TNI AL Lirik Schiebel (Rajawali) S-100, Apa Saja Keunggulan Naval Drone Asal Austria Ini?
Jagad drone helikopter di Indonesia mulai ramai sejak setahun belakangan, persisnya setelah Badan SAR Nasional (BASARNAS) mengoperasikan drone copter SDO 50V2 buatan Swiss, ditambah kedatangan drone copter Saab Skeldar V-200 untuk misi intai maritim pesanan Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, kini ada kabar baru lagi, meski statusnya baru diperkenalkan, disebutkan Panglima Komando Armada Barat (Pangarmabar), Laksamana Muda TNI Aan Kurnia tertarik dan ingin menjajaki pengadaan drone Schiebel Camcopter S-100 buatan Austria.
Baca juga: SDO 50V2 – Ini Dia! Drone Copter Andalan BASARNAS
Dikutip dari batam.tribunnews.com (20/5/2017), drone helikopter berwarna putih dengan dua bilah baling-baling utama ini disebut sebagai Rajawali S-100. Belum diketahui persis apakah pemberian label Rajawali terkait dengan dirakitnya drone tersebut oleh perusahaan di Indonesia. Sebagai informasi, PT Bhinneka Dwi Persada selaku perusahaan swasta nasional sudah merilis beberapa drone dengan nama Rajawali series, bahkan beberapa diantaranya seperti Rajawali 330 dan Rajawali 720 sudah mendapat pesananan dari pihak TNI dan Kemhan RI.
Baca juga: Siap Dikirim Ke Indonesia! Saab Skeldar V-200, Drone Helikopter Untuk Misi Intai Maritim
Spesifikasi teknis drone Schiebel S-100 antara lain punya diamater rotor utama 3400 mm, panjang total 3.110 mm, tinggi 1.120 mm, berat maksimum T/O 200 kilogram dan berat kosong 110 kilogram. Tangki bahan bakar internal 57,1 liter serta tangki BBM eksternal mencapai 25,4 liter. Koneksi data link drone ini mampu menjangkau radius 200 kilometer, ini artinya koneksi LoS (Line of Sight) dapat dilakukan sampai jarak tersebut.
Kemampuan terbang drone ini meliputi kecepatan terbang maksimum240 km per jam, kecepatan laju 185 km per jam, serta kecepatan operasi 100 km per jam. Endurance di udara Schiebel S-100 adalah enam jam dengan playload 50 kilogram dan batas ketinggian terbang mencapai 5.500 meter. Dari sisi operator, pihak manufaktur yakni Schiebel Elektronische Gerate GmBH melengkapi Ground Control Station (GCS) dengan layar mission control yang dapat memberikan informasi video realtime dari kamera pilot, termasuk display data penerbangan seperti pada umumnya di pesawat modern.
Baca juga: Hadapi Gangguan Drone, TNI Gunakan Tactical Drone Jammer Gun
Dengan tampilan multifungsi pada layar kontrol, drone dengan teknologi fly by wire ini mampu memberikan informasi dan peringatan tentang sistem yang ada di pesawat dan di darat. Arsitektur dan link yang dimiliki drone tersebut juga mampu menyediakan data dengan bendwidth yang tinggi sehingga secara bersamaan dapat mengirimkan multiple video streaming dan memungkinkan integrasi yang sederhana dari bermacam-macam payload.
Lingkup tugas Schiebel S-100 mencakup intai jarak jauh, operasi di pesisir pantai, dukungan misi, pelindungan convoy, pengamanan dan pengawasan multisensor, anti penyelundupan, keamanan perbatasan serta SAR. Dirunut dari kemunculannya, drone S-100 mulai dioperasikan pada tahun 2006. Sejak diluncurkan, drone ini memang terbilang laris di kalangan sipil dan militer.
Di antara penggunanya adalah Satuan Penjaga Pantai Kanada, AL Inggris, AL Perancis, AL Afrika Selatan, AL Italia, dan kabarnya juga dilirik oleh AL Cina. Serangkaian uji coba telah sukses dilakukan di atas geladak kapal perang AL Australia dan AL Belanda. Di tahun 2013, Schiebel menyebut drone S-100 sudah dapat diintegrasikan dengan radar maritim, ESM (Electronic Support Measure) dan sensor FLIR (Forward Looking Infrared).
Baca juga: Perang Elektronika Itu Ibarat “Ilmu Setan”
Meski resminya adalah UAV (Unmanned Aerial Vehicle), namun Schiebel S-100 dapat pula menjadi UCAV (Unmmaned Combat Aerial Vehicle), artinya drone helikopter ini dapat melaksanakan misi tempur. Dengan berpatokan pada kapasitas payload 50 kg, maka drone ini dapat di setting untuk membawa dua unit rudal, yakni LMM (Lightweight Multirole Missile) produksi Thales Air Defence.
