US$215 Juta, Anggaran Pengadaan Kapal Pemburu Ranjau Terbaru TNI AL
|Kilas balik ke bulan Februari 2015, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi pernah menyebut bahwa TNI AL berencana memensiunkan dua kapal penyapu ranjau Tripartite Class. Kabar tersebut sempat membuat ramai jagad pemerhati alutsista nasional, pasalnya tipe kapal penyapu ranjau tersebut masih dioperasikan di negara lain, termasuk di negara asalnya, Belanda. Kini setelah satu tahun berlalu, tanda-tanda itu kian jelas setelah terungkap besaran alokasi biaya pengadaan kapal buru ranjau baru untuk TNI AL.
Baca juga: T-43 Class – Generasi Perdana Kapal Penyapu Ranjau TNI AL
Mengutip sumber dari Janes.com (8/8/2016), pemerintah telah memberi lampu hijau untuk pengadaan kapal buru/sapu ranjau (mine countermeasures vessels) terbaru untuk Satran (Satuan Kapal Ranjau) TNI AL, dana yang dianggarakan mencapai US$215 juta, atau sekitar Rp2,8 triliun. Pengadaan kapal buru ranjau sendiri sendiri sejatinya sudah masuk dalam paket belanja di MEF (Minimum Essential Force) II di periode tahun 2015 – 2019. Namun, sampai berita ini diturunkan belum ada diketahui jenis atau tipe kapal buru ranjau yang akan dipilih TNI AL.
Baca juga: Berencana Beli 2 Unit Penyapu Ranjau Baru, TNI AL Siap Pensiunkan Tripartite Class
Baca juga: Tripartite Class – Kapal Pemburu Ranjau Andalan TNI AL
Baca juga: Tripartite Class, Andalan TNI AL dalam Latma Buru Ranjau 6th WP MCMEX 2015
Meski belum ada yang resmi ditunjuk sebagai pemasok dalam proyek kapal buru ranjau, namun sampai saat ini baru terdengar pihak dari Saab yang menawarkan solusi teknologi penyapu ranjau untuk TNI AL. Perusahaan manukfatur elektronik dan persenjataan asal Swedia ini telah menyampaikan beberapa opsi untuk implementasi bagi TNI AL. Pertama, Dedicated Mine Counter Measure Vehicle (MCMV). Kedua, Unmanned Surface Vessel (USV) SAM-3, dan opsi ketiga Organic Mine Counter Measure solutions.
Baca juga: USV SAM-3 – Drone Laut Penyapu Ranjau Yang Battle Proven
Baca juga: Saab Double Eagle MKIII – Robot Pendeteksi dan Penghancur Ranjau Laut
MCMV berwujud kapal penyapu ranjau konvensional jenis MCMV 47 (Landsort, Bedok dan Koster Class) dan MCMV 52 (Enhanced Koster Class). Sebagai informasi, Bedok Class adalah 4 unit seri penyapu ranjau milik AL Singapura. Sementara USV-SAM-3 berwujud drone penyapu ranjau, drone ini telah menyandang battle proven saat Perang Teluk I.
Tawaran ketiga adalah ketiga adalah Organic Mine Counter Measures, disebut organik lantaran yang digunakan adalah wahana robot bawah air atau ROV (Remotely Operated Vehicle) yang diluncurkan dari kapal penyapu ranjau, dalam artian ROV menjadi bagian dari sistem senjata terpadu kapal. Dan yang ditawarkan Saab yakni jenis Double Eagle MKII/III. Meski secara prinsipi masuk kategori ROV, namun karena tugasnya mendeteksi dan menetralisir ranjau, maka Double Eagle disebut juga Mine Disposal Vehicle.
Baca juga: ROV Ocean Modules V8 – Robot Bawah Air KRI Rigel 933 dan KRI Spica 934
Melihat dari pernyataan yang disampaikan pihak TNI AL, maka kemungkinan yang dipilih adalah kapal penyapu ranjau konvensional jenis MCMV 47 (Landsort, Bedok dan Koster Class) dan MCMV 52 (Enhanced Koster Class). Sesuai dengan komitmen pemerintah, meski kapal buru ranjau masih diproduksi di luar negeri, namun proses pengadaannya akan melibatkan industri pertahanan dalam negeri dalam skema ToT (Transfer of Technology).
Baca juga: Kondor Class – Penyapu Ranjau TNI AL dari Era Perang Dingin
Sampai saat ini, Satran TNI AL mengoperasikan dua jenis kapal buru/penyapu ranjau, yakni Kondor Class buatan Jerman Timur dan Tripartite Class buatan galangan GNM (Van der Gessen de Noord Marinebouw BV) di Albasserdam, Belanda. Keluarga kapal buru ranjau TNI AL ditandai dengan identitas nomer lambung 7xx dan menggunakan nama Pulau. (Haryo Adjie)
size nya jdi makin kecil ya min, klo di gedein size nya skitar 75/80m gtu biar lebih jauh lg buat pemburu tanjau, skalian jg bsa buat opv. jgn ngebayangin kyk pnya jepang gede hehe
@admin
Bung admin saya enggak paham dg opsi ketiga….bukankah mcmv sudah termasuk dg organic mine counter measures?
