Network Centric Warfare: Kemampuan Yang Selayaknya Hadir di Jet Tempur Terbaru TNI AU
Keriuhan dan debat seputar siapa jet tempur yang layak sebagai pengganti F-5 E/F Tiger II seolah tak ada habisnya. Harus diakui tema tersebut memang seru, mulai dari kaitan soal performa antar kontestan, sampai bergeser ke urusan politik. Namun dari sekian kriteria yang diinginkan pihak user (TNI AU), bahwa sang pesawat tempur yang baru nanti harus menjamin sisi interoperabilitas data dan komunikasi.
Baca juga: Saab Dukung Implementasi Data Link dan Interoperability di Lingkup Kodal TNI
Ya, interoperabilitas (interoperability) bukan sebuah isu lagi, tapi sudah menjadi kebutuhan yang harus dilengkapi untuk pesawat tempur TNI AU generasi ke 4 atau 4,5. Maklum sedari awal, TNI memang menganut mahzad multi vendor, maka urusan interoperabiltas sudah menjadi keharusan dan sekaligus harapan di tingkat kodal (komando pengendalian) operasi. Dan karena sedari awal, pijakan standar komunikasi mengacu ke platform NATO, maka jadi pekerjaan plus biaya ekstra saat TNI mendatangkakan alutsista dari Rusia atau Cina.
Baca juga: KnAAPO Kebanjiran Order, RI Baru Bisa Terima Sukhoi Su-35 Mulai 2018, Sabarkah Indonesia?
Baca juga: Demam Sukhoi Su-35 Telah Mencapai Anti Klimaks
Ambil contoh dalam proses negosiasi pengadaan Sukhoi Su-35BM Super Flanker, meski disebut-sebut proses nego masih terus berlanjut, terlihat kesepakatan jual beli tidak terlampau mulus. Indonesia disatu sisi dengan budget pertahahan yang ngepas, menuntut hadirnya Su-35 dengan asupan datalink yang bisa mendukung interoperabilitas dengan perangkat NATO. Ini mengingat tebaran radar Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional) semua menggunakan standar komunikasi NATO, plus mayoritas jet tempur TNI AU juga berstandar NATO. Tanpa datalink yang mendukung, maka Su-35 ibarat pendekar yang bermain tunggal dalam operasi udara. Komunikasinya hanya akan efektif antar Su-35 atau dengan jet tempur dari Skadron 11, Su-27/Su-30MK2.
Kebutuhan datalink yang support dengan komunikasi NATO untuk Su-35 tentu berimbas ke penambahan biaya pengadaan, plus juga lamanya pengerjaan (bila akhirnya kontrak jual beli terjadi). Terlepas dari interoperabilitas, sebenarnya Indonesia juga mengindamkan agar jet tempur baru nanti juga bisa dibekali fitur NCW (Network Centric Warfare). Selain itu, ada juga harapan agar jet tempur TNI AU nantinya mengadopsi jenis radar AESA (Active Electronically Scanned Array). Nah, lepas dari interoperabilitas, elemen NCW dan radar AESA lah yang menjadi minus poin dari Su-35BM. Minus poin bukan justifikasi dari kelemahan, melainkan kedua elemen yang disebut memang jamak dipakai oleh alutsista besutan AS dan Eropa Barat.
Baca juga: Radar AESA: Absen di Sukhoi Su-35, Hadir di Eurofighter Typhoon dan F-16 Viper
Network Centric Warfare
Jet-jet tempur terbaru dari AS dan Eropa Barat dilengkapi NCW (Network Centric Warfare) secara teori bisa-bisa saja. Namun dari dokumen media brief yang kami terima selama proses pengenalan masing-masing jet tempur di Indonesia, yakni Eurofighter Typhoon, Lockheed Martin F-16 Viper, dan Saab Gripen C/D E/F, nyatanya hanya Saab Gripen yang secara lugas dan mengonfirmasi keberadaan serta kemampuan NCW, baik di Gripen C/D dan Gripen NG (E) yang baru saja di roll out bulan lalu di Linköping, Swedia.
