Pangkalan Udara Al Dhafra – Jadi Basis Kekuatan Tempur Tiga Negara di Timur Tengah
|Lawatan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono ke Pangkalan Udara (Lanud) Al Dhafra di Uni Emirat Arab pada 24 Mei 2023, mendapat perhatian besar dari netizen, khususnya saat Panglima TNI melihat langsung Mirage 2000-9, jenis jet tempur yang ramai dibicarakan karena kemungkinan bakal menjadi arsenal TNI AU. Namun, lepas dari itu, ada yang menarik untuk dicermati dari Lanud Al Dhafra.
Baca juga: Panglima TNI Kunjungi ‘Sarang’ Mirage 2000-9 UEA di Lanud Al Dhafra
Dari perspektif Washington, Uni Emirat Arab (UEA) jelas tak mendapat ‘perlakuan’ yang sama dengan Israel, tetapi Negeri Kaya Minyak ini berstatus sebagai ‘sekutu’ Amerika Serikat dan NATO. Boleh jadi karena politik ‘non-blok’ UEA, yang menjalin kerja sama pertahanan dan sektor strategis dengan Cina dan Rusia, mengakibatkan AS membatasi UEA, salah satunya tercermin dari belum diizinkannya UEA untuk bisa membeli jet tempur stealth F-35 Lightning II.
Namun, UEA punya hubungan yang erat soal pertahanan dengan AS dan NATO, khususnya Perancis. Salah satu wujud hubungan erat antara UEA, AS dan Perancis, bisa terlihat dari eksistensi yang ada di Lanud Al Dhafra.
Lanud Al Dhafra
Lanud Al Dhafra hanya berjarak 32 km di selatan kota Abu Dhabi. Secara yuridis lanud ini dimiliki oleh United Arab Emirates Armed Forces dan dioperasikan Angkatan Udara UEA – United Arab Emirates Air Force (UAEAF). Meski begitu, karena ada hubungan yang saling membutuhkan antara tiga negara, maka Lanud Al Dhafra juga berstatus sebagai pangkalan udara bagi AS dan Perancis.
Menghadapi ‘lawan’ yang sama, UEA, AS dan Perancis beranggapan Al Dhafra adalah basis yang ideal untuk merespon setiap adanya pergolakan di Timur Tengah, khususnya dalam menghadapi isu Iran, Afghanistan dan ISIS.
Dari sejarahnya, Lanud Al Dhafra dibangun pada tahun 1969 oleh Inggris. Setelah kemerdekaan Uni Emirat Arab pada tahun 1971, kontrol pangkalan udara tersebut diserahkan kepada pemerintah Uni Emirat Arab. Sejak itu, Lanud Al Dhafra telah mengalami pengembangan dan perluasan untuk mengakomodasi peran pentingnya dalam pertahanan dan keamanan serta kerja sama militer dengan negara-negara mitra.
Pangkalan udara ini menjadi tuan rumah bagi berbagai pesawat dan personel militer dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Prancis, dan negara-negara lain dalam kerja sama pertahanan bilateral.
Bagi Angkatan Udara UEA
Lanud Al Dhafra adalah markas Komando Udara Barat. Lanud ini menampung UAE Air Force Fighter Wing – terdiri dari Skadron Shaheen ke-1, Skadron Shaheen ke-2, dan Skuadron Shaheen ke-3 yang dilengkapi jer tempur Lockheed Martin F-16E/F Desert Falcon). Selain itu, Lanud Al Dhafra juga menjadi rumah bagi Skadron Tempur ke-71 dan ke-76 yang mengoperasikan jet tempur Dassault Mirage 2000-9EAD/DAD.
Bagi Angkatan Udara AS
Al Dhafra menampung 380th Air Expeditionary Wing (380 AEW). Misi 380 AEW adalah untuk melakukan operasi tempur untuk menyediakan intelijen segala cuaca di ketinggian, pengawasan, pengintaian, komando dan kontrol lintas udara dan pengisian bahan bakar udara untuk operasi militer melawan ISIS dan operasi yang dipimpin NATO di Afghanistan.
380 AEW diketahui telah mengoperasikan F-15C Eagle, F-15E Strike Eagle, F-22A Raptor, KC-10A Extender, E-3 Sentry (AWACS), U-2S Dragon Lady, drone EQ-4 dan RQ-4 Global Elang. F-35 Lightning II AS pertama yang dikerahkan ke Timur Tengah ditempatkan di Pangkalan Udara Al Dhafra pada April 2019
Bagi Angkatan Udara Perancis
Pada tanggal 1 September 2008, Angkatan Udara Perancis membuka pemukiman militernya sendiri di sudut barat laut pangkalan. AU Perancis di Al Dhafran mengoperasikan pesawat tempur Mirage 2000-5F.
Baca juga: Sekutunya Diserang Houthi, Perancis Tawarkan Bantuan Rafale ke Uni Emirat Arab
Pada 24 Januari 2022, Lanud Al Dhafra menjadi sasaran rudal balistik Houthi Zulfiqar sebagai pembalasan atas keterlibatan UEA dalam Perang Saudara Yaman yang sedang berlangsung. Dua rudal yang diarahkan ke pangkalan itu berhasil dicegat dan dihancurkan oleh rudal Patriot AS. (Gilang Perdana)
Semoga pembelian F35 cukup wacana saja tak pernah terealisir, bukan saja ni pesawat yg takut perang tapi harganya yg terlalu mahal, selain pembatasan senjata yg boleh dibeli selain mimis 20 mm, roket dan rudal standard (untung seringnya kita beli kosongan terus) setiap mau kita gunakan buat jaga kedaulatan negeri langsung kirim nota larangan terbang, nekat terbangkan pesawat buat serang tak pakai lama besok suku cadang langsung stop minimal nunggu dulu 10 tahun baru buka lagi tokonya.
Negara Sultan aja sekelas UEA yg kalau beli PesPur ga pernah ketengan ditolak AS buat beli F 35..apalagi yg bkn Sekutu dan beli ketengan kayanya ga di anggap..tp lebih baik begitu daripada beli ada syarat dan kondisi dalam penggunaanya..bisa cari alternatif lain yg lbh independen