Jurnalis Senior Australia: Pengadaan Jet Tempur Stealth F-35A adalah “Kesalahan Terbesar”
Setiap pengadaan alutsista, apalagi yang bernilai ‘jumbo’, kerap mendatangkan pro dan kontra. Tidak hanya terjadi di Indonesia, di Australia pun ada pro dan kontra terkait program pengadaan alutsista. Dan kali ini yang menjadi bidikan adalah eksistensi jet tempur stealth F-35A Lightning II yang diakuisisi Angkatan Udara Australia (RAAF) dalam jumlah besar (72 unit). Analis Australia berpendapat bahwa pengadaan F-35A adalah ‘kesalahan terbesar’ yang dilakukan Negeri Kanguru.
Baca juga: Untuk Pertama Kali, Jet Tempur Stealth F-35 Mendarat di Indonesia
Jurnalis senior Australia, Brian Toohey, yang banyak menulis untuk kebijakan keamanan nasional Australia sejak 1973, mengkritik ‘Defense Strategy Review’ Pemerintah Australia yang telah merekomendasikan pembelian skadron keempat jet tempur F-35A.
Total F-35A yang dipesan Australia adalah 72 unit yang didatangkan di bawah Project Air 6000 Phase 2A/2B. Ke-72 unit F-35A dipersiapkan untuk melengkapi tiga skadron tempur, namun, belakangan AU Australia berencana untuk menambah satu skardron F-35A, dengan skadron keempat, maka nantinya AU Australia total akan mengoperasikan 96 unit F-35A.
Tak asal mengkritisi, dikutip dari eurasiantimes.com, Toohey menunjukkan sejarah panjang masalah ‘mahal’ yang telah didapatkan sepanjang program F-35A, Ia pun berargumen bahwa Australia “seharusnya meminta pengembalian uang” dan bahwa “kesalahan terbesar” Australia adalah membeli pesawat itu sejak awal.
Pada bulan April 2022, Air Vice-Marshal Leon Phillips, Head of The Aerospace Systems Division, memberi tahu Komite Legislasi Urusan Luar Negeri, Pertahanan, dan Perdagangan parlemen Australia bahwa pemerintah memperkirakan akan membelanjakan AUD14,6 miliar (US$10,87 miliar) untuk mempertahankan armada F-35A Lightning II hingga 2053.
Sebelumnya, pada Februari 2022, dokumen perkiraan anggaran yang diajukan oleh Departemen Pertahanan Australia mengungkapkan bahwa pesawat F-35 Lightning II RAAF akan menghabiskan lebih sedikit waktu di udara selama empat tahun ke depan daripada yang diperkirakan sebelumnya, memicu debat nasional tentang kemampuan dan kelangsungan ‘hidup’ pesawat.
Beratnya biaya operasional dan pemeliharaan F-35A, mulai berimbas pada jam terbang F-35 yang telah direvisi sebesar 25 persen pada tahun anggaran 2021-22 (FY22) dan direncanakan akan dikurangi sebesar 17 persen pada tahun anggaran 2023, 14 persen pada tahun anggaran 2024, dan 13 persen pada tahun anggaran 2025.
F-35A Sumber Masalah Buat Australia
Dari sejarahnya, Australia bergabung dengan program Joint Strike Fighter F-35 sebagai mitra industri Level 3 pada tahun 2002 dan berkomitmen untuk membeli 72 pesawat dengan harga sekitar US$16 miliar. Sejauh ini, RAAF telah menerima 54 unitdari 72 F-35A yang direncanakan, dan layanan tersebut bermaksud untuk mengoperasikan semua pesawatnya pada akhir tahun 2023.
Namun, menurut pakar pertahanan dan laporan media Australia, pesawat tempur Lockheed Martin F-35A yang dipasok ke RAAF ternyata merupakan bencana total. Misalnya, dua jet tempur F-35 Australia, yang dibeli lebih dari $280 juta pada tahun 2013, mungkin terlalu tua untuk diperbarui ke konfigurasi saat ini.
Selain itu, ada juga kekurangan pada kemampuan F-35 yang relevan dengan kebutuhan keamanan Australia. Seperti soal radius tempur efektif F-35A yang hanya sekitar 1.000 kilometer, dan dengan pesawat tanker, jangkauannya bisa diperpanjang hingga sekitar 1.500 kilometer.
Terkait hotspot di Laut Cina Selatan, F-35A tidak dapat mencapai Laut Cina Selatan tanpa pengisian bahan bakar di udara. Meski begitu, di tengah konflik, ketersediaan tanker udara diragukan di wilayah udara yang diperebutkan.
Lebih lanjut, jurnalis pertahanan Australia, Anthony Galloway, menyatakan bahwa radius tempur F-35A yang sebenarnya mungkin hanya sekitar 500 kilometer, mengingat pesawat harus berakselerasi selama pertempuran dengan menggunakan lebih banyak bahan bakar.
Bicara soal kecepatan, F-35A dikatakan sebagai pesawat tempur supersonik, para analis menyebut pesawat tempur tersebut itu justru tidak dapat mencapai target, atau pergi, dengan tergesa-gesa jika diperlukan, karena hanya dapat terbang dengan kecepatan tertinggi 1.960 km per jam (Mach 1.6) selama 50 detik, setelah itu harus melambat.
