Setelah ‘Sindiran’ dan Isu Polandia, Kemenkeu Pastikan Alokasi Pembayaran Cost Share KF-21 Boramae
Setelah mendapatkan sejumlah ‘sindiran’ dari Korea Selatan, terutama dengan tidak adanya bendera Merah Putih pada peluncuran prototitpe kelima jet tempur KF-21 Boramae pada 24 November lalu, dan penolakan KAI (Korea Aerospace Industries) untuk mengirim prototipe ke Indonesia. Ditambah lagi kabar minat Polandia pada program KF-21, barulah ada penegasan dari Kementerian Keuangan RI tentang alokasi kucuran anggaran untuk kelanjutan partisipasi Indonesia di proyek jet tempur generasi 4.5 tersebut.
Baca juga: “Maju Sulit Mundur Pun Rugi,” Dilema Indonesia dalam Program Jet Tempur KF-21 Boramae
Dikutip dari cnbcindonesia.com (20/12/2022), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI telah memastikan pembayaran cost share untuk proyek jet tempur KF 21 Boromae. Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu Dwi Pudjiastuti Handayani menegaskan bahwa cost share untuk KF 21 Boromae sudah dialokasikan ke dalam APBN 2022 dan 2023.
“Tentang cost share utk KFX-IFX, dalam APBN 2022 & 2023 sudah dialokasikan,” tegasnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Minggu (18/12/2022).
Terkait dengan pelaksanaannya pembayaran, semuanya telah diserahkan kepada Kemenhan. Sayangnya, Juru Bicara Menteri Pertahanan (Jubir Menhan) RI Dahnil Anzar Simanjuntak tidak menjawab pernyataan terkait dengan cost share tersebut.
Masih dari sumber yang sama, Sekjen Kemhan periode 2010-2013 Marsekal (Purn) Eris Heryanto mengungkapkan bahwa penandatanganan cost sharing proyek ini dilakukan oleh antara KAI dan pemerintah Indonesia. Seharusnya ini dilakukan dengan pemerintah Korea. Sementara itu, KAI mitranya PT DI membuat work assignment agreement.
“Ini adalah rencana kegiatan pada saat EMD phase, sudah dimulai tahun 2016, kita harusnya mengirim (tenaga) teknik kita. Tapi di 2016-2017 itu, kita belum membayar cost share,” paparnya. Indonesia, kata Eris, belum membayar cost share saat itu karena alokasi anggarannya berada di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Menurut Eris, anggaran cost share saat itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih penting.
“Akibatnya Kemenkeu tidak bersedia mengganti sampai ada perintah dari Presiden. Itu kenapa kita tidak membayar cost share,” tegasnya.
Sesuai kesepatakan bilateral pada tahun 2016, Indonesia kebagian porsi untuk menanggung biaya pengembangan sebesar 20 persen, dengan nilai total US$1,5 miliar dan sampai tahun 2019 baru terbayarkan sekitar US$200 juta. Secara keseluruhan, Korea Selatan dan Indonesia sepakat untuk bersama-sama mengembangkan proyek KFX/IFX dengan nilai US$6,2 miliar.
Dengan Indonesia membayar 20 persen dari biaya pengembangan, maka Indonesia akan mendapatkan akses ke teknologi, keahlian, dan opsi untuk membeli pesawat KF-21. Dalam proyek ini, PT DI disepakati akan mendapatkan satu prototipe jet tempur ini untuk keperluan uji dan penelitian.
Terlepas dari sikap ‘tak jelas’ Indonesia, Pemerintah Korea Selatan bersikeras, meski Indonesia menarik penuh dari program tersebut, namun program KF-21 akan tetap berjalan sesuai rencana. Namun, masalah terbesar terletak pada investasi yang dijanjikan Indonesia.
Bila Indonesia sampai molor atau bahkan mundur dalam pendanaan, maka hilang produksi 51 unit jet yang dijanjikan akan dipesan untuk kebutuhan TNI AU. Akibat berkurangnya kuantitas produksi secara keseluruhan, maka akan meningkatkan biaya per unit, yang ujung-ujungnya berpotensi merugikan prospek ekspor jet tempur tersebut.
Belakangan, ada kabar yang membuat Korea Selatan kembali bergairah, yakni dengan ketertarikan industri pertahanan Polandia, Polska Grupa Zbrojeniowa (PGZ SA), holding perusahaan pertahanan Polandia, untuk berpartisipasi dalam proyek KF-21 Boramae.
Baca juga: Polandia Kepincut Proyek KF-21 Boramae, Mungkinkah Gantikan Porsi Indonesia?
Keinginan PGZ untuk membangun lini produksi komponen KF-21 di Polandia. “Kami dapat menawarkan penjualan yang kuat (KF-21) kepada tetangga kami, tentu sebagai bagian dari Uni Eropa,” kata Sebastian Hwawek, Head of Polska Grupa Zbrojeniowa dalam wawancara eksklusif dengan majalah Polandia. (Gilang Perdana)