Roket Hydra 70 – Satu dari Tiga Kombinasi Senjata Maut AH-64E Apache Guardian
|Hampir di setiap operasi, helikopter tempur AH-64 Apache mengandalkan tiga kombinasi senjata maut, yakni kanon internal M230 30mm chain gun, rudal AGM-114 Hellfire, dan roket Hydra kaliber 70 mm. Untuk item senjata pertama dan kedua, informasinya telah tertuang dalam kontrak pembelian delapan unit AH-64E Apache Guardian Longbow untuk Puspenerbad TNI AD. Lantas bagaimana dengan roket Hydra 70?
Baca juga: FFAR 2,75 Inchi – Ujung Tombak Bantuan Tembakan Udara TNI AU & TNI AD
Saat nanti AH-64E Apache Guardian diserahkan ke Indonesia, selain paket senjata andalan rudal AGM-114R3 Hellfire, besar kemungkinan Apache untuk Indonesia juga akan dilengkapi roket Hydra 70. Adopsi Hydra 70 terbilang unik, pasalnya dari beragam komponen helikopter dan senjata pada Apache, boleh jadi justru teknologi roket Hydra 70 yang benar-benar telah dikuasai oleh para injiner senjata di Tanah Air. Bahkan bukan sebatas menguasai, jika memang mendapat mandat, hampir pasti roket Hydra 70 dapat diproduksi tanpa suatu kesulitan berarti di dalam negeri.
Baca juga: S-8 Kom – Roket Penggempur Sasaran Darat Sukhoi Su-27/Su-30 dan Heli Tempur Mi-35P
Hal tersebut didasari bahwa roket Hydra 70 adalah nama lain dari roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket ) 2,75 inchi yang sejak awal tahun 80-an telah digunakan pada sistem kesenjataan di TNI AD dan TNI AU. Baik Hydra 70 dan FFAR 2,75 inchi sama-sama mengusung kaliber roket standar NATO 70 mm. Sehingga bila dilihat dari ukuran diameter roket, antar kedua tipe roket ini dapat dilepaskan dari peluncur yang sama.
Baca juga: AN/APG-78: Radar Pengendali Tembakkan Untuk Helikopter AH-64E Apache Longbow TNI AD
Untuk menyokong kebutuhan militer Amerika Serikat, Hydra 70 telah diproduksi dan dikembangkan sejak 1940-an. Dan sebagai kontraktor utama yang memproduksi Hydra 70 adalah General Dynamics Armament and Technical Products (GDATP). Sementara roket FFAR yang digunakan oleh TNI AD dan TNI AU sudah berstatus produksi dalam negeri. Dalam sejarahnya, FFAR 2,75 inchi mulai diproduksi PT Dirgantara Indonesia (DI) setelah BUMN Strategis tersebut mendapat lisensi pada tahun 1981. Lisensinya bukan dari AS, melainkan dari Force de Zeeburg Belgia. Hingga kini roket ini masih diproduksi oleh Divisi Senjata PT. Dirgantara Indonesia. Berdasarkan informasi pada tahun 2007, PT. DI dapat memproduksi FFAR hingga kapasitas 10.000 unit per tahun dalam satu shift kerja, bila dalam dua shift kerja, kapasitas produksi dapat digenjot hingga 20.000 roket per tahun.
Baca juga: Roket R-Han 122 Sukses Meluncur dari MLRS RM70 Grad Marinir TNI AL
Baik Hydra 70 dan FFAR PT DI dapat diadopsi untuk beragam jenis pesawat tempur dan helikopter. Di matra darat, FFAR dan Hydra 70 dapat menyokong konsep gelaran MLRS (Multiple Launch Rocket System). Antara Hydra 70 dan FFAR PT DI juga diciptakan dengan beragam pilihan hulu ledak. Seperti WD 701(High Explosive), WD 703 (smoke) dan WD 704 (inert). PT. DI membuat dua varian dari roket ini, yakni RD 701 berbasis FFAR Mk 4 dan RD 7010 berbasis FFAR Mk 40. RD 701 digunakan pesawat tempur ( hi-speed aircraft ), sedang RD 7010 untuk Helikopter (low-speed aircraft).
