CEO Dassault: “Gangguan Rantai Pasokan Berpengaruh pada Peningkatan Kapasitas Produksi Rafale”
|Meski mendapat banjir order dan potensi penambahan pesanan di masa depan, namun Dassault Aviation belum bisa berpanas lega, pabrikan dirgantara kebanggaan Perancis itu menyebut adanya gangguan pada rantai pasokan akan berpengaruh pada peningkatan kapasitas produksi jet tempur Rafale.
Seperti dikutip defensenews.com (24/7/2024), Dassault Aviation mengatakan peningkatan produksi jet tempur Rafale terus dipengaruhi oleh gangguan rantai pasokan di industri kedirgantaraan.
“Meningkatkan laju produksi Rafale menjadi tiga kali sebulan di pabrik perakitan akhir di Mérignac di barat daya Perancis lebih sulit saat ini, bahkan mencapai tingkat tersebut lebih sulit dilakukan pada tahun depan dibandingkan tahun ini, kata CEO Dassault Aviation ÉricTrappier pada konferensi pers, Selasa malam di Saint-Cloud, Paris.
Hampir semua produsen pesawat telah berjuang dengan masalah rantai pasokan sejak berakhirnya pandemi Covid-19, seperti Airbus bulan lalu memangkas perkiraan pengiriman pesawat komersial pada tahun 2024 karena kekurangan pasokan termasuk suku cadang struktural dan mesin. Dassault Aviation, yang juga membuat seri jet bisnis Falcon, tahun lalu mengirimkan 13 pesawat tempur Rafale, dua unit lebih sedikit dari yang direncanakan.
“Kami melakukan segala yang kami bisa untuk mengirimkan produk ke pelanggan tepat waktu, namun hal ini sulit dan akan tetap seperti itu,” kata Trappier. “Ini bukan hanya masalah Dassault, jika Anda pernah melihat pengumuman Airbus dan kesulitan rantai pasokan penerbangan di semua bidang.”
Trappier mengatakan perusahaannya belum bisa mengejar “keterlambatan kecil” dalam pengiriman Rafale tahun lalu, namun Ia menyebut belum tertinggal jauh. Dia mengatakan target pengiriman perusahaan pada tahun 2024 memerlukan kecepatan produksi sekitar dua unit jet Rafale per bulan.
Dassault Aviation mengirimkan enam jet Rafale ke Angkatan Udara Prancis pada paruh pertama tahun 2024, dan mengulangi targetnya untuk mengirimkan 20 pesawat tempur pada tahun ini. Perusahaan telah memesan 223 unit Rafale pada akhir Juni, termasuk 159 jet baru untuk klien ekspor, meningkat 12 pesawat dari akhir Desember, khususnya setelah ada pesanan dari Indonesia.
Dassault Aviation Bangun Fasilitas MRO Rafale di India, Jalan Produksi Lokal Jet Tempur Perancis
“Kami telah menandatangani kontrak untuk Rafale, jadi kami harus menyelesaikannya tepat waktu,” kata Trappier. “Untuk saat ini, itulah yang kami lakukan. Meski begitu, saya optimis akan berhasil mengirimkan Rafale sesuai pesanan. Kami bahkan siap menerima pesanan baru,.”
Dassault Aviation telah mampu melampaui tingkat yang dibutuhkan untuk tiga unit Rafale per bulan di pabrik suku cadang strukturalnya di Seclin, “hal ini lebih sulit dalam perakitan akhir,” menurut Trappier. CEO tersebut mengatakan perakitan akhir seperti merakit satu set Lego, dengan satu bagian yang hilang berarti “Anda tidak dapat melakukannya dengan benar.”
“Pabrik suku cadang utama hulu, subkontraktor, dan pabrik perakitan kami sedang meningkatkan pengiriman Rafale sesuai dengan kontrak kami, dan kami masih memiliki kapasitas untuk menerima kontrak baru,” kata Trappier. “Untuk saat ini, perakitan akhirlah yang paling sulit.”
Kesulitan utama terletak pada bagian struktural serta “seluruh persediaan dan peralatan kecil,” dan Dassault Aviation memberikan dukungan kepada subkontraktor dan pemasok kecil dan menengah, termasuk dengan menyediakan staf dan pembiayaan, serta mendiskusikan kenaikan harga.
Dassault Aviation sedang dalam pembicaraan dengan sejumlah negara untuk ekspor Rafale, dan bekerja sama dengan badan persenjataan Prancis DGA untuk kontrak pertama guna mengembangkan standar Rafale F5, yang akan digabungkan dengan drone tempur. (Gilang Perdana)
Demand akan selalu naik seiring dengan meningkatnya tensi perang besar dan kondisi ini ironisnya mirip dengan kondisi menjelang Perang Dunia Kedua dimana setelah Dunia dihajar dengan pandemi dan krisis Ekonomi Great Depression cara paling mudah untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi dan mendapatkan cuan besar dalam jumlah banyak dan dalam waktu yg singkat hanyalah retorika perang besar yg berubah menjadi kenyataan.
Sudah sebaiknya Indonesia segera mempercepat proses pengadaan alutsista dan jika perlu meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri disertai penguasaan teknologinya. Jangan sampai Indonesia bernasib sama seperti pasukan militer Hindia Belanda yg hanya kuat menghadapi ancaman konflik kecil tetapi tidak siap menghadapi ujian agresi negara besar. Waktu takkan menunggu Indonesia menjadi kuat atau jatuhnya Hindia Belanda dalam hitungan bulan akan terulang kembali.