Rusia Luncurkan “Bumerang,” Ranjau Helikopter dengan Kombinasi sensor Akustik dan Infrared
|Infiltrasi dan serbuan udara menggunakan helikopter hingga saat ini masih menjadi momok bagi pemangku institusi pertahanan di banyak negara. Meski belum jelas dilanjutkan atau tidak, Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AL (Dislitbangal) pun pernah mengantisipasi kehadiran wahana sayap putar ini dengan menghadirkan prototipe ranjau anti helikopter (anti helicopter mine).
Baca juga: Ranjau Anti Helikopter – Jebakan Maut Untuk Infiltran
Dalam rancangannya, ranjau anti helikopter Dislitbangal dimaksudkan untuk menjegal langkah infiltrasi pasukan musuh yang di daratkan lewat helikopter yang terbang rendah di atas permukaan tanah. Ada beragam sensor yang dikembangkan seputar ranjau anti helikopter, mulai yang sederhana dengan basis hembusan angin sampai sensor gerak dengan teknologi infra merah. Seperti yang pernah diperlihatkan TNI AL, mengandalkan sensor kinetik dari hembusan angin. Ranjau heli prototipe ini dilengkapi semacam antena kecil sebagai pemicu bila terkena hempasan angin dari helikopter yang mendekat.
Bila antena kecil dengan penampang ini bergerak, maka otomatis dapat memicu ledakan fragmentasi yang bisa berakibat fatal di area helikopter tersebut. Tidak hanya heli yang hancur, tapi pasukan yang di daratkan pun bisa menjadi korban.
Dan dari Rusia, diwartakan State Treasury Scientific Testing Ground of Aviation Systems (GkNIPAS) telah merilis ranjau anti helikopter generasi baru. Dikutip dari topwar.ru (19/10/2021), diberi label PVM atau “Bumerang,” ranjau anti helikopter ini dirancang untuk menyasar helikopter yang terbang rendah.
Ranjau anti helikopter ini berbentuk sebuah kubus dengan sisi kurang dari setengah meter dan berat 12 kg. Saat dilipat, ranjau ini memiliki bentuk prisma heksagonal. Amunisi ranjau ini mengandalkan kombinasi sensor target akustik dan infrared. Saat sasaran tiba, sensor akan akan menentukan arah dan jangkauan. Dan saat sasaran dalam jangkauan, ranjau ini akan meluncurkan proyektil dan meledak berupa fragmentasi yang akan menghancurkan helikopter lawan, dimana radius rusak dari fragmen ranjau ini mencapai 150 meter.
Dengan teknologi akustik, Bumerang dapat mendeteksi suara bising helikopter dari jarak 3 – 3,2 km. Sensor di ranjau ini dapat membedakan antara suara helikopter dan suara lainnya.
Berbeda dengan ranjau darat, ranjau helikopter tidak ditanam di dalam tanah, melainkan corak dan warnanya saja yang umumnya di kamuflase. Lepas dari sensor yang digunakan, setiap metode sensor punya risiko tersendiri yang dapat membahayakan warga sipil, seperti model hembusan angin pada prakteknya punya beberapa kelemahan, seperti di khawatirkan antena pemicu yang tidak sengaja tersenggol oleh binatang atau warga sipil. Untuk itu, ranjau helikopter masih jarang digunakan. (Bayu Pamungkas)
tidak sengaja kesenggolan? pasang pembatasan pagar setinggi saja disekitar.. disamarkan saja..
Ini teknologi yg dikembangkan sejak era 80/90 – an……menurut majalah @military_technology