Depak Turki dari Rantai Produksi F-35, Keuntungan Penjualan Lockheed Martin Bakal Tergerus

Buntut dari didepaknya Turki dari program pengembangan dan produksi F-35 Lightning II ternyata berdampak lanjutan, selian pecah kongsi antara Amerika Serikat dan Turki, nyata tanpa Turki membawa pengaruh pada komponen biaya dari produksi jet tempur stealth generasi kelima buatan Lockheed Martin tersebut. Alih-alih mendapat margin keuntungan yang signifikan dari penjualan, ada potensi nilai keuntungan bakal tergerus akibat lepasnya Turki dari proyek F-35.

Baca juga: ‘Timbun’ Suku Cadang F-16, Turki Siap Terima Gelombang Pertama Rudal Hanud S-400

Seperti diketahui, hubungan Ankara dan Washington merenggang tatkala Turki tak mendapat restu untuk mengakuisisi rudal hanud Patriot, dimana Turki gagal membujuk AS untuk berbagi teknologi (ToT) dari sistem rudal hanud yang kondang di kalangan sekutu AS itu. Hubungan kedua negara kemudian merambat tambah panas, lantaran Turki justru mengorder sistem rudal hanud S-400 dari Rusia.

Dengan akuisisi S-400 dari Rusia, maka Turki yang notabene adalah anggota NATO mendapat ganjaran sanksi Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAASTA) yang telah dikumandangkan Presiden AS Donald Trump. Dan sebagai buntutnya, Turki otomatis terancam didepak dari program pengembangan F-35 Joint Strike Fighter.

Dikutip dari FlightGlobal.com (29/2/2020), disebutkan memutus Turki dalam mata rantai produksi F-35 membawa konsekuensi. Turki sebagai sebagai satu-satunya ‘negara berkembang’ dalam program Joint Strike Fighter, dikenal punya biaya tenaga kerja yang lebih rendah dan diandalkan untuk menurunkan biaya produksi F-35.

Partisipasi industri Turki dalam program F-35 mencakup pelibatan 10 perusahaan yang menerima lebih dari US$1 miliar kontrak untuk memasok lebih dari 900 bagian pada sistem F-35. Lockheed Martin menyebut, basis manufaktur di Turki diproyeksikan dapat menerima keuntungan hingga US$12 miliar selama program produksi F-35 berjalan.

Penampakan mesin F-35.

Menghadapi risiko lesunya margin produksi F-35, rupanya telah diantisipasi AS dengan komitmen untuk mengucurkan dana sekitar US$500 sampai US$600 juta guna melaksanakan apa yang disebut sebagai non-recurring engineering dan mempercepat pengalihan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan pihak Turki ke pemasok baru pada Maret 2020.

Greg Ulmer, Vice-President of Lockheed Martin’s F-35 programme menyebutkan, bahwa pihaknya bersama Pemerintah AS telah menemukan pemasok baru yang dimaksud, dimana pemasok ini dapat memproduksi semua item yang sebelumnya dibuat oleh perusahaan di Turki. Disebut-sebut sang pemasok baru tersebut adalah Fokker Emo dari Belanda. Meski begitu, Ulmer mengakui proses produksi di daerah yang lebih mahal dapat merusak margin laba F-35. Program F-35 adalah lini produk terbesar Lockheed Martin, menghasilkan 27 persen dari total penjualan bersih pada tahun 2019.

Segmen bisnis Aeronautics Lockheed Martin, yang meliputi F-35, menghasilkan penjualan bersih pada tahun 2019 dengan nilai US$23,6 miliar, dengan margin operasi 10,6 persen. Antara 2017 dan 2018, segmen ini telah menghasilkan margin operasi masing-masing 11,2 persen dan 10,7 persen. Segmen bisnis Aeronautics terdiri dari lini produksi F-35, C-130J, F-16 dan F-22. Namun tetap yang terbesar adalah F-35, karena menghasilkan keuntungan 69 persen dari penjualan bersih pada tahun 2019.

Baca juga: F-16 Turki Tantang Kemampuan Sistem Radar Hanud S-400, AS dan Rusia Dibuat H2C!

Lokheed Martin masih mencari pemasok lain yang memungkinkan dapat menwarkan biaya produksi lebih rendah, seperti Polandia yang punya industri berkualitas tinggi dengan biaya produksi lebih rendah dari Belanda. Pada Januari 2020, Polandia menandatangani kontrak senilai US$4,6 miliar untuk pembelian 32 unit F-35A, denhan pengiriman akan dimulai pada tahun 2024. (Bayu Pamungkas)

15 Comments