F-35 Ligtning II, Jet Tempur Khusus Loyalis Sejati Negeri Paman Sam
Dalam politik luar negerinya, sudah barang tentu Amerika Serikat ingin menggalang kerja sama dengan negara lain, terkhusus di bidang kerja sama pertahanan, sebisa mungkin Negeri Paman Sam membina perkawanan dengan negara-negara di yang wilayah yang terdapat hot spot. Bila di Timur Tengah yang jadi ancaman adalan Iran, maka di Asia Pasifik, tak pelak Cina yang dianggap sebagai seteru terbesarnya.
Di Timur Tengah, selain tentunya dengan Israel, AS juga menjalin kemitraan dengan negara-negara di sekitaran Iran. Pun demikian di Laut Cina Selatan, AS secara berkala mengadakan latihan militer dengan negara-negara di Asia Tenggara. Selain program latihan militer, bentuk dukungan AS yaitu berupa tawaran pengadaan penjualan senjata kepada negara-negara sahabat. Salah satu yang dikenal sejak lama adalah program Foreign Military Sales (FMS) yang digawangi Departemen Pertahanan AS.
Dalam konstelasi Laut Cina Selatan, Indonesia termasuk yang mendapat perhatian khusus dari AS, sebagai buktinya beberapa kali pejabat tinggi AS bertandang ke Jakarta, dimana salah satu agenda yang terendus media adalah soal tawaran akuisisi jet tempur untuk TNI AU.
Lepas dari soal teknis dan kemampuan pembiayaan, sebenarnya ada cara ‘sederhana’ untuk menguji AS dalam memperlakukan mitranya, apakah masuk kelas mitra dekat (sekutu) atau mitra biasa (abu-abu). Salah satu yang bisa jadi ukuran adalah dengan menguji AS lewat meminta pengajuan pembelian jet tempur F-35 Lightning II.
Ketika pengadaan Sukhoi Su-35 terbentur oleh Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) yang diberlakukan oleh AS, maka sejatinya Indonesia akan kehilangan kekuatan udara untuk mengimbangi apa yang dimiliki oleh Australia dan Singapura. Seperti diketahui, Australia dalam proses pengadaan F-35A yang beberapa sudah beroperasi, sedangkan untuk Singapura, program F-35B sudah mengantongi persetujuan Washington.
Menyadari adanya gap kekuatan udara di masa depan, entah ungkapan serius atau sekedar wacana, Sakti Wahyu Trenggono saat menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan pernah mengungkapkan, bahwa ada keinginan untuk mengganti Su-35 dengan F-35.
Tak secara tegas menolak, justru AS secara halus berpendapat, bila Indonesia memang ingin F-35, maka perlu diperhatikan jadwal pengirimannya yang bisa memakan waktu 10 tahun. Hal itu dikarenakan rantai produksi F-35 yang ‘padat’ meng-handle ratusan unit pesanan dari Australia, Singapura, Denmark, Italia, Israel, Jepang, Belanda, Norwegia, Korea Selatan, Inggris dan Uni Emirat Arab.
Sebagai ‘pelipur lara,’ kemudian AS menawarkan F-15EX dan F/A-18 Super Hornet, yang dianggap dianggap oleh Washington lebih pas untuk Indonesia, mengingat kedua jet tempur produksi Boeing itu kapasitas produksinya lebih siap untuk kelak menerima order dari Indonesia.
Kasus Uni Emirat Arab
Terkait dengan cara menguji keberpihakan AS, bisa juga dilihat dari kasus rencana pengadaan F-35 untuk Uni Emirat Arab. Pada masa pemerintahan Donald Trump, Washington telah memberi lampu hijau atas pemmbelian F-35 ke Uni Emirat Arab dengan nilai miliaran dollar.
Namun, saat jabatan Presiden AS dipegang oleh Joe Biden, disebutkan bahwa rencana pengadaan F-35 untuk UEA telah dibekukan, meski tak berarti dibatalkan. Kasus Indonesia dan UEA tentang F-35 tentu berbeda, dimana UEA tidak mengalami persoalan terkait anggaran pertahanan.
Kasus Turki
Sebagai bagian dari anggota NATO, sudah dipastikan Ankara adalah sekutu dekat Washington. Namun, apakah setiap sekutu itu dianggap loyal, nyatanya belum tentu. AS tidak menginginkan sekutunya bermain di dua kaki. Begitu Turki kekeuh mendatangkan sistem hanud S-400, maka talak pun dijatuhkan, selain pembelian F-35 untuk Turki dibatalkan, Turki pun didepak dari konsorsium pengembangan F-35.
Kabar terakhir, Turki menggandeng firma hukum internasional (Arnold & Porter) yang berbasis di Washington untuk melobi pemerintah AS agar mengembalikannya dalam program pesawat jet tempur F-35 yang dibekukan. Sebagai catatan, Turki memesan lebih dari 100 unit F-35 dalam program tahun 2019.
Tinjauan Kepentingan AS
Kasus Turki dan UEA menyiratkan bahwa penundaan atau pembatalan pesanan F-35 bukan terkait soal fulus. Sebagai jet tempur tercanggih yang di ekspor, maka AS berkepentingan untuk memastikan loyalitas negara pembeli, artinya haluan politik dan pertahanannya harus jelas. Seperti Australia dan Singapura sudah jelas, status kedua negara adalah sekutu AS yang terpercaya dan totalitas menggunakan persenjataan lansiran AS atau standar NATO.
Sementara tidak demikian dengan UEA dan Turki, bahkan UEA sejak lama juga mengadopsi sistem senjata buatan Rusia dan Cina. Contoh yang paling sederhana untuk UEA adalah akuisisi sistem hanud Pantsir S-1 dari Rusia dan drone tempur dari Cina.