Baca juga: Gripen NG Resmi Rollout, Dihadiri Petinggi dari Kemhan RI
Baca juga: Menyambangi Basis Fasilitas Produksi Gripen di Linköping
Sebelum membedah NCW yang ada di jet Gripen, mungkin agar lebih jelas bisa diurai bahwa NCW berasal dari doktrin perang AS di era 90-an. NCW merupakan konsep siskodal (sistem komando dan pengendalian) operasi militer modern yang mengintegrasikan seluruh komponen atau elemen militer ke dalam satu jarngan komputer NCW yang berbasis satelit dan jarngan internet rahasia. Dengan payung NCW, maka berbagai komponen militer yang terlibat dalam operasi tempur dapat saling terhubung (get connected) secara online system dan real time, sehingga keberadaan lawan dan kawan dapat saling diketahui melalui visualisasi di layar komputer atau laptop.
Battlefield Management System
Sedikit berputar haluan, konsep mirip NCW sebenarnya sudah mulai diterapkan oleh kavaleri TNI AD, disebut Battlefield Management System (BMS), hasil pengembangan Dithubad TNI AD dengan mitra PT Hariff Daya Tunggal Engineering (DTE), perusahaan swasta nasional yang ber-homebase di Bandung, Jawa Barat. Ide utama BMS selain mencakup siskodal, juga untuk mencegah terjadinya friendly fire dalam operasi/latihan tempur. Kami telah membahas secara lengkap tentang Battlefield Management System di kavaleri TNI AD pada judul tautan dibawah ini.
NCW di Gripen
Kembali ke NCW di Gripen, kemampuan yang digadang yakni tentang segala aspek yang dilihat oleh pilot dapat dilihat langsung dan dimonitor oleh ground based (kodal), pesawat AEW&C (Airborne Early Warning and Control), sampai elemen-elemen tempur di darat dan laut. NCW mengaktifkan beragam sensor dan radar di Gripen, yang tak hanya didistribusikan ke pilot pada layar di dashboard, HUD (Head Up Display) dan HMD (Helmet Mounted Display). Namun informasi dari sensor/radar diteruskan ke dalam skenario tactical data link.


Baca juga: Ketika GlobalEye Memonitor Ruang Udara Indonesia
Karena yang diusung adalah NCW, skenario tactical data link disini sudah mencakup advanced data communications, dua data links, satellite communications, dan video links. Semisal kondisi saat ini, pilot fighter TNI AU sebatas bisa melaporkan kondisi di udara melalui radio (voice) ke kodal, maka dengan NCW dimungkinkan seorang pilot TNI AU juga dapat mendistribusikan poin-poin multimedia yang terpampang di dashboard, untuk langsung dilihat oleh Panglima Komando Operasi di ground based. Wujud distrubusi data mencakup pencitraan video surveillance, monitoring radar, sampai bekal persenjataan yang tersedia di pesawat dapat dipantau near real time dari ground based.
Sudah barang tentu simulasi diatas akan menguntungkan dari aspek situation awareness. Panglima Komando dapat lebih tepat dan bijaksana untuk memutuskan langkah-langkah apa yang harus diambil pilot dalam situasi di udara.
Nah, untuk menjamin terlaksananya gelar NCW secara optimal, elemen data link jelas membutuhkan high bandwitdth dan high security. Di jet Gripen, Saab setidaknya telah menyematkan teknologi Link 16, Link khusus koneksi ke pesawat AEW&C, dan link ke Forward Air Control. Link 16 adalah jaringan data link standar NATO. Berjalan di basis TDMA (Time Division Multiple Access) dan jam resistant dengan frekuensi hopping, Link 16 dapat mengahdirkan koneksi high speed lewat frekuensi radio di band 960 – 1.215 Mhz. Link 16 juga mendukung dua channel (kombinasi) digital voice di kecepatan 2,4 Kbps atau 16 Kbps). Link 16 juga sudah disematkan sebagai kelengkapan standar di F-16 C/D Block 52ID Skadron 16 TNI AU.
