Tinjauan Insiden Korvet KRI Pati Unus 384, Dimana Peran Sonar MG323 Bullhorn?
|Secara kodrat, korvet Parchim TNI AL punya kemampuan melaksanakan misi AKS (Anti Kapal Selam). Bila dijabarkan lebih detail, tugas korvet buatan Jerman Timur ini tak sekedar memburu, melainkan juga menghancurkan target bawah air. Maka tak heran korvet ini dibekali torpedo, bom laut (depth charge), roket anti kapal selam RBU-6000, dan tentunya perangkat sonar. Namun, musibah yang menimpa KRI Pati Unus 384 di Perairan Belawan sontak mengagetkan kita tentang sosok pemburu kapal selam era Perang Dingin ini.
Baca juga: RBU-6000 – Peluncur Roket Anti Kapal Selam Korvet Parchim TNI AL
Setelah diawali maraknya berita/kabar hoax tentang KRI Pati Unus 384, dimana kapal Satkor (Satuan Kapal Eskorta) ini dikabarkan karam disebabkan ditembak torpedo AL Cina, kemudian ada lagi kabar yang menyebut KRI Pati Unus 384 terkena ranjau laut. Peristiwanya terjadi pada 13 Mei 2016 lalu, saat kapal perang dalam perjalanan dari Selat Malaka menuju Lantamal Belawan, Sumatera Utara. Lamanya rentang waktu kejadian dan publikasi yang terendus media/media sosial, memicu beberapa orang untuk membuat spekulasi dan opini terkait KRI Pati Unus 384.
Video: Penembakkan Kanon CIWS Type 730 dan Chaff dari KRI Sultan Thaha Syaifuddin 376
Guna meluruskan kejadian yang sesungguhnya, Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksma Edi Sucipto mengungkapkan KRI Pati Unus 384 bocor di bagian lambung, saat berada di alur perairan Belawan, Sumatera Utara. Pernyataan ini sekaligus membantah kabar yang menyebutkan KRI Pati Unus-384 diserang negara lain di perairan Belawan, Sumatera Utara. “Kebocoran terjadi ketika lambung kiri haluan kapal terkena sesuatu benda di bawah permukaan air,” ujar Sucipto di Jakarta, Selasa (31/5/2016). Dan dipastikan kapal sampai saat ini tidak karam, namun masih dalam proses perbaikan.
Baca juga: Riga Class- Eksistensi Frigat TNI AL, dari Operasi Trikora ke Operasi Seroja
Saat ini TNI AL terus berupaya memperbaiki KRI Pati Unus. Perbaikan itu dilakukan oleh Komandan beserta ABK KRI Pati Unus 384 dengan dibantu Dinas Penyelaman Bawah Air dan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) I, Belawan.
Dalam keterangannya, Laksma TNI Edi Sucipto tidak merinci jenis benda penyebab kebocoran lambung kapal perang KRI Pati Unus 384. Mengutip dari Janes.com (6/6/2016), Markas Besar TNI AL telah menerjunkan tim invesitasi formal atas insiden di KRI Pati Unus 384. Namun berdasarkan laporan kronologi kecelakaan yang disampaikan Komandan kapal dengan pihak Pangkalan Belawan via kontak radio, diinformasi awal Komandan kapal menyebut KRI PTS 384 mengalami kebocoran karena menabrak bangkai kapal, dengan perkiraan lokasi buoy 2 alur Belawan.
Baca juga: Almirante Clemente Class – Destroyer Escort TNI AL dengan Cita Rasa Italia
Dari aspek teknis, isu adanya serangan pada KRI Pati Unus 384 mudah untuk dipatahkan. Bila diasumsikan diserang torpedo, maka kondisi Perairan Belawan yang dangkal (kedalaman <100 meter) jelas tidak cocok bagi kapal selam untuk melakukan sebuah serangan torpedo. Belum lagi bila terkena hantaman torpedo, maka impact-nya pada kondisi korvet tentu tak bisa seperti dilihat pada foto-foto yang dipaparkan. Begitu juga dengan spekulasi terkena tebaran ranjau laut, efek ledakan yang dihasilkan pada lambung tentu bisa membuat kapal bocor berskala besar.
