N-219 Maritime Patrol: Pesawat Perintis Mulitrole Pengganti N22/N24 Nomad TNI AL
Bicara tentang sejarah pesawat intai maritim di Indonesia, maka tak bisa dilepaskan dari sosok turbo propeller N22/N24 Nomad buatan GAF (Government Aircraft Factories), Australia. Meski kiprahnya menuai kontoversi, akibat sering jatuh dan sebagian telah di grounded, bahkan ada yang telah dijadikan monumen, namun Nomad punya jasa besar sebagai tulang punggung armada intai maritim Skadron 800 Puspenerbal TNI AL, khususnya di dekade 80 dan 90-an.
Baca juga: N22/24 Nomad – Si Pengintai Lawas TNI-AL
Memang kemudian TNI AL kedatangan generasi intai maritim yang lebih baru dan lebih canggih, seperti NC-212 200 Aviocar MPA dan CN-235-200 MPA, tapi dari segi kuantitas masih belum mampu menandingi keberadaan Nomad yang populasinya pernah hingga 26 unit. Dalam gelaran operasi patroli maritim, segmen pesawat intai ringan amat diperlukan guna dioperasikan di pangkalan aju, sehingga lebih dekat memantau area perbatasan. Kebutuhan pesawat intai maritim ringan terasa mutlak, mengingat karakter landasan di pangkalan pelosok yang masih terbatas. Pesawat sekelas Nomad dan NC-212 amat ideal untuk urusan ini, pasalnya kedua pesawat ‘roh’-nya digadang untuk beroperasi di penerbangan perintis yang mengharuskan pesawat untuk lepas landas dan mendarat di landasan pendek yang tidak beraspal.
Baca juga: Ocean Master 400 – Radar Intai Canggih Untuk CN-235 220 NG MPA TNI AL
Baca juga: NC-212 200 MPA TNI AL – Memantau Perairan Dengan Teknologi FLIR
Nah, ketimbang meneruskan pengadaan NC-212 yang royaltinya masih dipegang EADS CASA, Spanyol, maka lebih baik jika pesawat sekalas ini dibeli dari produksi karya Anak Bangsa. Maka kloplah dengan program pesawat ringan/perintis nasional N-219 yang digarap PT Dirgantara Indonesia (DI). N-219 adalah pesawat angkut ringan dengan kapasitas 19 penumpang yang dilengkapi dua mesin turbo propeller Pratt&Whitney Canada PT6A-42. Meski pengembangannya didasarkan atas kesuksesan NC-212, namun dari segi rancangan pesawat ini lebih identik dengan pesawat DHC-6 Twin Otter. Keduanya sama-sama mengusung desain sayap tinggi (high wing), begitu pun tampak sisi moncong yang mirip.
Baca juga: DHC-5 Buffalo: Pesawat Angkut Multipurpose Yang “Kontroversial”
Diantara para pemesannya , kalangan militer diwakili oleh TNI AL dan Pengawas Pantai Thailand (ex-pengguna Nomad). TNI dikabarkan telah memesan N-219 untuk kebutuhan satu skadron, dengan jumlah antara 9 – 15 unit. Meski belum dirilis spesifikasi untuk varian intai maritim, namun bila melihat dari kemampuan payload yang mencapai 2,3 – 2,5 ton, maka urusan mofikasi dan adopsi perangkat sensor/radar jadi lebih mudah. Dalam versi standar, di dalam radome terdapat radar cuaca, maka seperti halnya pada Twin Otter varian intai maritim, maka dibawah radome atau di depan nose landing gear bisa disematkan modul radar atau sensor electro optics. Mengenai jenis dan spesifikasi radar intai plus sensor yang akan dipasang tentu bergantung pada hasil riset lebih lanjut dan kocek anggaran dari pemerintah.



Baca juga: Browning M2HB – Senapan Mesin Berat Ranpur Kavaleri
Kemampuan lain yang bikin kepincut pihak militer adalah STOL (short take-off and landing). Untuk lepas landas hanya dibutuhkan jarak landasan 465 meter, dan untuk mendarat hanya butuh 510 meter. Guna memenuhi kebutuhan penerbangan perintis, pesawat bisa mendarat di landasan tanah. Kabarnya untuk urusan roda, PT DI memasoknya dari perusahaan pembuat ban Achilles, yang selanjutnya masih harus menunggu sertifikasi.
