Tiga Tahun Perang Rusia – Ukraina, Dari Rudal Hipersonik Hingga Kontroversi ‘Damai’ ala Trump
Hari ini, 24 Februari 2025, menjadi momen penanda tiga tahun pecahnya perang Rusia versus Ukraina. Dari jalannya perang yang brutal dan melelahkan, meski jauh dari kata mudah, kini mulai ada harapan untuk terjadinya perdamaian, mininal gencatan senjata, khususnya pasca mediasi yang diiniasi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Peristiwa Menarik dalam satu tahun belakangan yang kami catat pada peringatan tiga tahun perang, di antaranya adalah serangan drone skala besar oleh Rusia. Pada peringatan tiga tahun invasi, Rusia melancarkan serangan drone terbesar sejak dimulainya konflik, menargetkan 13 wilayah di Ukraina dan menewaskan setidaknya tiga orang.
Perubahan Sikap Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengubah pendekatannya terhadap konflik ini. Negosiasi untuk gencatan senjata dilakukan langsung antara Washington dan Moskow tanpa melibatkan Ukraina, menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konsesi teritorial yang mungkin harus diterima oleh Ukraina.
Perkembangan ini menunjukkan dinamika kompleks dalam upaya mencapai resolusi konflik, dengan berbagai kepentingan dan strategi yang dimainkan oleh pihak-pihak terkait.
Pada peringatan tiga tahun konflik antara Rusia dan Ukraina, terdapat beberapa perkembangan menarik dalam aspek persenjataan dari kedua belah pihak.
Seperti Ukraina telah meningkatkan kapasitas produksi senjata dalam negerinya secara signifikan. Pada tahun 2024, nilai produksi mencapai 20 miliar dolar AS, dengan proyeksi peningkatan hingga 30-35 miliar dolar AS pada tahun 2025. Saat ini, lebih dari sepertiga persenjataan yang digunakan oleh militer Ukraina diproduksi secara lokal.
Ukraina juga telah mengembangkan drone dengan jangkauan ‘tak terbatas’, mampu membawa muatan hingga 250 kilogram bahan peledak sejauh lebih dari 2.000 kilometer. Teknologi ini memungkinkan Ukraina untuk melakukan serangan jarak jauh tanpa membahayakan personel militernya.
Sementara Rusia telah mengadopsi strategi penggunaan bom luncur (glide bomb) yang murah namun destruktif, diluncurkan dari pesawat di luar jangkauan pertahanan udara Ukraina. Pada tahun 2024, Rusia meluncurkan sekitar 40.000 bom luncur, menargetkan infrastruktur militer dan sipil Ukraina.
Ngeri! Rusia Sulap ‘Dumb Bomb’ Seberat 1,5 Ton Jadi Bom Berpemandu di Perang Ukraina
Rusia mengklaim berhasil menetralkan beberapa senjata canggih NATO yang digunakan oleh Ukraina melalui kemajuan dalam perang elektronik dan adaptasi taktis. Selain itu, dengan dukungan dari Korea Utara, Rusia telah meningkatkan kekuatan militernya menjadi 640.000 tentara dan mampu menembakkan 90.000 proyektil per hari, jauh melebihi kapasitas Ukraina.
Penggunaan Rudal Hipersonik
Penggunaan rudal hipersonik oleh Rusia pada tahun 2024 telah menjadi elemen penekan yang signifikan. Rudal hipersonik, seperti Oreshnik dan Zircon, memiliki kecepatan dan kemampuan manuver yang tinggi, membuatnya sulit untuk dicegat oleh sistem pertahanan udara konvensional. Misalnya, rudal Zircon dapat mencapai kecepatan sembilan kali kecepatan suara dan memiliki jangkauan sekitar 1.000 kilometer.
Pada November 2024, Rusia meluncurkan rudal Oreshnik dalam serangan terhadap fasilitas industri militer di Dnipro, Ukraina. Serangan ini dianggap sebagai respons terhadap penggunaan rudal jarak jauh oleh Ukraina yang dipasok oleh Amerika Serikat dan Inggris. Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa rudal Oreshnik mampu mencapai kecepatan antara 2,5 hingga 3 kilometer per detik, membuatnya sulit dilawan oleh sistem pertahanan udara yang ada.
Penggunaan rudal hipersonik ini tidak hanya menunjukkan kemampuan militer Rusia tetapi juga berfungsi sebagai pesan tegas kepada Barat tentang keseriusan Moskow dalam mempertahankan kepentingannya.
Namun, meskipun efektif sebagai alat penekan dan demonstrasi kekuatan, efektivitas strategis jangka panjang dari penggunaan rudal hipersonik ini masih menjadi perdebatan di kalangan analis militer. (Gilang Perdana)
Sepertinya perang akan lanjut, Rusia sudah mulai melambat laju pergerakan pasukan di donbass dan tertahan di Kursk. Pilihan paling masuk akal bagi Putin adalah menerima perjanjian damai dengan mendapatkan 4 oblast baru.
Disisi lain, Ukraina masih kebingungan sedangkan Eropa ragu dalam mengambil kebijakan setelah ditinggal oleh Mr. Trump. Ada kemungkinan Eropa dan Ukraina akan terus berjalan dalam perang hingga ganti presiden USA atau Rusia terus mengalami kemunduran setelah jor-joran selama 1 tahun terakhir. Keraguan Eropa adalah kemenangan Putin sedangkan lanjut berarti Rusia akan menyerah. Seharusnya Ukraina belajar dari Mujahidin bagaimana mengalahkan Uni Soviet dengan senjata yg kalah canggih selama 10 tahun.
Jika perang dalam jangka panjang seperti yg ada di Afghanistan niscaya Rusia akan Kolaps dan runtuh layaknya Uni Soviet.
“Perkembangan ini menunjukkan dinamika kompleks dalam upaya mencapai resolusi konflik, dengan berbagai kepentingan dan strategi yang dimainkan oleh pihak-pihak terkait.”
Kepentingan lagi-lagi kepentingan, sebenarnya apa yang sedang “dilihat” oleh Trump dari potensi perang Rusia-Ukraina ini? 🤔
Ukro salah pilih lawan, harusnya dulu nurut aja gak boleh daftar nato, negara tetep aman, utuh, Sekarang sudah terlambat, negara ancur mina, hutang segunung, pendaftaran tetep ditolak, malah disuruh damai & bayar hutang, nasib2,
Tanggung jawab lo bang Zelen😁