Roket kaliber 70 mm ini dipandang sangat efektif untuk menghantam kendaraan lapis baja ringan dan bunker. Ketimbang langsung menembakkan rudal yang harga per unitnya sangat mahal, opsi pertama seorang gunner adalah melepaskan roket Hydra 70/FFAR yang harganya lebih murah (per unit US$2.800) ketimbang rudal untuk menghajar sasaran berprioritas rendah. Di AH-64 Apache,
Hydra 70 dibawa dengan subsistem tabung peluncur M261 yang mampu menyimpan 19 roket per tabung. Perlu dicatat, bila Hydra 70 dipasang pada sisi dalam sayap, maka penembakkan roket ini tidak boleh dilalukan secara salvo, pasalnya semburan panas roket dapat menyebabkan mesin Apache menjadi overheat. (Gilang Perdana)
Spesifikasi Hydra 70:
– Weight: 6,2 kg
– Length: 1,397 meter
– Diameter: 2,75 inchi (70 mm)
– Muzzle velocity: 700 meter per detik
– Max Speed: 739 meter per detik
– Effective firing range: 8.000 meter
– Maximum firing range: 10.500 meter
On 14 April 2014, the U.S. Navy signed an agreement with the Jordanian Air Force for the first international sale of the APKWS for use on the CN-235 gunship. Jordan received 110 units in late November 2015.
—–
Wah, FFAR dgn pemandu pencari laser, sudah siap dipasang di CN-235?
Min bahas juga dong… FFAR yg dilengkapi penjejak laser. Murah, akurat buat target2 soft sm medium
@admin
Beberapa formil menampilkan berita ttg pengadaan pesawat msa oleh kementerian kkp dan pengadaan kapal kelas I kplp…yang menarik diamati dari kedua kementerian ini adalah mengenai kemampuan memproyeksikan postur kementerian yang diawakinya, bagaimana membangun organisasi beserta sdmnya dan menyiapkan infrastruktur yang mumpuni…tentu saja semua ini dilandasi dg integritas sang pemimpin, visi-misi dan tidak kalah penting kelugasan berpikir serta KEJUJURAN !!!
Contoh sederhana, kementerian kkp akan memesan 6 unit pesawat msa…yang dipaparkan adalah spesifikasi, fitur dan perlengkapan yang dibutuhkan, bagaimana koordinasinya dg instansi lain, bagaiman dukungan industri dalam negri dlm melakukan pemeliharaan aset tsb….soal platformnya apa, itu ditentukan belakangan setelah melakukan evaluasi berbagai pilihan yang tersedia.
Hal bertolak belakang dg pola pengadaan di sekto militer….pagi-pagi sudah bermunculan merek A,B,C tanpa ada kriteria yang jelas.
Bahasa andalannya adalah “Memiliki Efek Gentar yang Tinggi”
#Maaf oom, numpang prihatin
Ada celotehan seorang pengamat Ekonomi tentang PNS di Indonesia :
“Kalau diluar negeri, 6 pekerjaan dikerjakan oleh 1 orang pegawai, kalau di Indonesia, 1 pekerjaan dikerjakan oleh 6 pegawai”
Seharusnya cukup 1 lembaga sipil saja untuk melakukan berbagai pekerjaan di sektor kelautan, misalnya coast guard (penjaga pantai), namun tugasnya untuk Bea Cukai, KKP, dst
Kalau sekarang seolah olah SAMA SEKALI TIDAK ADA KOORDINASI, semua kerja sendiri sendiri
@jangkrik
Agaknya celotehan tsb tidak sepenuhnya sesuai jika diaplikasikan dg kondisi indonesia. Faktor kekhasan karakteristik geografis&faktor demografis penduduk layak mjd faktor pembedaanya.
Mari kita lihat contoh di negara lain, pada polar yang satu ada amerika yang menggabungkan fungsi pengawasan perbatasan&zee, perlindungan potensi perikanaan, sar, pengawasan peredaran narkotik dan bea cukai kedalam satu wadah yaitu coast guard. Pola ini diadopsi pula oleh norwegia dan jerman.