Rancang bangun N-219 pada 12 November 2015 lalu telah diluncurkan dan diperlihatkan ke publik. Dalam penggarapannya, dilakukan bersama antara PT DI dan LAPAN, peran LAPAN sebagai pusat uji coba dan riset N-219. Setelah melewat beberapa serangkaian tahap uji, diharapkan pada tahun 2016 prototipe perdana pesawat ini sudah bisa mengudara. (Bayu Pamungkas)
Spesifiksi N-219
– Crew: 2
– Capacity: 19 passengers
– Length: 16,49 meter
– Wingspan: 19,5 meter
– Height: 6,18 meter
– Empty weight: 4.309 kg
– Max takeoff weight: 7.030 kg
– Powerplant: 2 × Pratt & Whitney Canada PT6A-42 turboprop engines 850 shp (630 kW) each
– Propellers: 4-bladed Hartzell Propeller
– Cruise speed: 389 km/h
– Range: 1.556 km
– Service ceiling: (3.000 m) operating altitude, max altitude (7.315 meter)
– Rate of climb: 9,85 m/s
Bung Admin, perbandingan spesifikasi N219 ini dengan NC212 MPA dan N24 Nomad, bagaimana ya?
Hmm, kalau soal perbandingan parameternya cukup banyak ya. Mungkin nanti dibuatkan tulisan tersendiri ya mas 🙂
Asal KSAU tidak sampai naik jadi panglima TNI besar harapan bisa di pakai AD & AL yg memang pelanggan setia produk lokal….
Gambar twin otter MPA itu yg di sayap nya kayak di cantelin terpedo/bomb/rudal ya bung admin???
Tak pernah terjadi TNI-AU jadi panglima TNI sejak jaman bung Karno
Hanya sekali saja Marsekal TNI Djoko Suyanto
itupun hanya sebagai menjaga kerukunan TNI saja
setelah itu AD-AL-AD-AD
mungkin TNI punya alasan khusus untuk itu
Zaman bung Karno, sepertinya tidak ada jabatan Panglima TNI deh.
Yang ada adalah justru panglima-panglima angkatan, seperti Letjen Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (ADRI), Laksdya Udara (saat itu, pangkat Marsekal belum dipakai) Omar Dhani sebagai Menteri Panglima Angkatan Udara (AURI). Pejabatnya pangkat bintang tiga.
Di atasnya ada Jenderal AH Nasution (bintang empat) sebagai Menko Hankam Kasab (Kepala Staf Angkatan Bersenjata).
Dan kata “ABRI” pun muncul sejak zaman Bung Karno (ADRI, ALRI, AURI, AKRI, ABRI)
dirut pt di juga dapat bonus lah dari airbus,kalau bisa ngejual produk mereka, masa sales ngga dapat komisi….
Dirut digaji oleh perusahaan PT. DI, jadi sangat wajar bila dapat KOMISI kalau berhasil menjualkan produk PT. DI
Saya juga begitu diperusahaan saya, dan juga teman teman sekalian
Berbeda dengan KASAU, dia Tentara, Tugasnya mengabdi pada Negara, tidak boleh jadi “SALES”, karena itu merupakan “SUAP”
@Lanang: yang dibawah sayap twin otter bukan senjata, melainkan salah satu perangkat sensor atau bisa juga search light.
Saya kira itu terpedo atau bomb ke darat.
Memang seharus nya Pt.Di fokus ke pesawat kecil2 dulu,pasarnya masi besar terutama dalam negeri. Kalo sudah produknya terkenal luas & populasi banyak,baru ngembangkan kelas CN-235/295 sambil mendorong industri komponen pendukung dalam negeri. Kalo langsung mau head to head dgn airbush & boeing ya pasti rontok.
Setuju dg bung yogi, bangga dan bersyukur setiap ada produk lokal atau yg mempunyai kandungan lokal yg tinggi.
setiap jenis pesawat ada peruntukannya, n219 diperuntukkan utk kebutuhan taktis pengganti tugas n22 nomad, cocok utk bandara perintis yg sangat kecil di pedalaman2 atau patroli laut taktis terbatas. Nomad itu bisa bermanuver terbang hingga setinggi tiang kapal, setidaknya itu pernah dilakukan pilot tni al.
sedih ketika melihat n250 kalah dg c295 atau bahkan Xian MA60 , juga n2150 yg seharusnya sdh bisa bersaing dengan Sukhoi Super Jet 100
Selalu bersyukur tiap kali produk lokal dipakai karena itu akan mendukung kemandirian bangsa.
lebih pantas disebut hasil peranakan Twin Otter dan Nomad.
Untuk indonesia lebih cocok mengoperasikan platform mpa yang lebih besar spy bisa dimuati sensor yang lengkap serta memiliki endurance lama/jangkauan lebih besar. Selain u/ menyederhanakan tipe pesawat juga memudahkan perawatannya.
Kalo n-219 ini kemampuan endurance dlm radius operasi 200 mil/zee berapa lama ya?
Soal endurance nampaknya belum ada rilis resmi, hanya baru bisa direka-reka dalam kalkulasi sederhana, yakni dikisaran 3 – 3,5 jam. Untuk lebih pastinya, endurance harus dilihat dari konfigurasi dan payload pesawat saat terbang.
Jarak terbang sekitar 600 mil laut (1100km). Kecepatan ekonomis 350 km/jam. Endurance sekitar 3 jam.
Jika di-deploy di pulau-pulau terdepan seperti Natuna, Tarakan, Morotai dan Biak sangat mampu memantau ZEE.