Armada Classic Hornet Australia Bakal Menjadi Pesawat ‘Agresor’ di Amerika Serikat
|Di dekade 90-an, saat kekuatan udara Indonesia mengandalkan pada F-16 A/B Block15 OCU Fighting Falcon, maka di belahan selatan, yaitu Australia mengoperasikan ‘rival’ F-16, yaitu F-18 A/B Hornet. Sayang kepak F-16 di Indonesia sempat terganjal embargo dari Amerika Serikat pada periode 1998 – 2006, sebaliknya F-18 Australia terus terbang mulus. Bahkan bila ada yang ingat tentang insiden 16 September 1999 di atas udara Nusa Tenggara Timur, saat itu ‘pelakunya’ diduga adalah F/A-18 AU Australia (RAAF).
Baca juga: Hawk 209 – Lightweight Multirole Fighter Penantang F/A-18 Hornet Australia
F/A-18 A/B Hornet kerap disebut Classic Hornet, lantaran saat ini sudah ada F/A-18 E/D Super Hornet, yang juga telah dioperasikan RAAF. Bila dikomparasi, Indonesia saat itu hanya mengoperasikan 12 unit F-16 A/B, tapi sebaliknya Australia mengoperasikan 57 unit F/A-18 A (single seat) dan 18 unit F/A-18 B (tandem seat).
Lantaran saat ini sudah mengoperasikan 24 unit 24 F/A-18F dan turunannya 11 unit EA-18G Growler, plus sedang dalam proses akuisisi 72 unit jet tempur stealth F-35A Lightning II, maka secara bertahap Classic Hornet mulai dipensiunkan. Namun karena dianggap masih punya taji, Classic Hornet tak lantas masuk museum, melainkan 25 unit F/A-18 A/B Aussy telah dijual kepada AU Kanada pada Februari 2019 silam.
Mengingat di arsenal RAAF masih ada stok F/A-18 Classic, rupanya sisa yang belum terjual kini sudah berpindah tangan. Dikutip dari Janes.com (4/3/2020), juru bicara Departemen Pertahanan Australia menyebutkan bahwa sisa armada F/A-18 A/B telah dijual kepada kontraktor swasta di Amerika Serikat. Persinya ada 46 unit yang dijual dan dipindahkan ke basis barunya di Illinois, AS. Kontraktor swasta ini akan menggunakan Classic Hornet asal Australia sebagai pesawat agresor “Red Air” untuk melatih pertempuran bagi para pilot AU AS (USAF).
Baca juga: Operasikan F/A-18F dan EA-18G Growler, Jadi Bukti AU Australia Loyalis Keluarga “Hornet”
Tidak disebutkan berapa nilai kontrak penjualan armada Classic Hornet Australia, beberapa pesawat yang akan dibawa ke AS saat ini tengah dipersiapkan di Lanud Williamtown, New South Wales. F/A-18 Hornet alias Classic Hornet terbang perdana pada 18 November 1978, saat itu produksinya masih digawangi oleh McDonnell Douglas (sekarang Boeing). (Bayu Pamungkas)
Mereka satu ras (anglo saxon) dan kita masih dianggap ancaman oleh buku putih mereka (singapur & ostrali) .. untuk itu beli aja SU 35 S & F 16 Block 70 Viper.
Terkadang saya berfikir, negara kita terlalu mengedepankan strike force (pespur)
Padahal untuk pespur sendiri biaya terbang, perawatan dan semia faktor pendukung lainnya tidak murah.
Terlebih lagi zaman now hampir semua negara kuat sudah beralih ke gen 5
Apakah tidak lebih jika semuanya lebih berimbang untuk TNI AU.
Berimbang yang saya maksud adapah memperbanyak radar yang specnya lebih baik, memperbanyak payung udara dari short dan medium kita, membeli payung udara yang termasuk long range, serta membeli payung udara untuk men-jammer sinyal dari AEW&C, rudal, pespur, satelit orbit rendah, drone dan alat komunilasi yang berbasis GPS dan lainnya, seperti Krasukha-4
Menilik sumua pespur uang telah TNI AU miliki saat ini, pada kenyataannya pespur TNI AU berbanding terbalik dengan jumlah “Rudal” yang dimilikinya, serta spek rudal yang dimiliki tidak sebaik yang dimiliki oleh negara yang dekat dengan Amerika ataupun Rusia.
Saya setuju jika dalam pengadaan pembelian 11 SU-35 tidak kosongan, hanya saja pertanyaannya yaitu; rudal jenis apakah yang termasuk di dalam pembelian SU-35 dan berapa banyak jumlahnya?
Karena jika suatu saat pespur TNI AU harus mempertahankan wilayah Republik Indonesia hingga harus terjadi gesekan, sungguh tidak ideal jika semua prspur TNI AU di jatah hanya 2 – 4 rudal selama pespur tersebut selama aktif.
Jika untuk Bom dan juga Roket, kita patut bersyukur karena sudah dapat memproduksinya, meskipun masih terus disempurnakan.
gue setuju dengan pemikiran dek kencana…karna kalou kita belum mampu dengan sista yang bersifat opensif maka sista defensif yang harus diutamakan…karna anti atau kontra sista akan lebih mudah dan murah didapatkan….tapi kalou di liat lagi efektivitas nya satu jenis sista dengan jumlah dan modal yang diperlukan jadi bahan pemikiran juga…saya ambil contoh berapa banyak radar dan rudal anti yang diperlukan untuk menjangkau satu wilayah sebesar indonesia lalu coba bandingkan denga efek gentar (efek deterrence) bila kita mempunyai jumlah skuadron pespur yang handal dan mampu diandalakan.