Sementara kebanyakan negara eropa lain, jepang&kanada memisahkan fungsi coast guard an bea cukai…malah denmark tdk punya badan khusus coast guard tapi fungsi tsb disatukan mjd tugas AL.
Tidak ada yang salah dg konsep2 tsb, tapi konsep mana yang cocok dijadikan role model utk indonesia selayaknya dikembalikan lg dg mempertimbangkan karakteristik geografis&faktor demografis penduduk, serta kemampuan negara utk mendukung konsep yang dipilih.
Coast guard USA, dg struktur organisasi yang sgt besar&ditunjang dg infrastruktur yang lengkap justru menghadapi tingkat kerawanan yang tinggi hanya diperbatasan selatan dg mexico…sementara indonesia dg kondisi sperti saat ini memiliki area pengawasan yang luas&tingkat kerawanan yang tersebar.
Indonesia sbg negara kepulauan dg alur pelayaran yang sangat panjang dan membelah antar pulau, ditambah dg 4 jalur pelayaran internasional dan zee yang luas membutuhkan perlakuan yang khusus utk menjawab tantangan tsb.
Ide utk menyatukan bbrp badan sipil kedalam satu wadah, agaknya kurang sesuai…bea cukai mempunyai batas kewenangan hanya didalam wilayah teritorial, sementara kasus2 pencurian ikan banyak berlangsung di zee (dimana bea cukai sdh tdk memiliki otoritas lagi), ringkasnya karena keunikan karakter geografis kita, antara bea cukai dan badan sipil yang lain (kplp, kkp,polair) memiliki konsentrasi obyek dan area yang berlainan.
Memang bener beberapa tugas&kewenangan perlu disederhanakan atau bahkan mungkin dilebur kedalam satu wadah…tapi konteks “tidak adanya koordinasi”, saya rasa lebih tepat diucapkan dg istilah “selama ini tidak diurus dengan benar”
lebih ke mirip gagasan Jokowi melalui Holding Company bagi penyatuan BUMN.
Dengan semakin banyaknya yang ngurusi, terjadi ketidak efisien an dan kemungkikan tumpang tindih kewenangan
Hal inilah yang sering di MANFAATKAN oleh para “penjahat” untuk melakukan aksinya
kalau masalah Border line Mexico dan US, itu lebih disebabkan kurangnya petugas dan semakin canggihnya para penyelundup.
namun masih sangat baik dibandingkan negara lain
namun bila dibandingkan dengan Indonesia, maka kita sangat jauh lebih bermasalah
Menambah sedikit…
USCG dan German Federal Coast Guard (Küstenwache des Bundes) itu berbeda juga.
USCG itu satu lembaga dan berstatus angkatan bersenjata / militer (sejajar dgn US Army & USAF, bersanding dgn USN) dan punya otoritas penegak hukum / polisionil (kalau di daratan US, otoritas polisionil dipisah dari militer).
Sedangkan KB (Küstenwache des Bundes) Jerman itu berstatus sipil (bukan militer dan bukan kombatan) dan lebih ke lembaga koordinasi (mungkin mirip Bakorkamla alias bukan Bakamla) yang menaungi unit laut / perairan dari lembaga-lembaga berikut : Bundespolizei/Federal Police, Federal Agency for Agriculture and Nutrition, Federal Waterways and Shipping Administration and Bundeszollverwaltung.
Jadi, benar bahwa belum tentu sama, implementasi lembaga Penjaga Pantai di tiap negara.
Indonesia tidak harus mencontoh sama persis dgn lembaga milik negara lain, tetapi ditekankan dengan kondisi yang ada di Indonesia sendiri.
seharusnya kita perbanyak dahulu kapal perang dan pesawat tempur yg tercanggih, pintu dan jendela yg harus kita jaga begitu banyak.
