Jaga Garda Terdepan di Natuna, TNI AU Resmikan Skadron “Drone” Udara 52
|Bertempat di Lanud Raden Sadjad, Natuna, Riau, hari Jumat, 22 Oktober 2021, KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo resmi mengukuhkan keberadaan skadron baru yang bertugas di pangkalan udara terdepan dan strategis yang berbatasan dengan wilayah hot spot, Laut Cina Selatan. Skadron baru yang dimaksud adalah Skadron Udara 52.
Baca juga: Drone Kombatan CH-4 Rainbow Raih Sertifikat Kelaikudaraan Militer dari Kemhan
Dari identitas 5x, menyiratkan bahwa ini bukan skadron udara konvensional, melainkan skadron udara dengan elemen PUNA (Pesawat Udara Nirawak) atau kondang dikenal sebagai drone. Bila sebelumnya sudah berdiri Skadron udara 51 yang bermarkas di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat dan berintikan kekuatan berupa drone intai Aerostar, maka Skadron Udara 52 akan berintikan kekuatan berupa drone CH (Chang Hong)-4 Rainbow.
Berbeda dengan Aerostar, CH-4 masuk dalam kualifikasi MALE (Medium Altitude Long Endurance) dan merupakan drone kombatan – Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV).
Dikutip dari akun Instagram @militer.udara, selain meresmikan Skadron udara 52, secara bersamaan KSAU juga meresmikan Detasemen Pertahanan Udara 475, 476 dan 477 Paskhas. “Peresmian untuk menjawab tantangan yang terkait pengembangan dan validasi organisasi, agar terwujud satuan dan sistem kerja yang semakin efektif dan efisien, dan memastikan terlindunginya kedaulatan negara di udara,” kata KSAU.
Drone CH-4 sendiri belum lama ini telah meraih Sertifikat Kelaikudaraan Militer dari Kementerian Pertahanan RI. CH-4 dapat mengudara selama 12 jam, drone CH4 memiliki keistimewaan karena selain berfungsi sebagai alat pengawasan, drone ini juga dapat melancarkan serangan menggunakan bom. Drone produksi produksi China Aerospace Science and Technology Corporation (CASC) ini punya panjang 9 meter dan bentangan sayap 18 meter.
Jarak operasi maksimum CH-4 mencapai 250 km (Line of Sight), sedangkan bila mengandalkan koneksi satelit BLOS (Beyond Line of Sight) jarak jelajahnya bisa mencapai 1.000 km. CH-4 punya ketinggian terbang maksimum dipatok 8.000 meter dan mampu menembak dari ketinggian 5.000 meter.
Baca juga: Perfoma Dianggap Tak Memuaskan, Yordania Ingin Jual Drone Tempur CH-4B Rainbow
Sebagai persenjataan, CH-4 TNI AU mengandalkan rudal udara ke permukaan AR-2. Rudal produksi China Academy of Aerospace Aerodynamics mempunyai sistem pemandu semi active laser homing. Rudal yang punya slogan “small precission guided missile” ini dapat melesat dengan kecepatan subsonic (735 km per jam), sementara jarak luncurnya sampai 8 km. Dibandingkan AR-1 yang punya bobot 45 kg, maka AR-2 bobotnya hanya 20 kg. (Gilang Perdana)
@Beni : Kenapa tidak mungkin om?
Perbedaannya hanya di “Mind set” saja.
Sitem kepemerintahan yang dianut China dan masyarakatnya itu dapat berjalan, meskipun banyak kebijakan pemerintah China yang bertentangan dengan rakyatnya.
Contohnya salah satu orang terkaya dari China, yaitu Jack Ma.
Meskipun politik usahanya bertolak belakang dengan politik pemerintahan China, akan tetapi Jack Ma tetap tunduk dengan kebijakan ekonomi pemerintahan China.
Negara China banyak dibenci karena plagiatnya, akan tetapi seiring waktu mereka menciptakan produknya dengan kualitas yang lebih baik dan dengan bentuk berbeda.
Ketenaran China sejak dahulu kala hingga sekarang adalah dari perdagangannya.
Ekonomi mereka maju karena usaha dagangnya dapat menembus pasaran dipenjuru dunia.
Ketika ekonomi mereka sudah cukup mapan, mereka berekspansi ke dunia teknologi.
Meskipun durability mereka masih patut diuji, tapi setidaknya China dapat mengubah arti rearability menjadi developed countries karena beranjak dari ekonomi dan teknologinya.
semua drone dpt di hack, walaupun itu buatan US.
apakah cocok drone cina buat laut natuna? bukankah drone cina dimiliki TNi yang isinya program sama remote bisa dihack oleh militer cina? karena mereka punya kemampuan utk mencegat, memonitor dan menghack drone cina dimiliki negara2.. apakah mereka memiliki kemampuannya?
lepas “belitan HUTANG” dr China
ya gak mungkin lah sdh TERLALU…
@Agato Sugimura : Komponen drone Bayraktar TB2 diembargo oleh Kanada dan Inggris.
https://www.indomiliter.com/setelah-diembargo-kanada-drone-turki-bayraktar-tb2-kini-kena-embargo-komponen-dari-inggris/
Lalu untuk pespur Su-35 hingga saat ini belum ada pembatalan ataupun kelanjutan untuk waktu yang belum ditentukan.
Untuk Rafale dan juga F-15EX belum terlampir dalam lampiran di Dept Keuangan.
Dengan anggaran 133.9T mungkin kita tidak akan ada kendala untuk mengakusisi F-16V seperti yang ditawarkan Amerika kepada Filipina (12 jet tempur F-16V, 12 rudal AGM-84 Harpoon, dan 24 rudal AIM-9X Sidewinder, bersama dengan peralatannya, penjualan itu mencapai hampir USD2,9 miliar / Rp41,8 triliun)
Akan tetapi TNI AU lebih membidik mesin ganda untuk menjadi ujung tombaknya, bahkan AU Filipina lebih memilih Jas-39 Gripen yang dilengkapi rudal Meteor dinandingkan F-16V.
Anyway kita tidak berkonflik dengan China, semua unsur militer di Natuna hanya untuk menjaga wilayah kedaulatan negara, hal ini sesuai UUD45 dan doktrin militer yang kita anut.
Jadi tidak akan ada misi tempur strategis menghancurkan landasan, radar dan kapal induk atau kapal komando China di luar dari wilayah +62 seperti yang kamu tulis.
Misi menghancurkan landasan, radar, kapal komando ataupun kapal induk dapat berlaku jika kita di invasi oleh China, atau dengan kata lain jika wilayah kita diambil paksa oleh China.
Masa iya kita mau menginvasi pangkalan militer China di kepulauan Spratly yang disengketakan oleh negara tetangga kita di ASEAN?
Sabar om…
Kelakuan China di wilayah laut Natuna memang menyebalkan, akan tetapi kita harus bermain cantik dan bijak menghadapi salah satu negara raksasa didunia tersebut.
Bahkan PBB dibuat gerah karena kelakuan China, lalu negara sekelas Amerika dan Rusiapun tidak ingin head to head berkonflik dengan China.
Eskalasi di LCS kemungkinan akan berlangsung lama, minimalnya kita masih sempat memperbaiki ekonomi kita untuk bisa lebih menunjang alusita kita kedepan.