Baca juga: F-16 C/D Block 52ID – Welcome The New Indonesian Fighting Falcon
Peran Satelit
Dalam penerapan NCW khas AS yang kerap terlibat konflik, kebutuhan satelit untuk peran siskodal jelas amat diperlukan. Ditambah AS mempunya satelit komunikasi khusus militer dan pertahanan. Namun, tak melulu harus satelit yang dikedepankan. Sepanjang operasi pesawat masih bersifat LoS (Line of Sight) dimungkinkan untuk langsung melaksanakan NCW ke unit-unit terkait. Dalam proyeksinya, Saab mengendepankan peran AEW&C Erieye dan GlobalEye. Selain berperan sebagai control and command, pesawat tersebut dapat berfungsi sebagai wahana relay data.
Baca juga: WiMax, Teknologi Jaringan Dibalik Battlefield Management System TNI AD
Baca juga: BRIsat: Akankah Jadi Satelit Komunikasi Utama TNI?
Agak berbeda dengan BMS di kavaleri TNI AD, mereka lebih memanfaatkan kemampuan Broadband Wireless Access (BWA) dari basis WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access). Hingga kini gelaran NCW masih sebatas harapan di Indonesia, lantas bagaimana dengan negara tetangga? Dengan adopsi unsur AEW&C serta kombinasi jet tempur yang kompatibel dengan sistem data link, maka Australia, Singapura, dan Thailand dipercaya telah menggelar skenario NCW untuk peran pertahanan udara nasional. (Haryo Adjie)
su 35 akan kalah laku, gripen ng dan erieye siap menghiasi nusantara dan tombak kemajuan tni au di susul ifx yg mengusung teknologi dari swedia
Secanggih apapun jet tempur asing bagi sy belumlah cukup kalau belum bisa mandiri buat jet sendiri seperti china
Ngomong2, ada kabar Gripen Thailand ngalahin Su-27-nya RRC dalam latian perang baru2 ini. 4-0.
Ng… bukannya pilot2 sukhoi kita latiannya di RRC?
Apa ini juga berkat keunggulan NCW Gripen?
Kalo pembelaan para fansboy sukhoi katanya krn Su-27 RRC itu jadul. Masih analog. Yg lain bilang itu bukan sukhoi tulen tapi J-11 yg emang mutunya KW.
Tp setidaknya ini bisa jadi pembanding bahwa pilot sukhoi masih lebih baik dibanding pilot RRC karena pas latian Pitchblack di Australia kemaren sukhoi kita cuma kalah di pertempuran BVR (F-18 didukung pesawat AEW&C emang lawan yg berat). Dogfight kita masih menang. Padahal konon AU Australia adalah salah satu yg terbaik di dunia 😀
Yang ini memang sarat subyektivitas, maklum menyangkut industri di belakangnya. Masing2 bisa punya argumen tersendiri terkait “kalah atau menang.”
J-11 merupakan Su-27SK yang diperhebat sendiri oleh China, jelas kemampuannya melebihi Su-27SKM milik TNI-AU yang merupakan versi EKSPOR, sehingga ada Downgrade dari Rusia
Kesimpulan akhir dari Pitchblack @bung Erick adalah kesimpulan yang dibuat oleh TNI-AU sendiri
Hal ini berbeda dengan kesimpulan dari Australia, di beberapa majalah yang pernah mewawancarai pilot F-18, kata pilotnya mereka dapat mengimbangi dan mengungguli Sukhoi TNI-AU
Benar kata @Admin, bahwa hasil latihan tersebut tidak dapat dijadikan kesimpulan, karena setiap negara mempunyai kesimpulan sendiri-sendiri, bisa saja pesawat tersebut ‘MENGALAH” untuk melihat sejauh mana pesawat lawan bergerak
Hanya perang sesungguhnya yang bisa dijadikan Acuan “BATTLE PROVEN”
Kalo pengen murah dan dapat banyak, beli aja tejas atau gak jf-17 😀
Ogah Ah….
