B-26B Invader: The Last Indonesian Bomber
|Militer Indonesia tempo dulu memang digdaya, seperti di lini alutsista udara dahulu mengenal segmen pesawat pembom. Dan, bila bicara pembom maka asosiasi kebanyakan orang di Republik ini langsung mengarah pada sosok Tu-16 Badge dan Il-28 Beagle. Tidak salah memang, karena pembom besutan Uni Soviet adalah yang tecanggih pada jamannya, dan jelas ada kebangaan tersendiri tatkala Indonesia mempunyai pembom jarak jauh sekelas Tu-16.
Baca juga: Tupolev Tu-2 Bat – Pembom Propeller TNI AU Yang Terlupakan
Karena perubahan haluan politik, sebagian besar sista asal Uni Soviet harus di grounded . Contohnya Tu-16 yang dengan tragis harus melakukan farewell flight pada Oktober 1970. Tapi, tahukah Anda pembom terakhir yang dioperasikan oleh TNI AU?
Jawabannya justru bukan pembom buatan Uni Soviet, dan secara teknologi malahan sudah tergolong kuno. Yakni B-26B Invader, pembom ringan buatan Douglas Aircraft Company, AS. Dikutip dari buku “Operasi Udara di Timor-Timur” karya Hendro Subroto, saat Indonesia mencanangkan perjuangan integrasi Timor Timur (sekarang Timor Leste) di tahun 1975, tinggal dua dari enam pesawat pembom serbu B-26B Invader di Skadron Udara 1 yang masih laik terbang, sementara pesawat B-25 Mitchell seluruhnya sudah habis masa baktinya. Pada saat itu B-26B merupakan pesawat langka, karena di luar AS hanya tinggal sembilang pesawat B-26 yang masih terbang, yaitu milik Turki, Arab Saudi, Indonesia, dan beberapa negara Amerika Latin.
Dalam operasi di Timor Timur, penerbang B-26B Skadron Udara 1 ialah Letkol Pnb Suharso dan Mayor Pnb Soemarsono, seorang perwira menengah TNI AU yang ditarik dari tugas di Pelita Air Service. Awak B-26B terdiri dari dua orang, yakni penerbang dan bombardier/radio operator. Standar persenjataan B-26 Invader adalah 14 senapan mesin berat (SMB) Browning AN-M3 kaliber 12,7mm, delapan roket dan delapan bom 500lbs (227kg). Mengingat pesawat B-26B TNI AU merupakan alutsista tua, maka pada pesawat dengan nomer M-264 dan M-265 hanya dipasang 12 SMB Browning kaliber 12,7mm, delapan roket, dan hanya membawa dua bom buatan Uni Soviet masing-masing seberat 250kg, hal ini dilakukan agar tidak terlalu berat.
Dengan banyaknya SMB yang dibawa, wajar bila B-26B dipercaya untuk misi COIN (counter insurgency) alias tugas anti gerilya. Untuk di kemudian hari tugasnya beralih ke OV-10F Bronco. Bantuan tembakan udara yang dilancarkan oleh B-26B sangat efektif, karena 12 SMB ditembakan secara terbidik ke sasaran. Disebabkan happy trigger, maka rentetan tembakkan kadang-kadang terlalu lama, sehingga menyebabkan laras sampai ke kamar peluru terlalu panas. Kapten Pnb Abdul Muki, flight leader OV-10F Bronco yang mengawal B-26B yang diterbangkan Mayor Pnb Soemarsono, pernah menyaksikan senapan mesin di B-26B menembak dengan sendirinya tanpa dipicu pada waktu pesawat melakukan pull up. Peristiwa ini terjadi karena laras terlalu panas.
Dalam mempertinggi keselamatan terbang, sebenarnya telah diberikan ketentuan bahwa pesawat tidak boleh terbang lebih rendah dari 1.500 kaki di atas permukaan sasaran untuk menghindari terkena tembakan dari bawah. Namun, disebabkan penerbang terlalu agresif menembak, kadang-kadang ketentuan ketinggian terabaikan. Selain itu, medan Timor Timur yang banyak berupa pegunungan, sulit untuk menghindari tembakan dari bawah dengan berlindung pada ketinggian.
Jenis bom yang digunakan B-26B Skadron Udara 1 ialah FAB 250kg, ZAB 250kg, atau RBK 250kg buatan Uni Soviet. Sedianya bom-bom ini akan digunakan pada pesawat MiG-17F buatan Polandia dan RRC dalam operasi Trikora. Perbedaan mounting pada bom buatan Uni Soviet dengan bom MK82 standar NATO, dapat diatasi oleh Dislitbang TNI AU dengan melakukan modifikasi mounting pada bom buatan Uni Soviet. Sayangnya beberapa bom yang dijatuhkan dari ketinggian terlalu rendah tidak meledak, karena untuk mengaktifkan sumbu memerlukan waktu. Penerbang, melakukan hal itu karena mengejar ketepatan perkenaan pada sasaran.
