Tangkal ‘Agresi’ di Laut Cina Selatan, Filipina dan AS Diskusikan Penempatan Roket Balistik Taktis

Pulau Thitu.

Dalam beberapa bulan ini suara lantang Presiden Filipina Rodrigo Duterte serasa hilang, terutama pada suara pedas yang kerap dialamatkan ke Pemerintah Amerika Serikat. Salah satu kakunya lidah Durerte disebakan kebijakan luar negeri Duterte yang plin plan terkait masalah di Laut Cina Selatan (LCS).

Baca juga: Ciptakan “Milisi Maritim,” Aksi Kapal Nelayan Cina Berpotensi Memicu Perang Terbuka

Seiring komitmen investasi Cina, Duterte cenderung mendiamkan aksi Cina di LCS. Namun di kemudian hari Duterte tersadar akan ‘agresi’ Cina di kawasan yang dipersengketakan tersebut, dan seperti sudah ditebak Filipina kembali berpaling pada AS untuk urusan menghadapi kekuatan Sang Naga.

Seperti telah diwartakan sebelumnya, selain mengerahkan armada kapal perang, kapal patroli dan kapal survei ke wilayah yang disengketakan, pemerintah Cina juga menggiring ratusan kapal nelayan ke wilayah yang dimaksud. Kombinasi pengerahan armada nelayan dan kapal perang/patroli dilakukan Cina untuk menguatkan ambisi ekspansi.

Belum lama AL Cina dilaporkan mengerahkan armada hampir 100 kapal ke Pulau Thitu, salah satu dari beberapa pulau yang disengketakan bersama Filipina di Laut Cina Selatan.  Manuver Cina bisa dilihat sebagai upaya untuk menghentikan pekerjaan konstruksi yang tengah berlangsung. Dan bisa ditebak, pengerahan armada kapal nelayan di kawasan yang disengketakan ikut memainkan peran dalam tekanan politik.

Baca juga: BRG Sierra Madre – Bukti Kenekatan Filipina di Laut Cina Selatan

Amerika Serikat yang pernah begitu dekat dengan Filipina rupanya paham betul akan kegalauan negara yang pernah menjadi salah satu sekutu terkuatnya di Asia Tenggara ini.

Dan pada Maret 2019, AS menegaskan kembali kode pertahanan yang akan direvisi Filipina, dimana AS meyakinkan Filipina bahwa Paman Sam akan membantu pertahanan Filipina jika mendapatkan serangan di Laut Cina Selatan. Bahkan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo telah menegaskan serangan pada pesawat dan kapal Filipina di LCS akan memicu respon langsung dari Armada AS.

Rupanya kesepakatan pertahanan  AS dan Filipina tak terlalu diambil pusing oleh Cina, faktanya agresi dan eksploitasi Cina di kawasan yang disengketakan tidak berkurang. Berangkat dari hal tersebut, kedua negara telah memikirkan langkah konkrit untuk melindungi kawasan agar tidak dicaplok Cina.

Dan dari pembicaraan bilateral AS dan Filipina, tengah diupayakan untuk menempatakan persenjataan di kepulauan yang saat ini masih diduduki Filipina.  Dikutip dari armyrecognition.com (8/4/2019), tersebut sistem senjata M142 High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS) yang akan digelar di salah satu pulau terluar Filipina. HIMARS adalah sistem artileri berbasis roket balistik buatan Lockheed Martin.

M142 HIMARS

Dalam sekali gelar tempur, M142 HIMARS bisa membawa 6 x 227mm M270 series rockets atau 1 rudal MGM-140 ATACMS (Army Tactical Missile System). Dari spesifikasi, roket HIMARS dapat menjangkau sasaran mulai dari 2 sampai 300 kilometer. Sebagai platform penggeraknya adalah truk FMTV 5-Ton. Daya gempur alutsista ini dipercaya dapat menghentikan kehadiran militer Cina di Kepulauan Spratly dan gugusan pulau lainnya.

Baca juga: [Polling] M142 HIMARS AD Singapura: Lawan Tanding Terberat MLRS ASTROS II MK6 TNI AD

Uji penembakkan HIMARS AD Singapura.

Di Asia Tenggara, pemilik M142 HIMARS saat ini hanya AD Singapura yang mempunyai sekitar 18 unit peluncur. Namun kembali ke soal Filpina, kendala klasik menghadang pada deployment HIMARS, dimana harga M142 HIMARS masih dianggap terlalu mahal.

Dukungan AS terutama lewat program Foreign Military Sales (FMS) beberapa waktu belakangan cukup intens kepada Filipina, seperti hibah pengadaan drone intai ScanEagle dan upgrade C-130 Hercules AU Filipina dengan teknologi Special Airborne Mission Installation and Response (SABIR), menjadikannya sebagai pesawat intai maritim. (Haryo Adjie)

3 Comments