Baca juga: AK-725 – Meriam Laras Ganda Kaliber 57mm Korvet Parchim TNI AL
Baca juga: AK-230 – Kanon Reaksi Cepat Korvet Parchim TNI AL
Dimana Peran Sonar?
Sebagai korvet pemburu dan penghancur kapal selam, maka korvet Parchim Class KRI Pati Unus 384 dilengkapi sistem pengendus sasaran bawah air. Menurut spesifikasi, Parchim Class mengadopsi perangkat sonar gelombang menengah jenis MG323 Bullhorn, perangkat sonar ini ditempatkan integrated pada lambung bawah kapal. Tak itu saja, agar penciuman lebih presisi, Parchim Class juga membawa sonar “rendam” (dipping sonar) gelombang tinggi jenis MG16 Lamb Tail. Jenis sonar ini juga dapat dioperasikan oleh helikopter AKS. Selurun komponen ini juga diadopsi oleh korvet Grisha buatan Uni Soviet.
Baca juga: Menuju Lokasi Pencarian AirAsia QZ8501, KRI Frans Kaisiepo 368 Mengalami Kerusakan Sonar
Nah, ketika KRI Pati Unus 384 disebutkan terkena atau menabrak sesuatu di bawah permukaan air, disini menjadi pertanyaan menarik, apakah sonar yang ada di korvet Pati Unus 384 telah bekerja dengan optimal? Harus diakui bahwa teknologi sonar yang digunakan terbilang canggih pada jamannya (era Perang Dingin), tapi mengingat usia pakainya saat ini, apakah kondisi sonar masih dapat bekerja dengan baik? Tentu jawabannya menjadi porsi dan kewenangan tim investigasi.
Baca juga: Kondor Class – Penyapu Ranjau TNI AL dari Era Perang Dingin
Secara fakta, meski fungsi asasinya melibas kapal selam, tapi yang mampu diendus Parchim TNI AL terbatas pada jenis kapal selam diesel yang mesinnya cukup berisik. Sehingga mudah didengar oleh sonar konvensional. Sementara Parchim TNI AL jelas akan kewalahan bila ditugasi memburu dan mengendus kapal selam nuklir yang terkenal mampu melaju dengan kesenyapan tinggi.
Parchim Class disebut juga sebagai Kapitan Pattimura Class, sebab kapal perdana dari keluarga korvet ini adalah KRI Kapitan Pattimura 371. Saat dioperasikan AL Jerman Timur, KRI Pati Unus 384 bernama Ludwiglust 232. Korvet dengan kapasitas 61 orang ini dibangun di galangan VEB Peenewerft, Wolfgast, Jerman. Masuk kedinasan AL Jerman Timur pada Juli 1983, dan pada Juli 1995, korvet KRI Pati Unus 384 resmi memperkuat Satkor Armabar. (Gilang Perdana)
ILLEGITIMATE
Tahun 2008, International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) menyatakan Indonesia berpeluang membatalkan atau menarik pembayaran utang senilai 560 juta dolar AS (sekitar Rp7 triliun) kepada Jerman sehubungan pembelian 39 kapal perang bekas tahun 1992-1994
Berdasarkan studi INFID bersama AFRORAD (2007) DAN EURODAD (2007), utang tersebut termasuk “illegitimate”. Karena itu, pembayarannya harus dibatalkan. jika sudah dibayarkan, maka Pemerintah Jerman wajib mengembalikan kepada Indonesia.
Kajian ahli hukum Universitas Vienna (Austria) Prof August Reinrich menyebutkan, Pemerintah Jerman tidak berhak menerima pembayaran dari hasil penjualan kapal tersebut
alias PEMBELIAN YANG SANGAT TIDAK PANTAS
Bung, apa karena kasus ‘yg tidak pantas’ itu menyebabkan Jerman seperti bermurah hati dalam penjualan Leopard dkk ke kita? Jadi seperti menebus kesalahan.
Lalu bagaimana perencanaan penggantian armada parchim ini? Apa TNI-AL sudah punya road map-nya? 16 Parchim itu jumlah yg lumayan banyak.
@Errik
Bisa jadi
Kan bisa dicicil, tak mesti harus 16, kan bisa 20 unit…….hehehehe
PT. PAL sudah berpengalaman membuat FAB-57 ASW
Memakai platform KCR-60 sudah cukup
cukup cepat dan murah, KALAU ADA KEMAUAN
kalau masalah sonar dan sensor lainnya, tinggal kerjasama dengan Thales atau Saab, atau China
Kagum dengan analisa bung jangkrik dan bung lesus, saya setuju dengan keduanya.
