Rusia Disebut Turun Peringkat Sebagai Eksportir Senjata Global, Data SIPRI Langsung Direspon CAWAT
|Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada 11 Maret 2024, merilis hasil risetnya tentang nilai transaksi dan peringkat penjualan (ekspor) senjata global. Poin menariknya adalah Amerika Serikat meningkatkan ekspor senjatanya sebesar 17 persen antara tahun 2014-2018 dan 2019-2023, sementara ekspor senjata Rusia turun setengahnya. Rusia untuk pertama kalinya menjadi pengekspor senjata terbesar ketiga, tertinggal tepat di belakang Perancis.
Lebih lanjut SIPRI menjelaskan bahwa ekspor senjata Rusia turun sebesar 53 persen antara tahun 2014–2018 dan 2019–23. Penurunan ini terjadi dengan cepat selama lima tahun terakhir. Meskipun Rusia mengekspor senjata utama ke 31 negara pada tahun 2019, Rusia hanya mengekspor ke 12 negara pada tahun 2023. Negara-negara di Asia dan Oseania menerima 68 persen dari total ekspor senjata Rusia pada tahun 2019. –23, dengan India menyumbang 34 persen dan Tiongkok sebesar 21 persen.
Turunnya peringkat Rusia yang selama ini menjadi pengekspor senjata kedua terbesar, ditambah data SIPRI yang menyebut nilai ekspor senjata Rusia turun lebih dari 50 persen, rupanya telah mendapat reaksi dari Moskow.
Adalah Centre for Analysis of World Arms Trade (CAWAT), lembaga penelitian, informasi, dan penerbitan non-pemerintah independen yang didirikan di Moskow pada Februari 2010, memberikan respon yang terperinci atas pernyataan dan data-data yang disampaikan SIPRI. Dari situs armstrade.org, Direktur CAWAT sekaligus pakar militer terkemuka, Igor Korotchenko, memberikan tanggapan yang menarik untuk dicermati.
Korotchenko menyebut dengan dimulainya operasi militer khusus (perang di Ukraina), struktur resmi di Rusia sudah sepantasnya berhenti mempublikasikan data mengenai pelaksanaan kontrak ekspor, termasuk memberikan informasi ini kepada struktur PBB terkait.
Akibat sikap keras AS terhadap negara-negara pengimpor senjata Rusia, menurutnya demi menjaga kerahasiaan pasokan, tingkat transparansi data yang diberikan pemerintah Rusia dan Rosoboronexport menurun tajam. Jelas sekali, situasi ini terkait dengan keengganan negara importir senjata Rusia untuk ikut serta dalam kebijakan sanksi Barat.
Secara umum, ada yang berpendapat bahwa sanksi AS sama sekali tidak mempengaruhi volume fisik ekspor militer Rusia, sebaliknya justru memaksa Rusia untuk tidak mengungkapkan jenis senjata yang dipasok, serta negara pelanggan dan volume pasokan. Pengecualiannya adalah pelaksanaan kontrak besar yang diselesaikan sebelum operasi militer khusus, misalnya, perjanjian dengan India untuk penyediaan lima set resimen sistem pertahanan udara S-400 Triumph.
Bagi Rusia, penilaian ekspor senjata berdasarkan kontrak yang teridentifikasi secara bertahap kehilangan relevansinya khususnya setelah pemerintah AS mengadopsi undang-undang CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) pada tahun 2017. Sejak itu, setiap tahun transparansi data yang diberikan mengenai kontrak ekspor senjata baru terus menurun, yang secara otomatis “memperburuk” kinerja Rusia, termasuk kinerja dalam peringkat dunia pusat analisis terkemuka Barat yang memantau pasar senjata global, termasuk SIPRI.
Perlu dicatat bahwa sanksi AS tidak menyebabkan kehancuran seperti yang diharapkan oleh AS. Berdasarkan informasi yang terpisah-pisah, tidak lengkap dan belum terverifikasi, SIPRI dalam laporan tertanggal 11 Maret 2024 mengklaim adanya penurunan ekspor Rusia sebesar 53 persen pada periode 2019 hingga 2023 dibandingkan periode yang sama tahun 2014-2018. Artinya, dengan informasi yang terbatas, SIPRI – termasuk karena alasan politik yang jelas – menarik “kesimpulan” tentang penurunan signifikan dalam ekspor militer Rusia.
“Saat ini, kita perlu menilai situasi secara realistis dan tidak memperhitungkan penilaian Barat mengenai ekspor senjata Rusia: penilaian tersebut bermotif politik dan merupakan elemen perang informasi melawan Federasi Rusia,” ujar Korotchenko.
Korotchenko menambahkan, bahwa pembeli utama senjata Rusia bukanlah negara satelit AS, yang terpaksa bergantung secara khusus pada pasokan AS, melainkan negara-negara Selatan, yang menerapkan kebijakan luar negeri dan pertahanan yang independen. (Gilang Perdana)