NU-200 Sikumbang – Pesawat Anti Gerilya dari Bumi Priangan, Bukti Inovasi Dirgantara di Masa Lalu
|Nurtanio Pringgoadisuryo telah membuktikan bahwa Ia bukan hanya tokoh pendiri industri penerbangan nasional, lebih dari itu Nurtanio yang terakhir menyandang bintang dua di pundaknya adalah seorang futuris sejati. Nurtanio paham bahwa konflik yang dihadapi TNI di masa depan dominan bernuansa domestik. Dan jauh sebelum North American Rockwell memperkenalkan prototipe pesawat anti gerilya legendaris OV-10 Bronco di tahun 1963, Nurtanio justru sudah menerbangkan pesawat counter insurgency (COIN) NU-200 “Sikumbang” pada 1 Agustus 1954.
Baca juga: OV-10 Bronco Beraksi di Marawi, Ingatkan Kenangan Pada Si “Kuda Liar” Pelibas GPK
Tentu tidak fair membandingkan antara fitur pada OV-10 Bronco dan Sikumbang yang penggarapannya mentok di fase prototipe alias experimental. Meski begitu, sejarah tak pernah lupa akan inovasi Nurtanio yang satu ini, pasalnya NU-200 adalah pesawat bersenjata pertama yang memang asli dibuat anaka bangsa, bahkan dengan menyandang pesawat COIN, NU-200 seperti halnya EMB-314 Super Tucano, dilengkapi senjata internal berupa senapan mesin yang disematkan di kedua sayap. Senjata inilah yang memang digadang untuk ‘menyapu’ pasukan lawan.
Merujuk ke sejarahnya, konsep rancang bangun Sikumbang terbilang digarap cepat, sebab Nurtanio dengan dibantu 25 orang teknisi baru memulai tahapan pembangunan pada 1953, dan setahun kemudian NU-200 sudah berhsil terbang perdana selama 15 menit dari Lanud Andir (sekarang Husein Sastranegara) Bandung, Jawa Barat. Dalam penerbangan perdana ini, hebatnya Sikumbang malah diawaki Kapten Powers, pilot uji dari Amerika Serikat yang saat itu sedag bekerja untuk AURI. Sikumbang berhasil terbang dengan lancar mengitari kawasan kota Bandung.
Baca juga: Inilah Fakta Tentang FN Herstal M3P di Super Tucano TNI AU
Dalam perancangan dan pembuatan, tim Nurtanio mengalami kendala keterbatasan material, maklum pembangunan pesawat dilakukan di tengah jaman yang penuh konflik. Jika ditelisik, sebagian kecil komponen pesawat masih menggunakan material kayu. Kayu antara lain ditemukan pada bagian sayap belakang. Akibatnya Sikumbang mengalami pembengkakan bobot yang mencapai 90 kg.
Menyadari bahwa sebagian besar kondisi landasan bandara masih dibawah standar, Nurtanio sedari awal merancang NU-200 sebagai pesawat intai bersenjata yang dapat dioperasikan dari lapangan terbang tanah atau landasan rumput sepanjang 350 meter untuk take off dan 150 meter untuk landing.
Sistem roda pendaratnya sekilas mirip pesawat Cessna dan Twin Otter, dimana digunakan sistem roda model tetap (fixed) pada pesawat agar pesawat dapat mendarat pada lapangan udara yang serba terbatas.
Sebagai pesawat COIN, Senjata utama pesawat direncanakan akan dipasang dua senapan mesin di sayap dan satu dudukan khusus (cantelan) pada masing-masing sayap untuk membawa satu bom napalm atau empat roket tanpa kendali dengan kaliber 5 inci. Namun realisasinya baru terpasang senapan mesin kaliber 7,7 mm dan pernah diuji dengan hasil yang memuaskan.
Dapur pacu NU-200 mengandalkan mesin de Havilland Gipsy Six I berdaya 200 hp, karena daya mesin tersebut kemudian pesawat ini diberi kode NU-200. Pada prototipe kedua yaitu NU-225 direncanakan menggunakan mesin Continental O-47A berdaya 225 hp.
NU-225 ini akan dijadikan sebagai rujukan tipe produksi nantinya. Secara keseluruhan, wujud prototipe ke-2 Sikumbang ini serupa, yaitu menerapkan sayap dengan desain low wing, roda model fixed, dan kokpit dengan desain bubble. Bedanya, fisik pesawat secara keseluruhan telah menggunakan metal. Pesawat dengan kode registrasi X-02 ini terbang perdana pada 25 September 1957 yang diterbangkan oleh Nurtanio sendiri. Rencananya, NU-225 akan diproduksi secara terbatas untuk mengisi skadron intai ringan AURI.
Namun, produksi Sikumbang ini tak pernah direalisasikan. Kemungkinan besar penyebabnya adalah keterbatasan anggaran di mana Pemerintah pada saat itu tidak memberikan anggaran untuk proses produksi Sikumbang.
Baca juga: KT-1B Wong Bee – Pesawat Latih Dasar dengan Cita Rasa Tempur Taktis
Jadi Koleksi Museum Dirgantara Mandala Yogyakarta
Selama puluhan tahun Sikumbang menjadi monumen di PT Dirgantara Indonesia, dan di tahun 2017, seiring semangat TNI AU melengkapi koleksi Muspudirla (Museum Pusat Dirgantara Mandala), Sikumbang dipindahkan dari Bandung ke Yogyakarta. Secara resmi KSAU (saat itu) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto bersama Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT Dirgantara Indonesia Sukatwikanto, pada 17 Oktober menandatangani serah terima NU-200 di Muspudirla.
NU-200 menjadi bagian dari salah satu koleksi baru Muspudirla, sebelumnya TNI AU telah mendatangkan pesawat angkut C-130B Hercules dan helikopter angkut ringan Mil Mi-1. (Gilang Perdana)
Spesifikasi NU-200 Sikumbang
– Crew: 1
– Length: 8,16 meter
– Wingspan: 10,61 meter
– Height: 3,35 meter
– Empty weight: 795 kg
– Gross weight: 1.090 kg
– Fuel capacity: 205 liter
– Powerplant: 1 × de Havilland Gipsy Six air-cooled inverted six-cyliner inline engine, 150 kW (200 hp)
– Propellers: 2-bladed fixed pitch
– Maximum speed: 256 km/h
– Cruising speed: 224 km/h
– Range: 960 km
– Service ceiling: 5,030 meter
– Rate of climb: 5,1 m/s
Beruntung pernah ke yogya dan melihat pesawat ini langsung. Desainnya untuk pesawat COIN masih relevan. Kira kira bisa gak ya dibangkitkan kembali, tentu dengan penyesuaian sana sini, untuk menggantikan KT 1 WongBe dan kemudian menggantikan Super Tucano. Kayanya kita butuh banyak di Papua….atau jangan jangan karena itu kita pun gak bisa bikin bahkan sekedar pesawat COIN sekalipun?
Pesawat dengan kode registrasi X-02 ini terbang perdana pada 25 September 1957 yang diterbangkan oleh Nurtanio sendiri, ternyata memang sudah dari sono nya bangsa kita lebih menghargai produk luar negeri walau mampu buat pesawat sendiri di jaman baheula itu, kalau hingga kini bli bli terus bukan karena bodoh tapi memang lebih suka beli apalagi jika tidak gunakan skema G2G.