari negara pengguna ke negara lain, harus membutuhkan persetujuan dari negara produsen.

Apesnya, ketika izin diajukan ke Departemen Luar Negeri AS dan Kongres pada 1993, justru jawaban tidak yang diterima oleh Pemerintah Indonesia. Juru bicara Deplu AS saat itu, Sondra McCary mengatakan, “Setelah pertimbangan masak, termasuk meminta pertimbangan Kongres, Deplu AS memutuskan tidak memenuhi permintaan Yordania untuk menjual F-5 ke Indonesia.” Pangkal musababnya karena dugaan pelanggaran HAM berat atas Insiden Santa Cruz yang terjadi 12 November 1991 di Dili, Timor-Timur.
Jika di 1993, Yordania menawarkan penjualan, maka di tahun 2005, Yordania kembali menawarkan F-5 ke Indonesia, namun label tawaran bukan penjualan, melainkan hibah.
Jika mengacu pada pernyataan Menteri Pertahanan saat itu, Juwono Sudarsono mengatakan, bahwa Yordania menawarkan hibah pesawat tempur F-5 tua. “Ya, Yordania memang menawarkan hibah itu kepada kita,” ujar Juwono, dikutip dari Tempo.co (9/12/2005). Rencana pengadaan jet tempur tua ini sempat menimbulkan “masalah,” pasalnya setelah menerima Panglima Angkatan Bersenjata Yordania Jenderal Khalid Jamil Sarayreh di kantornya, Juwono langsung berbicara kepada pers soal rencana hibah ini.
Masalah mengemuka saat Jenderal Khalid bertemu dengan Panglima TNI saat itu, Jenderal Sutarto di Wisma Yani, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, menurut seorang perwira, Jenderal Khalid keberatan Juwono merilis hibah ini kepada pers. Alasannya, Yordania belum minta izin ke Amerika Serikat.
Pada akhirnya adalah Brasil yang berhasil memboyong sejumlah F-5E AU Yordania pada bulan September 2007, dengan jumlah 3 unit F-5F, 4 unit F-5EM, dan 4 unit F-5E. Jet-jet itu di-upgrade ke standar F-5EM oleh Brasil dan masih digunakan hingga saat ini.
Lompat ke tahun 2013, TNI AU justru menolak tawaran hibah pesawat tempur F-5 Tiger dari Korea Selatan lantaran tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. “Kami menolak tawaran hibah karena spesifikasi pesawat F-5 milik Korea Selatan berbeda dengan yang dimiliki Indonesia,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia, dikutip dari republika.co.id (16/5/2013).
Menurut KSAU, pesawat F-5 milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan maupun avioniknya. Sedangkan, pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi. “Perbedaan spesifikasi ini justru menjadi beban di biaya perawatannya. Kalau bisa kami diberi pesawat yang sama dengan yang kami punya,” katanya.
Jumlah F-5 yang ditawarkan Korea Selatan sebenarnya menggiurkan, yaitu 16 unit atau TNI AU dapat membentuk satu skadron tempur baru. Program hibah tersebut kabarnya sebagai ‘bonus’ atas pembelian 16 unit jet latih tempur T-50i Golden Eagle.
Lepas dari Yordania dan Korea Selatan, pada Maret 2012, KSAU saat itu, Marsekal TNI Imam Sufaat pernah mengungkapkan rencana TNI AU untuk menerima hibah satu skadron F-5E/F dari Taiwan. Berbeda dengan alasan kandasnya tawaran F-5 dari Yordania dan Korea Selatan, untuk gagalnya tawaran F-5 Taiwan ini tidak terungkap jelas.
Baca juga: Beratnya TNI AU “Melepas” Si Macan F-5 E/F Tiger II
Dalam akuisisi alutsista di matra udara, meski berlabel kata ‘hibah,’ umumnya negara penerima akan mengeluarkan kocek yang juga tak sedikit, hal itu diperlukan mulai dari rekondisi pesawat, penggantian cat, upgrade sistem sampai biaya pengiriman pesawat. Contoh dalam hal ini adalah program hibah 24 unit F-16 C/D Block52ID untuk TNI AU. (Haryo Adjie)
Klo alasannya butuh pespur cepat knp menhan gk mikir opsi leasing saja? Leasing dgn opsi beli gw rasa wajar.. Kita bisa minjem Typhoon Austria buat dipake disini sekaligus familiarisasi sistem. Klo dirasa bagus kita beli dari mereka, klo gk klop tinggal kembaliin. Gw rasa sistem ini jg bisa diterapkan ke Rafale Perancis..
Pengen tau jawabannya bos……ada wang lobster gak 🤷
Ya pake bambu runcing aja bos wkwkk … Klu setiap kebijakan pemerintah itu selalu di ributin persoalan duit. Mbok ya ksh ide gt. Misal penduduk indonesia ada sekitar 260 jt an, trs klu setiap org nyumbang 1000 rupiah aja tuh duit yg terkumpul sudah 260m nah klu yg hidupnya pas2an yg nyumbang 1000, kelas menengah nyumbangnya
10 rebu, yg tajir 100 rebu, yg tajir melintir alias sultan 10jt tuh udh terkumpul brp duit ???
Rumors Timeeee….!!
Ide Typhoon datang dari Airbus dengan konsultan Jerman dengan ide yang sama saat membeli Leopard. Bila deal, ke 15 pesawat ini akan dibeli dengan harga “reasonable” lalu di-upgrade ke menyerupai paket upgrade Spanyol dengan melibatkan PTDI dalam proses upgrade dan atau offset-nya dengan harga yang masih terjangkau, sekaligus MRTT dan platform AWACS dan beberapa item yang lain termasuk dalam penawaran Airbus.
(Credit to Fl0gger from defence.pk)
Indonesia mau beli borongan nih…
Menarik. Tapi apa iya uang USD 2 Billions buat beli 15 Typhoon itu reasonable??? Berapa total uang buat semuanya??
Kalo Airbus ngasih ToT dan lisensi penuh untuk CN-235 dan CN-295 ya itu baru deal.
Hmm… USD 2B itu kan harga waktu Austria beli tahun 2003 (mohon koreksi jika salah). Sekarang statusnya sudah second hand, walaupun jarang dipakai, second ya second, harga seharusnya menyesuaikan. Apalagi ini trench 1 di mana sekarang sudah ada trench 3.
Lagi pula, buat apa Airbus ngebisikin ide ini ke DepHan, ketika mereka tahu kalau duit kita cekak. Mungkin Airbus ngelobi Austria supaya pesawat itu dijual “reasonable” (tanda kutip loh ya). Akhirnya, Austria nggak rugi2 amat, setidaknya mereka dapat duit dari pesawat yang mereka anggap “bermasalah” walau nggak sebanyak ketika mereka beli. Airbus dapat duit dari proyek upgrade. Indonesia dapet pesawat A.S.A.P, nggak perlu nunggu 3-4 kalau beli gress, plus TOT dari upgrade yang dilakukan di PTDI dan offset2 lain termasuk dari MRTT atau AWACS (kalau dibeli juga). Everybody happy…
Cuma Typhoon biaya operasionalnya berapa ya (CPH)? Indonesia kuat nyusuinnya?
Kita bkn negara kaya… natuna mau dicaplok cina.. butuh pswt tempur hrs saat ini juga.. dana cekak… yg nyambung ya beli typhoon ini… beli pswt baru bisa 4 tahun dikirim dan mehong mlintir…. ntar jd wacana doang kyk kmrn2. Gue hapal dah… 😂