Update Drone KamikazeKlik di Atas

Invader Killer – Nasib Pengadaan Alutsista Indonesia dalam ‘Tekanan’ Geopolitik dan Covid-19

Wabah pandemi Covid-19 secara tidak langsung telah mempengaruhi proses pengadaan alutsista TNI. Pemerintah Indonesia telah memangkas anggaran pertahanan tahun 2020 sebesar hampir Rp9 triliun (US$588 juta). Sebelum wabah ini mendera terlebih dahulu kebijakan CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) dari Amerika Serikat ditengarai telah menjadi salah satu penyebab terganjalnya proses pengadaan Sukhoi Su-35. Sekalipun telah dibangun shelter untuk Su-35 di Lanud Iswahyudi dan pengiriman sejumlah pilot tempur ke Rusia untuk belajar menerbangkan Su-35, namun hingga kini pesawat pengganti F-5 E/F Tiger II itu belum jelas juga juntrungannya.

Baca juga: Gantikan Su-35, Idealkah Jet Tempur Stealth F-35 Lightning II untuk Indonesia?

Belum juga jelas perihal penandantanganan kontrak Su-35, tiba-tiba muncul statement mengenai rencana kedatangan F-16 Viper (block 70/72) sebanyak 2 skadron. Kemunculan F-16 Viper secara ‘tiba-tiba’ ini dikaitan sebagai upaya untuk memuluskan rencana pengadaan Su-35. Indonesia dikancah geopolitik memang menarik berbagai kepentingan global. AS memerlukan Indonesia sebagai sekutu strategis untuk menghadapi geliat Sang Naga dengan isu kebebasan Navigasi di perairan internasional.

Disisi lain AS memandang Indonesia sebagai potential market yang besar bagi produk-produk alutsista. Sekalipun nasib KFX/IFX kembali menjadi tidak jelas karena belum dibayarnya uang iuran oleh pihak Indonesia, namun kedepannya bila jadi diproduksi, maka komponen pesawat tempur KFX/IFX tetap akan didominasi oleh peralatan dari produsen asal AS.

Dalam lawatannya ke negara-negara sahabat sebagai upaya diplomasi pengadaan alutsista, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sempat berkunjung ke Perancis. Sebagai efek kunjungan tersebut, kemudian beredar kabar pembelian 2 skadron Rafale yang kemudian muncul pula rumor keinginan Indonesia untuk membeli jet tempur stealth F-35. Pertempuran masa depan tidak cukup dimenangkan dengan kecepatan, manuver pesawat dan keahlian dog fight pilot, melainkan bakal didominasi oleh peperangan elektronika/jammer, radar dan rudal jarak jauh.

Perebutan sumber daya ekonomi akan dilakukan, salah satunya melalui serangan amfibi dengan pengerahan armada tempur yang didukung oleh kapal induk dan kapal kombatan. Perkuatan pangkalan militer Natuna belum cukup mumpuni bila skadron yang ditempatkan disana belum memiliki misil jelajah yang memiliki efek deteren.

Bilamana AS mampu menekan Indonesia untuk membatalkan pembelian Su-35 (dan S-400). maka sebaliknya Indonesia harus mampu memainkan perannya untuk menekan pihak AS untuk memberikan ijin pembelian AGM-158 JASSM (Joint Air-to-Surface Standoff Missile) & AGM-158C LRASM (Long Range Anti-Ship Missile) dengan catatan F-16 Viper/F-35 yang dibeli dan pesawat IFX nantinya bila jadi diproduksi akan memiliki kemampuan mengangkut dan menembakkan JASSM & LRASM.

Baca juga: AGM-158 JASSM di Pembom B-1B Lancer – Sebuah ‘Pesan’ dari Trump untuk Xi Jinping

Jerman sebagai salah satu negara anggota NATO saja lebih memilih F/A-18E/F Super Hornet daripada F-35 dengan pertimbangan salah satu syarat pesawat NATO harus dapat membawa LRASM dan rudal jelajah nuklir. (Wahju Indrawan aka Ayoeng Von Karawang)

52 Comments