Pernah Digunakan Kriegsmarine dan Kapal Angkut Haji, Inilah Sejarah KRI Tanjung Pandan 971

Melanjutkan kisah tentang KRI Tanjung Oisina 972 yang dahulunya adalah kapal angkut Haji di dekade 60/70-an, maka pada periode yang sama, juga ada kapal perang TNI AL lain yang menyandang predikat eks kapal angkut Haji. Masih dengan awalan “Tanjung,” inilah KRI Tanjung Pandan, yang dalam pengabdiannya pernah diberi nomer lambung 931 dan 971. Tak kalah dengan KRI Tanjung Oisina 972, KRI Tanjung Pandan sebelumnya juga punya jejak sejarah yang panjang, melintasi rentang zaman.

Baca juga: Menelusuri Jejak Sejarah KRI Tanjung Oisina 972, Kapal Perang yang Dulunya Kapal Angkut Haji

Bila KRI Tanjung Oisina 971 dibangun di Belanda pada tahun 1953, maka KRI Tanjung Pandan lebih tua lagi usianya, pasalnya kapal dengan bobot mati 17.891 ton ini diluncurkan pada tahun 1936. Bagaimana kapal ini bisa sampai digunakan oleh TNI AL, menjadi hal yang menaik untuk ditelusuri.

Berdasarkan catatan dari shipspotting.com, galangan yang membangunnya adalah Blohm & Voss di Hamburg, Jerman. Karena dibangun sebelum Perang Dunia II bergelora, maka bisa ditebak, kapal ini pada era NAZI turut dilibatkan secara aktif dalam mendukung misi peperangan Adolf Hitler.

Di belakang Pretoria adalah sistership – “Windhuk”, yang diluncurkan pada bulan Juli 1936.

Pasca diluncurkan, secara resmi kapal ini menyandang nama “Pretoria” dan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran samudera Deutsche Ost-Afrika-Linie yang juga bermarkas di Hamburg. Dengan dimensi panjang 175,56 meter dan lebar 22 meter, Pretoria digadang sebagai kapal penumpang untuk melayani rute jarak jauh (Afrika Selatan). Pelayanan perdana kapal ini adalah pada 19 Desember 1936 menuju Cape Town. Dalam pelayaran pedana, kapal dengan tenaga uap ini diawaki 261 personel dan membawa 490 penumpang.

Saat meletus Perang Dunia II, pada November 1939 Pretoria terkena ‘wajib militer,’ dimana kapal ini beralih peran untuk mendukung tugas angkatan laut Jerman (Kriegsmarine). Di tangan Kriegsmarine, Pretoria menjadi ‘U-boot Dienst’, persisnya kapal ini menjadi kapal bantuan untuk armada pelatihan U-Boat (Kapal Selam Jerman) di Kiel.

Pretoria.

Pada Januari 1940 kapal ini menjadi kapal bantuan untuk 21st U-boot Flotilla di Neustadt kemudian pada Desember 1940 untuk 1st U-boot Division di Pillau. Pada awal 1945, “Pretoria” dipindahkan ke Medical Area East (‘Sanitatsamt-Ost’) untuk bertugas sebagai Kapal Rumah Sakit (Lazarettschiffe). Mendukung misi militer, daya tampung Pretoria disukap menjadi kapasitas 2.500 orang. Sampai April 1945, kapal ini mengambil bagian dalam proses evakuasi pengungsi dari wilayah Baltik di timur Jerman yaitu Prussia dan Polandia.

Pasca berakhirnya Perang Dunia II, Pretoria diambil alih oleh Otoritas Pendudukan Inggris pada Mei 1945 sebagai rampasan perang dan diberi nama “Empire Doon.” Sebagai pemiliknya saat itu adalah Ministry of War Transport United Kingdom. Pada 1947, kapal ini diubah di Thornycroft’s, Southampton, menjadi kapal pengangkut personil. Mesin uap Benson tekanan tinggi asli nya diganti dengan mesin uap Foster-Wheeler yang bertekanan 500 psi. Kembali beroperasi di bawah manajemen Orient Line. Pada tahun 1949, kapal ini diberi nama “Empire Orwell.”