Tidak Cocok Melawan Cina
Masalah utama lain dari pesawat F-35A Australia adalah mereka menggunakan perangkat lunak Block 3F, sistem operasi digital yang dirancang oleh Lockheed Martin. Ini juga terbukti sangat mahal untuk terus diperbarui.
Lebih buruk lagi, versi F-35A saat ini bahkan tidak cocok untuk melawan Cina, hal itu dikatakan pejabat senior Angkatan Udara AS. Tahun lalu, Letnan Jenderal S. Clinton Hinote, wakil kepala staf USAF, menyatakan keprihatinan serius tentang perangkat lunak Blok 3F, dengan mengatakan, “blok yang keluar saat ini bukanlah blok yang saya rasa baik untuk menghadapi Cina dan Rusia.”
Satu-satunya solusi untuk masalah di atas adalah pemutakhiran yang signifikan ke perangkat lunak sistem operasi Blok 4, yang didukung oleh Lockheed Martin dan dilaporkan terlambat beberapa tahun, dengan pengiriman diharapkan sebelum tahun 2027. Selain itu, biayanya akan sangat mahal.
Pemutakhiran penuh Blok 4 akan mencakup kemampuan perang elektronik canggih, peningkatan pengenalan target, dan kemampuan untuk membawa lebih banyak rudal
Upgrade F-35A mungkin juga memerlukan peningkatan yang signifikan pada Mesin Pratt & Whitney F135 yang ada, atau bahkan mungkin mesin baru, karena peningkatan Blok 4 akan membutuhkan lebih banyak tenaga dari sistem propulsi dan juga akan membuat pesawat tempur bekerja lebih panas, membutuhkan kemampuan pendinginan yang lebih besar.
Untuk negara sekelas Australia, terasa tidak mudah dan murah untuk mengoperasikan F-35A, apalagi negara berkocek ngepas tentu tak disarankan memiliki F-35A, atau bila dipaksakan akan berujung “boncos.” (Bayu Pamungkas)
wkwk mahal mahal
beli pesawat canggih dan siluman maka harus berani tanggung resiko biaya yang sangat mahal, pesawat ini mengorbankan kecepatan dan jangkauan untuk melindungi silumannya.
kebalikan dengan Su-57 Fall-on yang semi siluman, mengorbankan silumannya untuk mendapatkan kecepatan dan dogfight, RCS nya tak lebih baik dari Rafale
Bagaimana pun juga F16 Viper jauuuuh lebiiiih murraaaah biaya operasionalnya daripada F35. F16 Viper juga lebih kencang ngebutnya, lebih jauh jarak terbangnya dari F35.
Ayuuuk beli F16 viper block 70/72 sebanyak 66 unit lagi dengan biaya cuma usd 13,9 miliar, udah lengkap dapat rudal aim9x, aim 120c7 amraam, agm84 harpoon, agm65 maverick dan jdam.
Dengan usd 13,9 miliar dapat 66 unit F16 viper dengan jarak jangkau yang lebih jauh dan payload yang lebih banyak daripada 36 F15EX.
Tunggu apa lagi, jangan bimbang dan ragu segera borong F16 Vipernya.
(udah mirip kayak sales belum ya?)
Hihihihi
Hohoho
Resiko jadi early adopter
australia saja kerepotan, apalagi kita, apapun akan naik, cuma buat menuhin biaya operasional jet 1 ini, dah betul udah beli rafale, lalu mitra bikin jet sama kalsel dipindah ke turki
*tambahan, f-35 itu takut petir, ada badai dilarang terbang, didarat pake penangkal petir, saya rasa ngga cocok bagi indonesia yang banyak petirnya
sy bukan fans F35, tetapi setelah baca byk berita ttg kelemahannya jadi bingung, media dpt info dari pejabat resmi terus dipublikasi bebas, seharusnya detail teknis dirahasiakan, yg kepikir malah ini sengaja diberitakan jeleknya padahal itu pespur punya kemampuan luar biasa, supaya musuh anggap remeh.
Australia lebih tepat beli kapal induk + jf-17 M
#ketok
produk barat itu infonya cenderung dibuka karena UU nya begitu, hanya spec saja yg tidak ada copyright
jauh beda dengan rusia,china dkk yang menutup rapat-rapat, akibatnya customer sering kuciwa, seperti kasus india dan mesir
masalah PETIR dan masalah lain itu dulu, pasti ada perbaikan2, sehingga F-35 semakin sempurna
Entah kapan lupa waktunya pilot2 F35 USAF malah bisa menggambar penis dengan jejak putih kondensasi uap air atmosfer/contrail, sebagai kuasnya ya nozzle pesawat siluman ini.
F-35 jelas tetap yg terbaik walopun masih ada beberapa kekurangan. Tidak seperti produk Rusia yg kagak moncer tuh barang. S-500 Ama S-400 aja gak bisa jagain Lanud Utama mereka Ampe korban Tu-95. Hhhhhhhhhh