LMM punya bobot 13 kg dengan berat hulu ledak 3 kg. Rudal udara ke permukaan ini menggunakan hulu ledak berfragmentasi dan mampu melesat dengan kecepatan Mach 1.5. Dengan two-stage solid propellant motor buatan Roxel Propulsion Systems (RPS), rudal ini dapat melesat sejauh 8 km dengan pemandu semi active laser dan terminal infrared homing.
Ditembak Jatuh di Libya
Di bulan Januari 2015, sebuah drone Schiebel S-100 milik Brigade Khamis ditembak jatuh oleh pasukan AD Libya di Bagian Barat Libya, tak jauh dari Pangkalan Udara Al Watya. Libya pada tahun 2009 disebut-sebut telah membeli empat unit S-100. Sebelumnya 28 Mei 2013, sebuah Schiebel S-100 juga ditembak jatuh oleh milisi Harakat al-Shabaab di Somalia, S-100 di Somalia dioperasikan oleh militer Amerika Serikat.
Tentang seberapa besar peluang Schiebel (Rajawali) S-100 di Indonesia, Pangarmabar Laksamana Muda TNI Aan Kurnia menyebut, “Kami masih dalam penjajakan untuk pembelian drone untuk membantu tugas pengamanan laut. Untuk pengamatan awal memang lebih efektif kalau pakai alat seperti ini daripada helikopter. Jadi, kami cari yang memiliki kemampuan sesuai dengan tugas kami,” kata Aan saat menyaksikan ujicoba Rajawali S-100 di Kawasan Jembatan 2 Barelang, Batam, Sabtu (20/5/2017). Berapa harga per unit S-100, situs newsatlas.com menyebut paket komplit drone ini yang mencakup suku cadang, pelatihan awak, dan perlengkapan sensor, bila di total bisa mencapai US$2 juta per unit. (Bayu Pamungkas)
Related Posts
-
Boeing Australia Tampilkan Fuselage dan Sistem Pendarat Drone Loyal Wingman
3 Comments | Apr 12, 2020
-
Insiden Rudal Jelajah Brahmos Tak Sengaja Meluncur ke Wilayah Pakistan, Diduga Justru ‘Disengaja’
1 Comment | Apr 8, 2024
-
Saling Intip Dalam Pengembangan Teknologi Radar AEW&C AESA Antena Tegak
11 Comments | Nov 2, 2018
-
Gunakan “Cotton Bud,” Drone DJI Mavic 2 Enterprise Identifikasi Suspect Penderita Corona
6 Comments | Mar 2, 2020
Min, bahas rudal LMM donk.
Artikel diatas menyebutkan bhw Armada Barat tertarik utk membeli padahal Menhankam sdh pesan dr saab…koq ggak ada koordinasi harusnya procurement dibuat standard …..
@tony
Itu juga yang mau saya tanyakan ke bung admin, tapi sbg gambaran schiebel ini sudah. beberapa digunakan oleh beberapa AL/operator, sementara utk skeldar kita adalah pengguna pertama diluar negri.
Mungkin schiebel sdh disertifikasi utk melakukan berbagai misi tertentu yang belum dimiliki oleh skeldar (krena scheibel sdh memiliki basis operator yang banyak)
Sejauh ini lapan sudah cukup maju dalam bidang UAV/DRONE, tetapi lagi2 selalu produk impor yg lebih diutamakan, bagaimana mau maju inhan dalam negeri ini, katanya hanya boleh impor jika didalam negeri tidak bisa bikin, bahkan pembelian dari luarpun harus disertai tot minimal 35%…belum lama ini TNI-AD juga memesan dari jenis drone ini, lantas apa sejauh ini rancangan drone inhan dalam negeri tidak memenuhi standar operasi…
Mungkin strategi buat referensi desain buatan dalam negeri,,,
Saya aneh kok sampai ganti nama jadi “Rajawali” memang TKDN nya berapa? Seakan-akan diklaim buatan Indonesia (jgn sampai kayak Malaysia yg kalau beli alutsista harus ganti nama jadi bahasa Malaysia dulu). Padahal dari artikel yg dulu disebutkan bahwa perusahaan Indonesia yg terlibat hanya berperan utk kustomisasi kebutuhan pengguna. Pertanyaan lagi, yg dikustomisasinya itu apa? Saya agak jijik ngelihat produk luar yg direbranding spy laku di Indonesia (misal HP e**a dan sm*rtfr*n, padahal rebrand HP buatan China)
Lha kalo eli gun tkdn nya dimana bung?