Sebagai tambahan, sonar kapal perang tidak selalu menyala, bahkan menyala hanya disaat tertentu saja. Sonar aktif dapat didengar 2x lebih jauh oleh sebuah sonar pasif. Hampir bisa dipastikan sonar dalam keadaan mati ketika terjadi tabrakan. Setahu saya belum ada kri yg punya sonar rendam termasuk parchim ii ini, yg ada variable depth sonar, sonar yg dapat mendeteksi bbrp lapisan kedalaman air laut.
Mesin2 kelas parchim iNi sudah diganti dgn mesin Deutz, Catepillar, atau mtu
Pengadaan parchim disponsori habibie, dengan harga total usd 13 juta utk 16 parchim ii, 14 Frosch, dan 9 kondor, rata2 seharga usd 350 ribu perkapal (bandingkan dengan harga sebuah amraam120c7 seharga usd 2 juta)
Saya ingat waktu itu tujuannya untuk menjaga kehadiran kri dilautan dan disisi teknologi pt pal bisa memperbaiki dan merenovasi kapal2 ini, terlepas waktu itu tnial tak suka dg keputusan ini.
Tambahan………ANTI-LUPA (seperti acara di TV..hahahaha)
1 unit corvet US$ 11 juta, tapi membengkak dengan total semua kapal US$ 466 juta (padahal pada saat itu Indonesia kondisinya KANTONG KERING)
termasuk biaya agar bisa “bergerak” untuk dikirim ke Indonesia
namun kondisinya tetap sangat mengerikan :
– Mesin sudah tua dan terbengkalai
– dek dan Hull semua berkarat dan sangat kumuh
– tempat logistik sangat kecil, hanya bisa berlayar 1 hari saja
– tanpa pendingin AC
– semua alat sensor dan navigasi sudah ketinggalan jaman
– semua peralatan berkiblat ke Rusia, tidak kompatibel dengan NATO yang dianut TNI
Pada saat pengiriman, beberapa kapal mogok ditengah jalan, sehingga menambah biaya masuk bengkel negara yang dilalui, terutama KRI Teluk Lampung (Frosch) yang nahas dihantam badai di Teluk Bascay, Spanyol
Kritikan tajam datang dari Majalah Tempo, Editor, dan Detik dan berakhir DI BRENDEL
dalam opera DOM di Aceh, banyak kapal yang tak sanggup lagi berlayar,
setelah Pak Harto Lengser, akhirnya terbukalah misteri si Parchim
AKHIRNYA banyak kapal yang sempat dipergoki Djoko Susilo telah
berubah fungsi menjadi asrama prajurit
untuk memperbaiki satu unit kapal, rata-rata butuh ongkos US$ 30 juta hanya untuk mesin dan AC, untuk permak lainya butuh biaya lagi
Jadi TOTAL biaya sebenarnya sudah mendekati beli baru yang pada saat itu sebesar USD$ 60 Juta (PT.PAL FAB 57 ASW)
Pantes TNI-AL nolak hibah 10 kasel Kilo bekas Rusia setelah ngecek langsung. Mungkin belajar dari kasus Parchim dkk.
Lalu gimana dengan hibah frigat bekas AS ke Filipina? Apa mereka juga akan menghadapi problem yg sama dengan kita?
Kondisi Hamilton-class cutter yang sekarang milik Filipina sama dengan Van Speijk Class dari belanda
Sebelum dipensiunkan, telah ditawarkan ke pembeli bekas dari negara lain, jadi tidak sampai MANGKRAK (terbengkalai) dulu
meskipun disimpan, namun mereka sangat profesional, seperti di Aerospace Maintenance and Regeneration Group (AMARG), di Tucson, Arizona, AS, tempat menyimpan pesawat bekas/non aktif di AS
Lihat tanggal pembelian dibawah ini :
USCGC Boutwell (WHEC-719) Pensiun 16 Maret 2016 langsung dibeli filipina
USCGC Chase (WHEC-718) pensiun 29 Maret 2011 langsung dibeli Nigeria 13 May 2011(NNS Thunder F90)
USCGC Hamilton (WHEC-715) pensiun 18 Maret 201113 langsung dibeli Filiphina Mei 2011 (BRP Gregorio del Pilar PF-15)
Benar, kasus Parchim, hampir terulang di kasus KILO BEKAS
Inilah akibatnya kalau kita beli peralatan canggih dari Rusia Cs.