Baca juga: Berkat Lobi Yahudi, Amerika Serikat Setujui Penjualan 50 Unit F-22 Raptor ke Israel
Dominasi Kekuatan Udara
Washington rupanya memperhatikan aspek dominasi keunggulan militer untuk para sekutunya. Itulah mengapa AS berkepentingan untuk menjaga keunggulan militer (udara) Australia dan Singapura. Begitu juga dalam konteks rencana penjualan F-35 ke UEA, dimana isu penjualan itu langsung menuai protes dari Isarel, yang alih-alih AS sempat menawarkan F-22 Raptor untuk Israel.
Nah, bagaimana dengan Indonesia? boleh jadi haluan politik Indoneia yang non blok, yang kemudian menjadikan AS enggan untuk melepaskan jet tempur sekelas F-35. (Gilang Perdana)
Fix ente yg gagal paham, ane udah sebutin apa itu NCW apa itu pakta pertahanan apa itu sistem terintegrasi.
Gini ya Dhek, NATO itu memiliki jaringan terintegrasi yg dalam penggunaannya bisa dilakukan bersama-sama,holistik dan kontinyu. Artinya sistem pertahanan mereka saling terhubung , sistem radar, satelit, intelijen, bahkan pangkalan pun saling terhubung. Disini negara anggota seperti polandia atau turki gak akan bingung bagaimana cara mereka mengoperasikan dan mengoptimalkan Alutsista canggih kayak F-35 karena mereka sudah terhubung dg pusat kendali, negara anggota seperti the big boss usa, UK, France, German, italy, Spain yg buatin sistemnya. So, Polandia atau Turki gak khawatir apakah mereka sudah pernah mengoperasikan pespur dg aesa atau tidak karena USA sendiri yg menjaminkan dan memberikan pelatihan langsung ke mereka. Bahkan jika dalam kondisi mendesak pilot Polandia atau pengguna Alutsista lainnya TDK bisa mengakses entah karena terbunuh dalam pertempuran atau yg lainnya, maka pilot negara anggota yg lain yg lebih dekat bisa segera mengakses F-35 tersebut. Itulah pentingnya commonality pada pakta pertahanan yg sudah mapan seperti NATO. Dari sini paham Dhek Rukimin? Ada yg mau ditanyakan kembali?
“Washington rupanya memperhatikan aspek dominasi keunggulan militer untuk para sekutunya. Itulah mengapa AS berkepentingan untuk menjaga keunggulanb militer (udara) Australia dan Singapura.
__________________________________________________
Bukti su35 strooonkk bingiiits😁
Jadi sekutu juga ada levelnya
Toh tidak menampik kenyataan negara ini butuh AS sbgai penyeimbang kestabilan kawasan dari keagresifan partai PKC.
Ada makhluk dari spesies orbod yang bilang begini :
“Iphone12 kok disamain dengan polytron.”
Dari sini jelas kualitas intelejensia si orbod tersebut yang di bawah rata-rata.
Rupanya dia tidak mengerti perumpamaan yg saya sampaikan. Kekuatan udara itu bukan soal Iphone dan Polytron. Mengapa?
Saya dulu lebih dari 25 tahun yang lalu pernah punya tape polytron bazzoke. Suaranya speaker dari subwoofernya keras bukan main dan bergemuruh menggetarkan lantai, pintu dan kaca2 jendela.
Iphone12 jauh lebih mahal dan bergengsi daripada tape polytron bazzoke saya. Tetapi walau begitu mutu volume suara yang dihasilkan Iphone12 tidak akan sedahsyat polytron bazzoke. Kalopun mau sekeras itu, Iphone12 harus dibantu speaker tambahan.
Seperti Iphone12 yang orang kejar untuk dimiliki demi gengsi semata, F35 pun juga begitu. Iphone12 adalah keinginan, bukan kebutuhan. Kalau nggak punya duit untuk beli Iphone12 ya jangan beli. Kalo belum mampu untuk membiayai biaya operasional dan biaya harwat F35 ya jangan beli F35.
US pun kewalahan akan biaya harwat dan operasional F35. Lha yang udah punya teknologi dan line produksi aja kewalahan biaya harwatnya apa lagi kita yang anggaran harwatnya udah kembang kempis hidup segan mati tak mau.
Kalo hanya untuk menghasilkan daya gentar, belilah apa yang dibutuhkan yang bisa dibeli dalam jumlah banyak dan bisa dioperasikan 80% serta biaya perawatan yang dapat dijangkau. Dan itu bukanlah F35.
Eh, kang kalkulator ente td dibawah bandingin kemampuan jarak F-35 Ama Tukino, kan lontong, Napa gak sekalian dibandingin Ama Tu-95?
F-35 mahal ya wajarlah. Ibarat Tesla T3 disamain Ama Isuzu panther ya beda lah. Semakin canggih suatu alat ya tingkat kegagalan dan malfungsi yg ditemukan sebelum benar-benar sempurna jauh lebih banyak. Nilai BEP suatu produk canggih hanya akan terjadi ketika ada efisiensi pembuatannya selain pembelian dalam jumlah banyak.
Setelah lewat masa orde lama dan baru Bagi usa/uni soviet Indonesia adalah negara yg tidak bisa dipercaya untuk skrg .. Dan usa hanya memanfaatkan stts Indonesia sbg negara dgn penduduk terpadat ke 4 dunia.. Dan lgi posisi Indonesia sbg tameng melawan cina.. Sudah saatnya Indonesia membuat pilihan sbg negara Sekutu siapa usa/rusia.. Ingat jika pecah perang usa/china posisi Indonesia sudah pasti jdi basecamp usa..