Saat dioperasikan AL Inggris – HMT Empire Orwell.

Pada tahun 1958 kapal ini disewakan kepada the Pan-Islamic Shipping Co of Karachi, Pakistan. Bulan November tahun yang sama, kapal ini dijual kepada the Blue Funnel Line (Alfred Holt & Co) sebagai kapal untuk para Jamaah yang ingin naik Haji.

Baca juga: KRI Bima Samudera – Kisah Jetfoil TNI AL Yang Terlupakan

Dalam rekaman sejarah, masih dalam misi angkutan Haji, kapal ini dibeli oleh Pemerintah Indonesia pada 1962 dan resmi menyandang nama KM “Gunung Djati,”  dan pada tahun 1964 pengelolaan kapal ditangani oleh PT Maskapai Pelajaran “Sang Saka.” Tak lama Kemudia, pada 1965 KM Gunung Djati dibeli oleh perusahaan pelayaran PT Arafat.

Sebagai kapal angkut jamaah Haji, KM Gunung Djati telah ditambahkan fasilitas berupa masjid dan penunjuk arah Kiblat. Komposisi layanan kapal angkut Haji ini terdiri dari kapasitas 106 orang kelas utama dan 2000 orang kelas biasa.

KM Gunung Djati.

Dikutip dari Harian Kompas, 4 Januari 1967, KM Gunung Djati berlabuh di Dermaga Makassar, Semarang, Surabaya, dan Jakarta, untuk mengantar jemaah calon haji langsung menuju Jeddah. Pada 1971, Kapal Gunung Jati membawa 528 jemaah calon haji dari Tanjung Priok. Sebelumnya, kapal tersebut singgah ke Makasar dan bisa mengangkut 868 jemaah calon haji. Dari Makassar, kapal akan berlayar menuju Surabaya dengan membawa 558 calon jemaah, dan selanjutnya ke Semarang mengangkut 350 jemaah. Total yang diangkut dalam perjalanan haji pada 1971 adalah 2.302 orang.

Memasuki tahun 1979, dimana menjadi momen terakhir pelayaran jamaan Haji ke Arab Saudi, maka berakhir pula kiprah KM Gunung Djati. Bersama dengan KM Tjut Njak Dhien (kemudian menjadi KRI Tanjung Oisina 971), KM Gunung Djati dialihkan pengoperasiannya kepada TNI AL, persisnya pada 15 Januari 1979, KM Gunung Djati berganti nama menjadi KRI Tanjung Pandan. Nama Tanjung Pandan sendiri diambil dari nama ibukota di Kabupaten Belitung, Kepualauan Bangka Belitung.

Harian Kompas, 16 Januari 1979, menyebutkan KRI Tanjung Pandan akan dimasukkan dalam jajaran Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil). Pengabdian KRI Tanjung Panda tidak lama di arsenal TNI AL, situs shipspotting.com menyebut pada periode 1979 – 1981, kapal difungsikan sebagai troop ship, dan pada periode 1981 – 1984 menjadi naval accommodation ship.

KRI Tanjung Pandan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan nomer lambung 931. (Foto: shipspotting.com)

Adanya dua identitas nomer lambung pada KRI Tanjung Pandan diperkirakan terkait dua periode penggunaan kapal angkut ini, sehingga yang terakhir disebut sebagai KRI Tanjung Pandan 971, selanjutnya nomer lambung 971 digunakan oleh KRI Tanjung Kambani.

Baca juga: Foto Terakhir KRI Ratulangi, Kenangan Kapal Perang Legendaris TNI AL

Saat umur kapal itu mencapai 48 tahun pada 1984, TNI AL mengakhiri pengoperasian KRI Tanjung Pandan 971 dan menjual kapal angkut bersejarah tersebut ke Taiwan pada 1987, dengan nasib akhirnya di scrapped. (Haryo Adjie)

2 Comments