Ataukah opsi ketiga ini bersifat opsional, yang artinya konsumen bebas melengkapi mcmv dg rov buatan produsen lain?
Yup yang opsi ketiga bisa ditawarkan terpisah, menyesuaikan dengan jenis kapal user.
bisa dong dipakai buat tripartite class, sesuai saran admin
untuk menyongsong 3 armada (armada 1; 2 ;3) sebaiknya pembelian alutsista adalah kelipatan 3. atau minimal 3 unit kapal.
Agar setiap armada mendapat jatah.
Sepertinya konsep 3 armada yang diajukan itu berbeda dengan 2 armada yg saat ini ada (Armada Barat dan Timur).
Konsep yang diajukan itu sebenarnya justru menyatukan armada, yaitu Komando Armada Barat dan Timur (mading-masing dijabat panglima berbintang dua) dilebur menjadi satu yaitu Komando Armada RI (dijabat panglima berbintang tiga) yang membawahi Armada Satu, Armada Dua, dan Armada Tiga.
Di mana aset alutsista semua di bawah Komando Armada dan dapat digeser ke satuan Armada di bawahnya yang membutuhkan.
Di mana sekarang panglima Koarmabar dan Koarmatim bertanggungjawab langsung ke panglima TNI, sehingga alur administrasi pergeseran alutsisnya lebih panjang drpd yg sedang diajukan (Komando Armada RI dgn 3 Armada di bawahnya)
@admin
Artikelnya menarik tapi peminatnya sedikit…
Yang biasa komen serius pada kemana ni bung admin?
Apapun pilihan teknologinya, semoga galangan kapalnya tetap dari dalam negeri
Mengapa indonesia tidak membeli kapal destroyer saja? Demi menyaingi frigat negara tetangga dan menjadi kapal kebanggaan NKRI?
Pertanyaan yang bagus bung. Mungkin ini bisa menjawab selain terbatasnya anggaran ada alasan lain yang mempengaruhi kenapa indoneaia keliatan berhati2 dalam pengadaan alutsista. Ide ini pernah saya lontarkan ke group sebelah ehhh malah dicaci maki. Pernah kah bung vinales mendengarkan istilah balance of threat? Balance of threat adalah teori yang membicarakan tentang bagaimana negara menghadapi ancaman dari negara lain yang menjadi sources of threat dengan cara aliansi dengan negara sumber ancaman atau beraliansi dengan negara lain yang memiliki sumber ancaman yang sama. Nah coba dipikir2 negara yang menjadi sumber ancaman di regional ASEAN ini siapa? Indonesia adalah sumber ancaman bagi regional. Sehingga ketika Indonesia alusisi Alutsista high end seperti destroyer malah akan memanas kan suasana diregional yang akhirnya mendorong negara lain akusisi senjata yang sama atau malah mengundang kekuatan diluar regional untuk melakukan penetrasi di regional, dan menjadi opposing side bagi Indonesia
Mungkin ke masalah doktrin bung, kalo menurut saya, saat ini Indonesia sedang fokus memperkuat defensive sector. Sehingga senjata yang diakusisi pun hanya baru sebatas untuk mempertahankan wilayah NKRI saja dari ancaman luar, untuk akusisi kapal, sekarang mungkin paling mentok pada klasifikasi fregat karena fungsinya yang sudah cukup lengkap untuk mempertahankan wilayah, sedangkan kapal sekelas destroyer keatas, dirasa belum dibutuhkan mengingat doktrin itu tadi, disamping soal biaya dan maintenance yang mahal, berbeda dengan kondisi era 1960an, dimana waktu itu kita terlibat konflik langsung dengan belanda yang memaksa kita untuk menjadi negara ” agressor” untuk merebut kembali wilayah Irian Barat, sehingga kondisi akusisi alutsista pun gila-gilaan, sehingga sekali lagi kita masih terpacu pada doktrin defensive yang menjunjung tinggi perdamaian dan telah disalurkan pada program MEF/Renstra, yang diamana TNI diharuskan mampu menjaga wilayah NKRI dan mampu membuat negara lain tidak macam” dengan kedaulatan NKRI, bukan untuk melancarkan ancaman ke negara lain seperti membully di LCS, selain itu Indonesia juga sedang fokus menyeimbangkan ekonomi di semua wilayah Indonesia, khususnya mengejar ekonomi wilayah Indonesia Timur, demi sebuah fondasi negara yang lebih kuat, baru mungkin nanti diperkuat dan ditingkatkan lagi pertahannya bung.
yang mngkawatirkan,..rencana pmotongan anggaran blanja mncapai 133 T,…TNI akan kena brp % ya??….ini gara2 bu SMI masuk kabinet neeh…pengaruhny pasti ada thdp pertahanan n keamanan…moga2 anggaran buat modernisasi alutsista gak kena cut..