B-26B dapat juga dipersenjatai dengan bom O-Palm buatan Uni Soviet sisa Trikora. Ceritanya pada tahun 1977, Dislitbang mengawali penelitian komponen utama bom O-Palm yang meliputi container dari bahan fiberglass atau alumunium alloy, fuze serta penelitian pembuatan powder isian bom. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa hasil yang dicapai memenuhi syarat. Selanjutnya untuk mengetahui fungsi sistem dan kemampuan ledakan dilakukan penelitian dengan uji static on the ground dan uji dinamik dengan hasil seperti parameter yang dikehendaki. Sebagai tindak lanjut keberhasilan uji coba, maka dilakukan mass production untuk kepentingan operasi Seroja.
Selain dipersenjatai dengan SMB dan bom, B-26B juga dipersenjatai dengan delapan roket Hispano Suiza tipe HSS U1-A dan HSS UF-A. Dalam hal penempatan saat operasi Seroja, B-26 yang dipersenjatai secara lengkap diparkir di lanud Penfui (sekarang lanud El Tari) Kupang – NTT, dengan arah menghadap ke laut. Langkah itu untuk melakukan antisipasi terhadap kemungkinan roket yang berusia lanjut tiba-tiba meluncur dengan sendirinya tanpa dipicu.
Dalam misi memberikan bantuan tembakan udara di Atabae, pesawat menukik dari ketinggian 3.000 kaki untuk melepaskan proyektil SMB dan roket Hispano Suiza. Fretilin menyambut serangan udara itu dengan tembakan senapan mesin ringan. Setibanya pulang ke lanud Penfui, ternyata B-26B ditembus 15 peluru yang mengenai sayap kanan, tanki bahan bakar kanan, mounting roket dan sayap kiri. Lubang-lubang peluru terjadi akibat penerbang terlalu agresif. B-26 yang terkena tembakan di Atabae itu bukan merupakan kejadian yang pertama dan yang terakhir.
B-26 bukan saja memberikan bantuan tembakan udara bagi gerakan tempur pasukan darat, tetapi juga melakukan serangan udara langsung untuk membuka jalan dan memberikan perlindungan udara bagi helikopter yang akan mendorong logistik ke posisi pasukan di darat. Tapi sayangnya, untuk melakukan komunikasi dengan pasukan di darat yang mengandalkan radio taktis PRC-77, harus dilakukan relay melalui lanud Penfui, kadang prosesnya tidak lancar. Hal ini disebabkan B-26B tidak memiliki radio dengan frekuensi VHF-FM yang dapat berhubungan dengan pasukan darat. Kasus yang sama juga terjadi dalam pengoperasian AC-47 Gunship Skadron Udara 2.
Merujuk dari sejarahnya, armada B-26B Skadron Udara 1 yang bermarkas di lanud Abdulrahman Saleh, Malang, berasal dari hibah AU Belanda pasca KMB (Konferensi Meja Bundar) di tahun 1949. Dalam paket hibah, Indonesia mendapatkan pembom B-25 Mitchell, B-26B Invader, dan pesawat pemburu legendaries P-51D Mustang. Di matra laut, Indonesia mendapatkan kapal perusak pertamanya, yaitu KRI Gadjah Mada.
Kiprah B-26B benar-benar redup di Tanah Air pada tahun 1976-1977, tatkala TNI AU kedatangan pesawat COIN modern OV-10F Bronco. AU Kolombia bahkan masih mengoperasikan B-26 hingga tahun 1980. Karena kemampuan serang permukaan yang tinggi, pesawat ini juga kerap disebut A (Attack)-26 Invader. Pertama kali diproduksi pada tahun 1942, B-26 cukup kenyang pengalaman di Perang Dunia Kedua. Setelah itu, AS masih mempercayakan pembom ringan ini dalam laga Perang Korea, Perancis pun memanfaatkan B-26 untuk misi COIN selama operasi militernya di Vietnam. (Indomiliter)
Spesifikasi B-26B Invader
Terbang Perdana : 10 Juli 1942
Manufaktur : Douglas Aircraft Company
Produksi : 2.452 unit
Panjang : 15,24 meter
Tinggi : 5,64 meter
Lebar Sayap : 21,34 meter
Berat Kosong : 10,365 kg
Berat Penuh : 12.519 kg
Mesin : 2x Pratt & Whitney R-2800-27 “Double Wasp” radials, 2,000 hp (1,500 kW)
Kecepatan Maksimum : 570 km/jam
Jarak Jangkau : 2.300 km
Ketinggian Maksimum : 6.700 meter
Kecepatan Menanjak : 6,4 meter/detik
ngebayangin itu roket diudara meluncur sendiri lucu jga yaa 😀
kisah yang seru dari perjuangan para pendahulu, pagar NKRI
Biasanya kalo udh kepepet jadi kreatif 🙂
kaya iran cthnya. Tomcatnya dimodif pake rudal buatan rusia.
Hormat senjata dah buat nih pembom! pesawat multiguna dgn kemampuan serang maksimal ini emang pantas mengisi museum alutsista kita.patut diacungi jempol juga buat teknisi AURI yg bisa ngedandanin nih aki aki.saat pesawat lain dah nyerah gak ada suku cadang si kakek masih bisa terbang.pasti pake suku cadang kanibal dimana pesawat buatan soviet kadang suku cadangnya satu sama lain gak cocok karena teknologi produksi soviet gak sepresisi barat jadi sulit di kanibal komponennya (kecuali mungkin kalo di kanibal satu sistem sekaligus)