Antara Drone Intai Aerostar dan C-130 Hercules, Ternyata Punya Hubungan Lebih dari Erat

Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia belum mengoperasikan drone dengan kemampuan MALE (Medium Altitude Long Endurance) dan kendali NLoS (Non Line of Sight). Beberapa tawaran dari luar negeri, termasuk rencana produksi bersama memang telah dilontarkan, namun statusnya masih berupa komitmen dan upaya penjajakan lebih lanjut.


Baca juga: Aerostar TUAV – Profil Drone Intai Andalan Skadron Udara 51 TNI AU

Lepas dari itu, Aerostar TUAV (Tactitcal Unmanned Aerial Vehicle) meski negeri asalnya pembuatnya menciptakan polemik di Tanah Air, harus diakui sebagai drone intai taktis ini yang paling canggih dan sudah operasional, yakni menjadi arsenal Skadron Udara 51 yang bermarkas di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

Meski diproyeksi untuk mengintai wilayah perbatasan, empat armada Aerostar TNI AU sejak beberapa waktu telah aktif mendukung operasi intai jauh di luar pangkalannya. Dari informasi yang telah dipublikasi seperti pelibatan Aerostar dalam operasi pembebasan ratusan warga Desa Binti dan Desa Kimbley, Tembagapura, Mimika, Papua, kemudian peran Aeorostar dalam misi intai mendukung Operasi Tinombala di Sulawesi Tengah.

Selama operasi Tinombala berlangsung, Aeorstar Skadron Udara 51 terus memantau keadaan dan memetakan hutan yang menjadi tempat persembunyian Santoso dan anak buahnya. Pantauan drone kemudian menjadi bahan data bagi tim untuk mengetahui akurasi keberadaan kelompok yang telah berafiliasi dengan kelompok radikal ISIS tersebut. Data yang disampaikan dari pemantauan udara ini dapat secara akurat ditindaklanjuti pasukan di darat, sehingga dapat melumpuhkan Santoso dan anak buahnya. Begitu pula dengan aksi Aerostar di Papua, pemantauan langsung dari udara di lokasi penyanderaan menjadi informasi yang berharga untuk pergerakan pasukan elite.

Awak Aerostar di depan GCS dalam suatu operasi di Papua. Foto: Instagram Skadron Udara 51

Dengan terbang di ketinggian 18 ribu kaki (setara 5.490 meter), sosok Aerostar yang punya panjang 4,5 meter dan lebar bentang sayap 7,5 meter menjadi sulit dilihat dari darat. Pun bunyi mesin tak terdengar jelas pada ketinggian terbang di atas 5 ribu meter. Maka dengan sensor electro optic (EO) dan infra merah/FLIR (Forward Looking Infra Red), Aerostar dapat mengintai terus-menerus selama 12 jam di udara.

EO akan mengkonversi light rays menjadi sinyal elektronik untuk menangkap citra real time. Saat mengudara, Aerostar punya kemampuan sistem identifikasi otomatis, bekal radio VHF/UHF, stabilisator vertikal, UMAS digital flight control systems, dan hands-on throttle and stick control system. Remote payload control system yang terletak di bawah bodi menjadi unit penerima perintah dan pengendali pesawat atas seluruh operasi.

Bila diperlukan, Aerostar dapat pula dipasangi radar jenis synthetic aperture radar (SAR), signal intelligence (SIGINT) dan communication intelligence (COMINT).

Pola Penggelaran Aerostar
Karena kondisi di Indonesia saat ini belum memungkinkan untuk kendali drone dengan NLoS, maka penggelaran unit Aerostar perlu dengan menyertakan pemindahan Ground Control Station (GCS) ke pangkalan aju atau pangkalan terdepan. Lantaran kendali Aerostar lewat frekuensi radio UHF ke GCS mengadopsi pola LoS (Line of Sight). Artinya koneksi/transmisi dari GCS hanya bisa dilakukan secara langsung dalam jarak jangkau terbatas, dalam hal ini jangkauan LoS GCS – Aerostar adalah 200 km.

Penunjang komunikasi antar drone Aerostar dengan GCS menggunakan directional antenna dan multi-channel data link system besutan Commtact. Sebagai ilustrasi, dalam operasi pembebasan sandera di Papua, drone intai ini mengambil pangkalan aju di Timika, Kabupaten Mimika.

GCS Aerostar
Perangkat navigasi pada Ground Control Station Aerostar.
Antena pada GCS yang menghubungkan komunikasi ke drone Aerostar.

Dengan kondisi tersebut, maka setiap pergerakan Aerostar di laur pangkalan utama, memerlukan ‘operasi boyongan’ untuk memindahkan GCS ke pangkalan aju. Dan sedari awal Aeronautics Defence Systems, sebagai manufaktur Aerostar telah merancang GCS yang dalam bentuk kontainer untuk mudah dimasukkan ke dalam ruang kargo C-130 Hercules. Selain GCS yang dipindahkan ke pangkalan aju dalam kontainer, sang pesawat pun saat akan dibawa dengan C-130 Hercules, turut dikemas dalam kontainer khusus, pasalnya beberapa bagian drone perlu dilepas pasang seperti sayap dan sirip tegaknya.

Di dalam kontainer GCS Aerostar terdiri dari tiga awak, yakni a pilot, mission commander dan payload commander, yang masing-masing mengoperasikan monitor dan komputer.Monitor video dan perekam disediakan untuk menampilkan data yang diambil oleh Aerostar.
Baca juga: Tantangan Dibalik Sistem Kendali dan Komunikasi Data Pada Drone

Aerostar dalam box kontainer
Kontainer Aerostar UAV dan C-130 Hercules

Meski TNI AU menggunakan kendali LoS, pada prinsipinya Aerostar bisa juga dengan menjalankan moda otomatis dengan memanfaatkan waypoint GPS. Dan tentunya untuk operasi jarak jauh biasa dilakukan mengandalkan fasilitas data link dari satelit.

Dengan luasnya wilayah NKRI dan bertebarnya pangkalan aju di setiap daerah, maka penggelaran Aerostar Skadron Udara 51 dipercaya akan selalu terkait dengan pesawat angkut berat C-130 Hercules, lantaran GCS drone ini paling sesuai untuk masuk di ruang kargo pesawat besutan Lockheed Martin ini. (Haryo Adjie)

7 Comments