Kalau bung baca beberapa haro terakhir menurut berita anggaran yang dipotong adalah anggaran yang tidak produktif sepert anggaran perjalanan dinas dan lain-lain. Sehingga kalau dilihat dari perspective tersebut anggaran pengadaan dan maintain masih tidak berubah. Selain itu kalau anggaran pengadaan dan maintain akan sangat berdampak pada natuna ke depannya kalau dipotong dengan ukuran yang besar yang kebakaran jengkot bukan hanya TNI aja
Min, maaf oot nih. Ada kabar terbaru gak soal kasel changbogo. Gmn hasil uji laut nya ?
@wan abud
Kapal penyapu ranjau modern terbuat dari bahan fiber reinforced plastic atau glass reinforced plastic yang struktur dan sifat materinya mirip dg bahan karbon komposit pembuat KCR. Klewang….sayangnya industri perkapalan didalam negri belum ada yang berpengalaman mendesain dan membangun kapal penyapu ranjau, apalagi dari material tsb.
Seandainya AL membeli dan mendapat TOT kapal penyapu ranjau dari Eropa, maka sangat mungkin Lundin yang paling siap menyerap teknologi ini.
Kira kira berapa biaya pembuatan enchanted koster class?
@blangkon
Sbg gambaran finlandia mendapat tawaran harga 3 unit minesweeper sekelas enhanced koster lengkap dg seperangkat sensor, uuv dan kanon bofors 40mm, senilai 244,8 juta euro (tahun 2006) dari galangan intermarine/italia.
Dg membeli minesweeper dr swedia tentunya akan membawa keuntungan tersendiri karena selain memproduksi kapalnya, saab juga memproduksi seperangkat uuv pemetaan medan ranjau dan bisa juga digunakan untuk membawa bahan peledak utk menghancurkan ranjau laut
Anggaran segitu kira2 dapat 2 kapal lengkap dg seperangkat ROV
@aadmin
Bung admin, bisa diulas Bedok class singapur membawa perlengkapan robotic & auv apa saja? Kisaran harganya berapa ya?
Trims,
Rasanya menarik juga ditelusuri. Terima kasih mas 🙂
Kabar tersebut sempat membuat ramai jagad pemerhati alutsista nasional, pasalnya tipe kapal penyapu ranjau tersebut masih dioperasikan di negara lain, termasuk di negara asalnya, Belanda.
~~~~~
Memang menarik…
Belanda masih memakai kapal kelas ini ya, admin?
Jika negara pembuatnya saja, yang notabene adalah negara yang lebih maju, masih memakainya, kira-kira apa sih rencana Indonesia?
Ada gajah dibalik pintu . . .
@dropzone
Tripartite class beserta perlengkapan (sensor&uuv) yang melekat padanya adl teknologi lawas yang sudah tidak sesuai/ketinggalan dibanding dg perkembangan teknologi peranjauan modern serta sudah tertinggal jauh dlm teknologi survey dan pemetaan medan ranjau. Bbrp tipe sonar yang dibawa sudah muncul varian terbarunya (hull mounted sonar) sedang uuv tipe PAP (sering disebut sbg kotak sabun) sudah diskontinyu sehingga bisa dikatakan perangkat2 tsb tdk bisa memenuhi (kuraang optimal lagi) tuntutan tugas2 yang membutuhkan akurasi tinggi.
Sebenarnya hull/lambung kapal minesweeper yang terbuat dr bahan GRP memiliki usia pakai yang panjang dan minim perawatan, namun jika terjadi kerusakan pd struktur sukar utk diperbaiki/dilakukan modifikasi kecuali digalangan tempat ia diproduksi…shg bisa dibayangkan biaya yang harus dikeluarkan utk mengirim ke belanda. Untuk negara2 eropa yang menerima hibah kapal jenis ini, tidak menjadi masalah krusial krn kedekatan jarak shg mereka tinggal mengupgrade/mengganti sonar serta uuv dengan teknologi yang baru (lambung kapalnya masih tetap bisa digunakan).
Semoga dg penggantian minesweeper yang baru tetap menggunakan sensor dan uuv yang sama seperti yang digunakan pd spica class (kecuali uuv penghancur ranjau)…dg populasi sensor dan uuv yang seragam tentu saja akan mempermudah dlm pelatihan dan pengoperasian serta bisa memudahkan pengelolaan logistik dan perawatan. Populasi peralatan yang tinggi juga menimbulkan harapan akan memperoleh TOT yang memuaskan.