Mudah rusak, suku cadang sering tidak ada, dipasaran gelap pun tidak ada
Kejadian serupa juga pernah terjadi pada Su-27SK dan Su-30MK (Batch-1).
Baru 5 Tahun perangkat navigasi ada yang rusak, tapi anehnya pihak Rusia menyatakan tidak ada stock, untungnya China dan India masih ada, sehingga SBY meminta kedua negara itu untuk membeli suku cadang tersebut
Malaysia dengan MiG-29N terpaksa PENSIUN dini, padahal baru 19 tahun, ini sama saja dengan di EMBARGO
Demikian Halnya dengan PARCHIM
Media Australia pun sudah mencium adanya ketidak beresan dalam pembelian,
Mesin amat boros dan suku cadang sudah langka
banyak komponen tidak berfungsi dan sulitnya mendapat suku cadang karena beberapa pabrik sudah tutup,
radar navigasinya pun telah diganti dengan radar buatan barat.
praktis semua sensor dalam keadaan NOT OPERATIONAL
disamping juga baja lambung didisain untuk operasional dengan kadar garam rendah, sehingga mudah korosif ketika dioperasikan di Indonesia
kesimpulannya DI PENSIUNKAN SAJA SEMUANYA, ambil pelajaran dari kejadian semuannya
@admin
Ada 2 hal utama menurut saya:
-Faktor human fatique, setelah beroperasi dlm tempo lama (kapal kembali dr area operasi). Parchim eks jertim didesain beroperasi pd perairan sempit di baltic shg fasilitas akomodasinya sgt terbatas, termasuk persediaan air tawar dan ruang istirahat awaknya yang sgt minim. Sementara disini kapal ini harus beroperasi mengarungi wilayah perairan yang luas.
-Faktor human fatique tsb memicu tjdnya human error yang berakibat pd ketidak cermatan dlm menentukan jalur navigasi (posisi/koordinat bangkai kapal pasti sdh diumumkan oleh pihak otoritas navigasi laut, dan sudah ada 2 kejadian sebelumnya dilokasi yang sama)
Faktor sonar mungkin jg memberi andil karena kapal ini dibeli dg kondisi yang peruntukkannya utk laut baltic, kita hanya menerima saja spesifikasi sensor, sonar, radar pd kapal tsb yang frekuensinya tidak sesaui dg kondisi perairan beriklim tropis yang pada akhirnya peralatan tsb kurang berfungsi dg optimal disini…terlebih lagi jika peralatan tsb tidak pernah diupgrade.
#Udah ah, takut dimarahin lagi heeee
Terima kasih buat tambahan analisanya mas @Lesus 🙂
@admin
Sebelumnya ada 2 kejadian yang sama pd lokasi tsb, salah satunya menimpa kapal patroli BC/FPB-28 buatan PT.PAL yang notabene pasti menggunakan sonar navigasi yang sesuai dg karakter perairan kita (BC/depkeu duitnya banyak)
Jadi faktor sonar agak dikesampingkan krn koordinatnya pd alur pelayaran yang kedalamannya relatif aman…sgt mungkin kru kapal sdh tdk mengaktifkan sonar dan mengandalkan kecermatan dlm memplot alur navigasi.
Ketidak telitian kru kapal dlm mematuhi amar/peringatan dari otoritas navigasi pernah bbrp kali terjadi, salah satunya adl kejadian di mulut pelabuhan tanjung perak, ketika sebuah kapal komersial buang jangkar tepat dilokasi kabel bawah laut, shg mengakibatkan terputusnya kabel serat optik tsb.
Inilah pentingnya memiliki kapal surver hidrography spt spica yang bertugas mengupdate kondisi alur navigasi pelayaran, alur masukk pelabuhan dan didalam pelabuhan sdr krn dinamika kondisi didalamnya akbita laju pengendapan, adanya bangkai kapal karam, sisa ranjau laut, maupun ploting jalur kabel/pipa bawah laut yang tidak terkoordinasi dg rapi/semrawut