“Jarang Muncul,” Rantis Amfibi ‘Terbesar’ PTS-10 Korps Marinir dalam Kondisi Terawat

Sosoknya terbilang besar dan terlihat sangar, tercermin kuat bagi siapa saja yang melihat rantis amfibi PTS-10 dari Batalyon KAPA – Kendaraan Amfibi Pengangkut Artileri (YonKapa) Resimen Kavaleri Korps Marinir. Dengan panjang hampir 12 meter dan lebar 3,32 meter, tak pelak PTS-10 masih menyandang predikat kendaraan amfibi terbesar di Indonesia. Meski begitu, PTS-10 tak seperti seniornya K-61 yang sering tampil dalam berbagai hajatan dan latihan tempur. Padahal daya angkut PTS-10 yang mencapai 10 ton belum ada tandingannya. Lantas mengapa PTS-10 terasa begitu misterius?

Baca juga: Kenali Detail Rantis Amfibi Legendaris, KAPA K-61 Korps Marinir TNI AL

Dirunut dari sejarahnya, PTS-10 atau dalam bahasa Rusia (Plavayushchij Transportyer – Sryednyj)-10 adalah kendaraan angkut amfibi ukuran sedang yang dibuat di era Uni Soviet. Persisnya PTS-10 dibuat oleh pabrik State Soviet Factories pada awal 1965. Berbeda dengan K-61 yang tiba di Indonesia pada dekade 60-an untuk menyongsong Operasi Trikora, maka PTS-10 tiba di Indonesia pada dekade 90-an, yaitu bersamaan dengan periode kedatangan panser amfibi BTR-50PK dari Ukraina.

Berdasarkan penelurusan Indomiliter.com, PTS-10 saat itu memang bukan ‘pilihan’ Korps Marinir, melainkan rantis yang diserahkan oleh pihak Mabes TNI di zaman Orde Baru. Datang belakangan dibanding K-61, tapi justru rantis dengan bobot mati 17 ton ini malah jarang ditampilkan dalam kegiatan operasi dan latihan. Debutnya boleh dikatakan lebih banyak tampil sebagai kendaraan latar dalam defile dan upacara di Markas Korps Marinir.

Hal di atas tentu mengundang tanya, berdasarkan penuturan dari berbagai pihak, ada beberapa yang mengindikasikan PTS-10 kurang populer digunakan. Pertama, PTS-10 dengan mesin diesel A-712P V12 mengkonsumsi bahan bakar 150 liter untuk per 100 km, tergolong boros BBM, meski kapasitas tangk keseluruhan 500 liter. Kedua, deployment rantis amfibi tambun ini tak mudah seperti halnya K-61. Cukup sulit untuk membawa PTS-10 dengan transporter (oplenger). Dengan dimensinya yang besar, untuk loading ke trailer hanya bisa dilakukan oleh awak yang benar-benar terlatih agar tidak tergelincir.

Indikasi ketiga adalah, PTS-10 tidak dapat diluncurkan dari LST (Landing Ship Tank) yang dimiliki TNI AL, sementara jika dipaksakan maka bagian ekor akan ‘nyangkut.’ Sebaliknya AL Rusia bisa meluncurkan PTS-10 dari LST, hal ini lantaran pintu rampa LST Rusia terbilang tinggi. Namun, sejak TNI AL mengoperasikan Landing Platform Dock (LPD), PTS-10 dapat diangkut dan diluncurkan, dengan syarat saat masuk harus bagian ekornya terlebih dahulu.

Lepas dari itu semua, enam unit PTS-10 di arsenal Korps Marinir kini dalam kondisi sangat terawat dan siap dioperasikan suatu waktu. Mesin rutin dipanaskan dan secara berkala diuji kedap di kolam tank.

Kemampuan membawa muatan seberat 10 ton atau 75 pasukan Marinir bersenjata lengkap, jelas menjadi keunggulan komparatif dari PTS-10 yang tiada tanding. Sebagai contoh, truk 2,5 ton sekelas Mercedes Benz Unimog dapat dibawa dengan mudah oleh PTS-10.

Di negara asalnya, PTS-10 sudah banyak dioperasikan oleh swasta, kendaraan yang dibandrol US$27.832 dianggap ideal untuk menerobos medan berat berawa, bahkan PTS-10 diminati oleh kalangan pebisnis wisata.

Baca juga: PTS-10 – Kendaraan Angkut Amfibi Terbesar Korps Marinir TNI AL

Sekiranya dengan upaya repowering, kinerja PTS-10 boleh jadi akan lebih ekonomis untuk kembali aktif dioperasikan. Dengan mesin yang ada saat ini, kecepatan PTS-10 di air mencapai 11,5 km per jam untuk maju, sementara 5 km per jam untuk mundur. Untuk kecepatan gerak di darat (jalan raya) adalah 42 Km per jam dan kecepatan di medan off road rata-rata 27 km per jam. (Haryo Adjie)

17 Comments