Wulung UAV: Pesawat Tanpa Awak Pengawal Perbatasan RI
|Kepadatan lalu lintas penerbangan di lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, boleh jadi bakal meningkat. Pasalnya di pangkalan udara yang landasannya juga digunakan bersama PT. Angkasa Pura untuk melayani penerbangan sipil, sebentar lagi akan ketempatan skadron pesawat baru. Saat ini, lanud Supadio bisa disebut sebagai pangkalan strategis TNI AU, karena wilayahnya relatif dekat dengan perbatasan RI – Malaysia, hingga lanud Supadio dipercaya sebagai home base dari Skadron Udara 1 yang berisi jet tempur Hawk 100/200.
Baca juga: Wulung UAV – Tantangan Dibalik Sistem Kendali dan Komunikasi Data
Nah, bila tak ada aral melintang, jadwalnya pada kisaran awal tahun ini akan ditempatkan satu skadron baru di lanud Supadio. Dan, skadron baru ini terbilang unik, dan belum ada tandingannya di Indonesia, yakni skadron Pesawat Udara Nirawak (PUNA) atau UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Kepastian akan hadirnya skadron UAV merupakan jawaban yang cukup lama, setelah ide pembentukannya dicetuskan pada tahun 2000-an
Meski belum diketahui label resmi skadron UAV TNI AU ini, tapi disebutkan skadron ini akan dilengkapi pesawat dengan komposit, yakni terdiri dari dua tipe. Berbeda dengan skadron tempur TNI AU, yang umumnya tiap skadron menggunakan satu jenis pesawat. Maka skadron UAV TNI AU nantinya akan diperkuat pesawat tipe Wulung dan Heron. Yang jadi andalan utama di skadron ini adalah Heron. UAV buatan Malat, divisi dari IAI (Israel Aerospace Industries) ini tergolong canggih, Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Rencananya, TNI AU akan memboyong 4 unit Heron ke lanud Supadio.
Lain halnya dengan Wulung, UAV ini teknologinya jangan disamakan dengan Heron yang telah dipakai oleh banyak negara. Wulung tidak lain adalah buatan Dalam Negeri yang dibangun secara gotong royong oleh PT. Dirgantara Indonesia, LEN (Lembaga Elektronik Nasional), dan BPPT. Dalam proyek Wulung, PT DI bertanggung jawab atas produksi pesawat dan Lembaga Elektronik Nasional (LEN) yang mengerjakan sistem komunikasi dan elektroniknya.
Secara teknologi, LEN menyiapkan Wulung untuk misi pemantau untuk obyek permukaan, termasuk di dalamnya kelengkapan GPS dan kamera/video intai. Untuk sistem kendalinya, LEN menempatkan moda auto pilot surveillance dan on board system untuk kendali terbang. Dengan jarak jelajah hingga 200 km, Wulung akan di dukung oleh mobile ground station, sehingga data yang sedang diamati dapat terpantau secara real time.
Setelah resmi hadir di Indonesia, besar kemungkinan Heron dan Wulung belum diberi beban untuk misi patroli yang berbau tempur, alias hadir tanpa senjata. Kedua UAV ini lebih dikedepankan untuk misi pengamatan wilayah di perbatasan, penanganan kebakaran hutan, dan pembuatan hujan buatan. Tapi tetap ada peluang jika suatu waktu dibutuhkan, UAV ini berubah menjadi UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle), seperti halnya Northrop Grumman Global Hawk dan General Atomics MQ-9 Reaper yang wara wiri melepaskan rudal memburu Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan – Pakistan. Peluang terbesar untuk menjadi UCAV di kemudian hari jelas ada di Heron, pesawat buatan Israel ini pasalnya dapat menggotong ‘sesuatu’ hingga bobot 250 kg. Sementara si Wulung hanya bisa menggotong beban 20 – 25 kg.
Penggunaan UAV untuk jangka pendek, lebih ditekankan sebagai langkah meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam memantau wilayah-wilayah di perbatasan. Bandingkan dengan pola pengawasan perbatasan selama ini yang mengandalkan tenaga ribuan personel. Sedangkan jika menggunakan pesawat reguler, tetap membutuhkan konsumsi bahan bakar yang tidak sedikit, alhasil pengawasan tidak maksimal. Merujuk pada kemampuan Heron yang bisa mengudara 52 jam non stop sambil mengintai, tentu ini merupakan suatu solusi. Sebagai perbandingan, Wulung bisa mengudara non stop selama 4 jam.
Bila Heron akan datang 4 unit, maka untuk Wulung nantinya akan ada 8 unit, menjadikan total 12 unit, yang mencirikan jumlah pesawat standar dalam satu skadron. Untuk tahap awal, PT DI akan memproduksi tiga unit. Untuk pengadaan 3 unit Wulung, Kementrian Pertahanan telah menyiapkan dana Rp29 miliar. Kemenhan berharap kisaran jumlah produksi yang bakal mereka gunakan mencapai 16 hingga 24 unit.
