Ranjau Anti Helikopter: Jebakan Maut Untuk Infiltran

Ranjau anti helikopter pengembangan Dislitbang TNI AL

Ranjau anti helikopter atau AHM (anti helicopter mine) terbilang kalah populer jika dibandingkan ranjau laut dan ranjau darat. Tapi pada kenyataan jenis ranjau yang satu ini sudah lumayan lama dikembangkan, yakni sejak era Perang Dingin, baik kubu NATO dan Pakta Warsawa sama-sama memproduksi senjata maut penghancur helikopter.

Baca juga: V-150 Tersengat Ranjau di Marawi, Ingatkan Kejadian Konga XII D di Kamboja

Dalam rancangannya, ranjau anti heli dimaksudkan untuk menjegal langkah infiltrasi pasukan musuh yang di daratkan lewat helikopter yang terbang rendah diatas permukaan tanah. Ada beragam sensor yang dikembangkan seputar ranjau anti helikopter, mulai yang sederhana dengan basis hembusan angin sampai sensor gerak dengan teknologi infra merah.

Yang cukup sederhana prosesnya adalah dengan basis hembusan angin dari baling-baling heli. Konsep ini pernah dikembangkan oleh Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbangal) TNI AL pada tahun 1993. Ranjau heli prototipe ini dilengkapi semacam antena kecil sebagai pemicu bila terkena hempasan angin dari helikopter yang mendekat. Bila antena kecil dengan penampang ini bergerak, maka otomatis dapat memicu ledakan fragmentasi yang bisa berakibat fatal di area helikopter tersebut. Tidak hanya heli yang hancur, tapi pasukan yang di daratkan pun bisa jadi korban.

Pola penempatan ranjau anti helikopter
Jenis ranjau anti helikopter yang lebih maju, bahan peledak pun lebih berat

Berbeda dengan ranjau darat, ranjau heli tidak ditanam di dalam tanah, melainkan corak dan warnanya saja yang umumnya di kamuflase. Metode sensor hembusan angin ini dalam prakteknya punya beberapa kelemahan, seperti di khawatirkan antena pemicu yang tidak sengaja tersenggol oleh binatang atau warga sipil. Untuk itu, ranjau heli ini belum digunakan secara resmi hingga kini.

Baca juga: Tactica Patrol 4×4 – Rantis Lapis Baja Korps Brimob dari Era 90-an

Padahal bila mendengar kisah infiltrasi selama jejak pendapat di Timor Timur dan kerusuhan di Maluku, kerap terdeteksi black flight berupa helikopter ke wilayah NKRI, seandainya ranjau heli ini ditempatkan di area rawan pendaratan, semisal pantai, tentu heli penyusup bisa dihancurkan tanpa repot-repot jet temput TNI AU melakukan intercept. Agar lebih memberi efek hancur, dalam gelarnya, ranjau heli ditempatkan dalam pola melingkar pada suatu titik.

Jenis lain yang lebih canggih, mengandalkan sensor infra merah, memang lebih akurat namun biaya pembuatannya juga lebih mahal. (Haryo Adjie)

2 Comments