Bung ADmin
Kapan akan membahas pesawat temput F16 Viper yg akan dibeli Indonesia. Menurut kabar kemampuannya sedikit dibawah punya UEA. Ulas donk min utk dijadikan artikel
Trims
Berikut tentang F16 Viper ya http://www.indomiliter.com/tawarkan-f-16-viper-ke-indonesia-lockheed-martin-hadirkan-simulator-kokpit/ dan http://www.indomiliter.com/radar-aesa-absen-di-sukhoi-su-35-hadir-di-eurofighter-typhoon-dan-f-16-viper/
Saya sih sudah pernah baca artikel itu min. Tp maksud saya mungkin bung admin punya bocoran keunggulan Viper punya UEA dibanding yg kelak akan diakuisisi RI
Oke mas, nanti kita coba re packing ya 🙂
F-16 viper ada dua opsi yaitu new built atau customized upgrade package dan kalo gk salah f-16 viper sejatinya adalah salah satu dari ratusan f-16A/B blok 20 taiwan yg menjalani upgrade besar2an..
kalo f-16 milik UEA atau desert falcon gimana gk canggih, mereka pake dana pribadi mereka sebesar 3 miliar dollar untuk mengembangkan f-16 mereka
@omega
jgn samakan f-16 viper dgn upgrade f-16 taiwan. keduanya biarpun sama2 f-16 tp sdh berbeda sama sekali baik jeroan ataupun performanya
@ruskie01 & 2omega
f-16 viper itu bisa dikatakan setara dgn f-16 block60 uea. tp liat dulu yg jd patokannya. jika build new pasti adlh f-16 block70 yg s4 ditawarkan ke india dan punya spek diatas block60. sdh menganut dsi intake ala f-35 & j10b, memiliki irst, mesin yg dipake jg tdk sembarangan krn memake milik f-22 yaitu pratt-whittney f-109 yg pastinya membuat block70 memiliki kemampuan supercruise
tp jk memakai upgrade package basis adlh block 52 yg lini produksinya masih jalan. kelebihan block52 viper drpd block60 adalh radar sabr/racr yg lbh canggih drpd aptg-80 milik block60 serta memiliki irst. kelemahannya jelas mesin yg dipake tdk sepowerful block 60 krn memake pratt-whittney f-100 sdgkan block 60 sndr memake general electric f110. bicara avionik viper & block 60 itu setara
block60 uae itu mahal krn kustom gila2an. f-16 block60 bisa dikatakan f-16 bercita rasa rafale. dgn menganut dua datalink (link16 & link y), bisa memake senjata bawaan rafale (mica, meteor, exocet & scalp) serta memiliki perangkat electronic warfare ala growler
F-16 Block 60 juga sebagian Royalti nya dipegang UEA, karena pengembangannya sebagian dibiayai oleh UEA, jadinya ya lebih mahal
@Ayam Jago
Berarti jika bicara secara spek, unggul mana antara block60 dng block70 bung.? Andai kata menurut bung block60 UEA ada cita rasa rafale disana.
Feeling saya yg dilirik TNI AU adalah block70, hanya saja singaporno iklas gak kalo kita terima unit yg lebih canggih dari mereka punya.? Kalo mereka gak iklas dan merengek ke om sam, pastinya mungkin hanya block60 yg masih dibawah UEA dan Singaporno yg kita dapat.
Gimana kalo mulai bahas yg namanya datalink, network centric warfare, manajemen tempur, & sejenisnya. Soalnya ini yg asing banget buat kebanyakan orang kita kayak apa beda Link Y & Link-16, kelebihan/kekurangan, sejarah penggunaan di TNI & negara sekitar, dsb.