Masih Terlalu Bising
Meski adopsi Wulung ke dalam jajaran sista asal produk Dalam Negeri sangat membanggakan. Tapi menurut Menristek Gusti Muhammad Hatta, Wulung suaranya terlalu bising. “Seharusnya pesawat nirawak tidak mengeluarkan suara. Bisa-bisa ditembak musuh kalau pesawat nirawak kita suaranya seperti itu,” kata Gusti.
Ia berharap Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Kementerian Pertahanan bisa melakukan pengembangan yang lebih baik jika pesawat tanpa awak tersebut ditujukan sebagai alat utama sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia. “Awalnya, pesawat tanpa awak memang diprioritaskan untuk keperluan sipil seperti memantau wilayah di Indonesia. Namun dalam perkembangannya pesawat tersebut bisa dijadikan sebagai alat utama sistem persenjataan TNI. Untuk itu pesawat ini harus canggih, dan saya yakin BPPT bisa membuatnya,” tambah Menristek.
Selain dari segi suara, Menristek juga mengkritik mengenai bahan dasar badan pesawat yang terbuat dari serat fiber. Ia berharap bisa diganti dengan bahan dasar lain yang lebih kuat, “Layaknya pesawat intai tanpa awak milik negara lain,” ujarnya. (Gilang Perdana)
Spesifikasi Wulung UAV
Tipe/konfigurasi : Low Boom, High Wing, T-tail
Bentang sayap : 6,34 meter
Berat kosong/struktur : 60 kg
Berat muatan : 25 kg
Berat lepas landas : 120 kg
Kecepatan jelajah : 55 knot (minimal)
Ketahanan terbang : 4 jam
Jarak jelajah : 200 km
Ketinggian terbang : 12.000 feet (sekitar 3.657,6 meter)
Jarak lepas landas : 300 meter
Pendaratan : darat
Sistem propulsi : mesin bensin 2 tak, maksimal 22 HP
Bahan bakar : Pertamax
Muatan : kamera video/kamera digital/FLIR
Sistem kendali : manual/auto pilot/auto nav.
Redaksi yth,
Saya bekerja di Pertamina dan cukup tertarik membaca bahan bakar yang digunakan drone adalah Pertamax. Mohon pencerahannya terkait dengan jenis , tipe, merek dan seri engine yang digunakan di drone tersebut. Juga apakah redaksi mempunyai data rekomendasi bahan bakar dari engine makernya. Terima kasih dan salut……
saya juga buat sendiri pak..drone dengan menggunakan mesin chainsow…juga dapat terbang auti pilot dan dilengkap dengan kamera ini ling nya…http://www.youtube.com/watch?v=9IBhxd0Kyts
Wah dua jempol, benar2 sangat kreatif pak 🙂
Waduh kok infonya agak menyesatkan ya, yang buat drone LAPAN bukan LEN, karena LEN mengurus soal elektronika, kalau yang berhubungan dengan Penerbangan dan Aeronotika adalah LAPAN.
Drone Wulung itu bukan punya Indonesia, punya amerika serikat.
Maksudnya yang heron … kok jadi salah ketik
Setahu saya yang sesat Anda pak :-), karena untuk proyek Wulung memang tidak melibatkan LAPAN 🙂 Mohon disimak artikelnya, peran LEN di proyek Wulung fokus pada perangkat komunikasi dan elektroinika (semi konduktor, dll)
Keren banget.. tambah kuat dah.. mudah2han gak ada lagi perang.
Trim, pemerintah sdh berani menghargai buatan anak2 bangsa, mudah2 an kedepan lebih percaya lagi buatan anak bangsa utk disejajarkan dg buatan luar dan dana hrs ditambah utk pengembangannya. Salam NKRI…..
Namanya juga prototipe pak menristek,ya mesinnya seadanya (kayaknya pake mesin potong rumput tuh wulung).baling2nya kayu lagi.coba pake mesin kayak heron.pasti gak bising.betul mas banpatch dananya di tambah,jgn cuma ngoceh dan ngritik doang tuh pejabat
kalao wulung,puna,sriti,mau lebih jossss maka harus di tambahin dananya juga. Jangan cuma sak iprit dananya untuk meningkaatkan kemmampuan UAV mjd UCAV..
sDA dan SDM udah memenuhi syarat buat NKRI,tinggal cara dan dana nya saja untuk mmenyukseskan nya..
Bagus deh, biar masih culun, tapi pemerintah harus unjuk komintmen dengan tetap membeli produk dalam negeri. Dengan begitu akan ada stimulus untuk kreativitas2 berikutnya, jangan bentar2 impor