Eurocanards lebih mantap
Rogolwewe, bocah perusak blog
Admin,klo menurut hemat saya terlalu jauh buat di kompare antara SU-35 dng Gripen,cb Gripen di compare dng F-16 atau Rafale yg jelas2 sama menggunakan Link -16.
Btw klo ga salah antar Link 16 sendiri terkadang terkendala ya min,contoh F-16 dan F-15 krn pabriknya berbeda.makanya di F-35 skr dengar2 berbeda ya min…mohon penjelasanya min
Maklum cm org awam…hehehe
Sebenarnya bukan kendala, tapi lebih ke proses tuning karena menggunakan vendor radio yang berbeda. Tapi so far tidak terlalu sulit untuk diatasi, karena platform dasarnya sama. Yang repot ya kalau beda platform, ibarat Android dan iOS 🙂
Makasih Bang Admin Buat penjelasannya,hehehe…tp hemat saya pribadi ya Bang,lebih baik Indonesia Kalau tdk Beli SU-35 mau tidak mau beli F-16V,klo bs dan kalau berkenan bang admin tolong buat perbandingan antara F-16V Dan Gripen NG.
Makasih ya Bang admin ?
Jika paspur gripen belinya 4 sk saya setuju untuk gripen tp klo sama-sama beli 8-10 biji lebih baik SU 35 libih jauh dalam mengcover wilayah indonesia
Sdh jlas2 keputusan pemerintah beli SU35 nunggu deal harga ja lgi
kalau masih nunggu itu nama nya belum jelas…oon sekali sih
Makan berita jangan dari JKGR Mz….
Ini pemerintah masih mempertimbangkan
Artikel khas sales gripen
Penggiringan opini
Waduh
sudah dibilang kalau masih TK jangan disini di JKGR sana….bikin onar saja
Setidaknya Gripen lebih mengerti degan UU kita yang mengharuskan ToT
Lah sukhoi ? palingan ToT bersihkan knalpot sama kokpit Akwkwwk
Kemungkinan pembelian SU-35 dibatalkan. Kalo tipe jet tempur kelas berat harus dibeli, pemerintah akan penuhi saat MEF III ato pertumbuhan ekonomi nembus 7% (setelah infrastruktur macem2 operasional & investasi berbondong2 masuk).
Pemerintah kemungkinan besar akan alihkan ke jet tempur yg cocok untuk patroli & efisien dlm operasional termasuk soal interkoneksi (soal tuker data & koordinasi). Ini mengingat ancaman yg paling nyata saat ini soal pelanggaran wilayah, penyelundupan, & maling ikan dibanding ancaman perang dari negara lain. Pilihannya kemungkinan hanya mengerucut ke F-16 & Gripen.
Ini seperti soal pengadaan 4 Klewang Class yg akhirnya ditunda & dialihkan ke pengadaan kapal2 patroli. Kemudian juga mengingat soal visi Presiden Jokowi yg sempat disampaikan saat kampanye pilpres yg mengutamakan pendekatan teknologi yg efisien (dlm hal ini drone) untuk pengawasan wilayah & pertahanan. Kemudian juga Presiden Jokowi sangat berkeinginan industri dalam negeri maju & adanya kerjasama2 antar negara (investasi) untuk mendukung itu karena akan berdampak pada ekonomi serta kemandirian.
Rusia kesulitan memenuhi hal2 tersebut karena mereka lagi butuh duit (harga minyak masih rendah tapi intervensi militernya lagi banyak2nya) sementara Indonesia saat ini tidak memiliki banyak anggaran.
.
.
.
hehehe… cuma rumor.
Sebaiknya nunggu kabar dari KKIP & Bappenas.
Keluarga G,I pade ngumpul niy..(bukber kalee..!)
ya…keluarga JKGR nyasar….kalau masih TK jangan disini bung…!