…tapi ironi nya semua perlu dana dan modal yang luar biasa besar…karna kemampuan kita belum menyentuh teknologi tersebut…satu contoh lagi bahkan roket belasan tahun pengembanganya masih jadi roket apa lagi daya jelajah dan muatanya yang memang dibatasi oleh pihak adi daya…!!!
perlu direnungkan langkah yang diambil dengan hasil capaian saat ini…kajian bukan untuk memberhangus suatu kebijakan atau membatalkan nya tapi mempelaajari sejauh apa pencapain nya dan melihat kendala dan cari solusinya…!!!
Jika memang yang dikejar efek deterrence, peratanyaannya untuk negara mana?
Jika yang kita hadapi sekelas negara Timor Leste atau Papaua Nugie mungkin bisa.
Efek gentar pespur sekelas Shukoi Series ataupun F16 dapat membuat mereka berfikir mengurngkan niatnya, akan tetapi mungkin akan berbeda cerita jika yang dihadapi negara sekelas Ausie atau Singapore, atau bahkan China…
Pespur berikut arsenal rudal untuk pespur mereka lebih dari cukup untuk lebih dari 3 rit ketika terjadi gesekan.
Belum lagi range rudal mereka yang lebih jauh dari milik kita.
Akan sungguh konyol jika pespur kita jika masih selamat dan kembali untuk reload dan mengudara kembali harus menghadapi sekema amunisi mm vs rudal…
Inti maksud saya adalah ratio efektifitas pespur kita (berikut dengan costnya) dibandingkan dengan efektifitas radar ataupun payung udara (SAM ataupun jammer) berikut dengan costnya.
1 hal yang harus digaris bawahi, doktrin negara kita untuk pespur lebih mengedepankan untuk intercept, sedangkan untuk batle air, ratio TNI AU dari pespur maupun rudalnya masih jauh dari arti ideal.
Terlebihlagi dari spec pespurnya dan tech rudalnya masih tertinggal dari sebagian negara tetangga kita.
Hal ini dapat ditutupi diantaranya dengan yang tadi saya jabarkan diatas dan juga inter koneksi antar matra, contohnya kaparang TNI AL dengan rudal anti pespurnya dan juga TNI AD dengan rudal SAM yang dimilikinya.
Catatan disini adalah semoga kita dapat lebih bijak dalam meriset, membeli serta merencanakan pembelian untuk masa depan.
Bravo TNI & POLRI
memang rada rancu konsep yang kita anut baik sistem yang diakusisi dengan doktrin yang diterapkan…tapi melihat lagi dari efectivitas dan mobilisasinya juga perlu dipertimbangkaan secara matang……saya rasa semua doktrin pertahanan semua negara memang menganut pada apa yang anda sampaikan …tapi itu juaga tergantung pada kemampuan negara bersangkutan…sperti sistem anti serangan udara biasanya diletakan pada objek vital atau obyek stategis…sedang sistem bermacam macam tergatung dari kebutuhan maupun kemampuan…bila sangat strategis biasanya akan berlapis
…..
sedankan pespur dalam doktrin lebih pada pengamanan jangkauan yang lebih luas…bukan hanya jarak tempuh tapi juga dengan mudah dimobilisasi baik sebagai bantuan atau pencegahan…jadi engak terlalu bertentangan…!¡!
Karena Ausie adalah salah satu yang dekat dengan Amerika, jadi kepemerintahan Amerika berikut senatnya sudah pasti tidak terlalu mempersulit kebutuhan militer Ausie.
Itu salah satunya…tp kembali lg ..it’s all about MONEY…..
kontraktor mana…at perusahaan mana yg g akan memenuhi permintaan konsumennya kl MONEYnya ada..
Terlebih jika it jg suatu pendapatan bagi negara tersebut dng meningkatkan kapasitas pekerjanya alias mengurangi pengangguran…
Ayolah negara kita tercinta memang lg cekak…ekonomi lg sulit…nilai tukar rupiah anjlok…fokus untuk pembanguan infra struktur..
Optimis namun realistis..
pasang sistem pertahanan udara di perbatasan NTT dan surabaya
Kalau negara tetangga beli Alusista kita adem ayam aja, tapi begitu kita beli Alusista, negara tetangga pada ributin,, padahal tetangga timur kita (Aussie) punya Alusista bejibun, demikian juga di tetangga timur (Singapura) sama halnya,, apakah dalam buku pertahanan mereka, kita masih diaanggap ancaman??
Karena semua itu adalah bagian dari sebagian pemikiran mereka yang paranoid dan bagian dari proxy war (efek dari mudahnya masyarakat umum mendapatkan berita yang mungkin bumbunya dikurangi atau dilebihkan.
Untuk Indonesia sendiri semua yang menyangkut alutista dan semua komponennya adalah alat pertahanan negara dan juga alat perdamaian dunia (pasukan perdamaian dunia yang telah di pilih oleh PBB)
Sebagian dari mereka beranggapan yang tidak spendapat dan sejalan dengan idea dan pemikiran mereka adalah ancaman.
Wiiiiiihhhhhhhh……kuantitas dn kualitas ok punya nich ausie…
Selalu ngiri kl lihat kekuatan sayap tempur tetangga….dn sudah deal kontrak dan pasti datang tanpa ribet bin muter bin mumet 75 UNIT F-35…
Duit. Kita masih kere
tapi pemangku kebijakan dan pejabat kita kaya rayoa loh…
padahal kondefnya mudah semua orang tau kecuali para birokrat.”ekonomi akan berkembang bila ada pemerataan dan lapangan pekerjaan”.