@ruskie
Untuk air superiority jelas lbh unggul block70 dgn irst, thrust to weight ratio lbh gede, supercruise & radar lbh baik. Sdgkn block60 lbh unggul dlm ground attack, maritime & deep strike serta perang elektronik krn menganut dual datalink, perangkat elektronik lbh kompleks, varian arsenal yg lbh banyak serta perangkat jamming yg sdh built in di body alias tdk perlu jamming pod
Kita sendiri memilih block52 viper alias block70id. Kita sndiri sdh ditawarkan blok70 tp lg2 masalah klasik yaitu dana krn selisih harga antara block52 viper (usd 80 juta)dgn block70 lumayan besar (usd 110 juta) krn tni sndr selepas pengadaan pengganti f-5 tiger akan dilanjutkan dgn pengadaan 5 skuadron pespur workhorse (termasuk jg penggantian 1 skuadron hawk 209 di pontuanak). Spek blok52 viper jelas lbh baik drpd blok52sg milik singapura krn pd blok52 viper sdh built in irst
@ayam jago : lah, dari pihak lockheed martin yg ngomong f-16v perdana sejatinya upgrade besar2an salah satu f-16 milik taiwan. Jadi disimpulkan f-16v yg ditawarkan oleh lockheed martin yaitu versi customized upgrade package dan bukan built new sesuai dengan komentar sebelumnya sdh dipaparkan dengan baik
mengenai radar f-16v dan f-16blok 61 milik uea sama2 menggunakan APG-83 SABR berteknologi AESA dimana untuk f-16v telah menyingkirkan RACR (Raytheon Advanced Combat Radar) yg masih satu keluarga dengan APG-79 yg terpasang di super hornet dan growler
inti dari konfigurasi f-16v yaitu radar aesa, komputer misi, manajemen kokpit dan kemampuan terhubung dengan alutsista yg lain dalam sebuah jejaring data dan mengenai major varian f-16 pihak lockheed martin tidak menyebutkan f-16v sebagai blok 70 sehingga untuk kategori penempur generasi 4+, major variant f-16 yaitu f-16c/d blok 50+/52+, f-16e/f blok 60/61 dan f-16v sehingga jika di rangkum jadinya lockheed F-16C/D/E/F/V (blok 50+,52+,60)
@ayam jago : di komentar anda bikin bingung, awal komentar bilang f-16v blok 70 dan di akhir komentar anda katakan f-16v blok 52, yg benar mana?
mengenai penamaan blok 70 hanyalah bahasa komersil agar terkesan melebihi blok 60 milik UEA bir f-16 mereka bisa tembus di india krn dari web resminya tidak disebut blok 70 dan sejenisnya.
dan sejak kapan di f-16 blok 52 gunakan irst? bisa sertakan referensinya? karena di f-16 blok 52 hanya di sertakan pod navigasi AN/AAQ-13 Lantirn dan baru di f-16 milik uea baru disertakan perangkat AN/AAQ-32 IFTS yg sepadan dengan IRST milik sukhoi maupun Pirate di pespur typhoon
@ayam jago : referensi dari mana raptor pake mesin pratt-whittney f-109 dan f-16v pke mesin yg sama?
kutipan mesin buat f-16v
“that means f-16v customers would have a choice of the 29,000-pound Pratt & Whitney F100-PW-229 or General Electric F100-GE-129 used on US block 50/52.”
Jadi pengen buat rocket nih…impian yang tertunda.
@admin
Apache mulu,,,kapan giliran kapal selamnya oom?
Begini mas @Lesus, doktrin kami adalah mengulas perangkat (alat) militer yang pernah atau sedang digunakan militer Indonesia saat ini. Atau bisa perangkat tempur yang memang pernah atau sedang ditawarkan ke Indonesia. Mohon maaf sejauh ini untuk kapal selam A26 Kockums belum masuk kriteria itu 🙂
setuju dengan admin,
web ini dari awal mengulas persenjataan yg digunkan oleh TNI dan sedikit mengulas persenjataan dari negei tetangga
Om Admin….Kalau Apache jadi ditempatkan di Natuna fungsi perangnya apa ya? Ancaman musuh kan pesawat n Kapal selam canggih semua…
Natuna hanya alasan agar pembelian apache lancar,
lebih tepat di kalimantan yg banyak bukit untuk hombasenya.
Untuk di laut, Heli AKS AS 565 Panther lah yang cocok di Natuna.
(cmiiw)
Setuju dengan @mbah moel. Tapi setidaknya ya kalau mau dipaksakan paling dengan parade rudal Hellfire, meski tentu juga tidak optimal untuk peperangan di laut 🙂
tetapi tentunya kombinasi apache dengan mi-35 milik tni ad mampu memberikan perlindungan kepada kendaraan lapis baja milik tni ad di lapangan dan tentunya bisa di backing oleh pespur milik tni au seperti super tucano
berharap kedepan heli serang (apache) perlu diperbanyak dan heli serbu seperti mi-35 bisa dilengkapi minimal 1 skuadron dan dapat di kombinasikan dengan heli serbu milik tni ada lainnya