Meski Filipina ‘Lebih Dekat’ dengan Korea Selatan, Tapi Justru Order LPD Empat Unit ke PT PAL, Ternyata ini Rahasianya
|Dipercayanya PT PAL Indonesia dalam pengadaan (tambahan) dua unit Landing Platform Dock (LPD) atau Strategic Sealift Vessel (SSV) oleh Angkatan Laut Filipina, merupakan prestasi tersendiri dan kebanggaan bagi Bangsa Indonesia, terlebih SSV Tarlac class adalah kapal perang bertonase terbesar yang menjadi ikon di arsenal Angkatan Laut Filipina. Namun, prestasi pengadaan berulang ini kerap mengundang tanya.
Khususnya mengapa Filipina yang notabene bermitra erat dalam industri pertahanan dengan Korea Selatan, tapi justru memilih pengadaan LPD dari Indonesia. Ditambah lagi, kemampuan produksi kapal berjenis LPD oleh PT PAL Indonesia, maka terkait dengan alih teknologi (transfer of technology) yang berasal dari Korea Selatan, yang mana pembangunan LPD Makassar class mengadopsi desain dari Hanwha Ocean (d/h DSME).
Dari lima unit LPD Makassar class yang saat ini dioperasikan Satuan Kapal Bantu (Satban) TNI AL, dua unit pertama dibangun di Busan, yakni KRI Makassar 590 dan KRI Surabaya 591, dan tiga unit selanjutnya dibangun berdasarkan lisensi oleh PT PAL Indonesia di Surabaya, yaitu KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh 593 dan KRI Semarang 594.
Nah, menjawab pertanyaan mengapa Filipina justru memilih mengorder LPD dari Indonesia, ketimbang Korea Selatan, maka jawabannya berpulang pada pelayanan (service) yang diberikan PT PAL Indonesia. Dalam acara medua gathering di Jakarta (21/3/2024), Satriyo Bintoro, Senior Executive Vice President Transformation Management PT PAL Indonesia, mengatakan bahwa service adalah yang membedakan antara PT PAL Indonesia dengan galangan kapal kompetitor.
“Service dari kami berbeda dari galangan lain, dan ini mendorong terciptanya pesanan tambahan untuk dua unit Tarlac class,” ujar Satriyo Bintoro yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Pembangunan proyek frigat Merah Putih.
Satriyo menuturkan service yang diberikan PT PAL bukan hanya memberi pelatihan pada awak kapal Tarlac class, namun lebih dari itu. “Sampai pengiriman kapal pun kami yang lakukan,” ujar Bintoro. Sebagai informasi, umumnya pengiriman (pengambilan) kapal dari galangan asal ke negara pembeli, dilakukan oleh awak atau personel dari angkatan laut negara yang bersangkutan. Tapi Filipina berbeda, maka pengiriman SSV Tarlac class ke Filipina dilakukan oleh awak dari Indonesia.
Ada cerita menarik yang dituturkan Satriyo, bahwa saat pengiriman Tarlac class ke Filipina, kapal tersebut pernah dicegat oleh milisi Abu Sayaf di Laut Filipina selatan, namun berkat diplomasi Indonesia, kapal dapat dilayarkan dengan selamat sampai tujuan. Dengan pelayaran beresiko tersebut, maka galangan kapal pada umumnya tidak ada yang mau menerima permintaan dari negara pemesan.
BAP Paita (Pisco Class) – Unit Kedua LPD Makassar Class ‘Made in Peru’ Meluncur
LPD atau SSV Tarlac class memiliki panjang 123 meter, tinggi 21 meter, dengan berat sebesar 7.200 ton serta memiliki cruising endurance selama 30 hari. Pengadaan LPD kali ini mengakomodir penyesuaian kebutuhan militer Filipina saat ini dengan perubahan minor pada platform kapal. Nantinya kapal LPD ini diharapkan akan siap bertugas hingga sea state 6, serta kapabilitas pengoperasian perlengkapan fasilitas kapal pada sea state 4.
Setelah puas dengan kualitas dari dua unit LPD atau SSV Tarlac Class – BRP Tarlac 601 dan BRP Davao del Sur 602 produksi PT PAL Indonesia, pada 24 Juni 2022, Departemen Pertahanan Filipina telah resmi mengoder dua unit SSV lagi (tambahan) dari PT PAL Indonesia. (Haryo Adjie)
Meski Mirip, Desain Kapal Bantu Rumah Sakit (BRS) dan Landing Platform Dock (LPD) Ternyata Berbeda
Setelah PAL bikim LHD, maka PT DI dan Infoglobal perlu mengembangan I-22 sikatan sebagai isian pesawat tempur maritim nya
Blue Water Navy adalah konsep dimana kekuatan armada angkatan Laut bisa dikerahkan keluar dari batas ZEE dan membungkam musuh di wilayah asalnya. Ingat, itu adalah konsep, bukan suatu keharusan jika kita punya Kapal Induk maka kita harus menjadi negara Agresor dsb. Konsep Kapal Induk sebagai bagian dari Anti Access/Area Denial seperti pada doktrin AA/AD Uni Soviet dan sekarang Rusia/China jelas hanya menjadikan Kapal Induk sebagai bagian dari pertahanan pertama sebelum musuh mendekat wilayah mereka.
Satelit optik memang bisa melihat tapi untuk men-scanning beberapa obyek yg bergerak di area seluas 7 juta kilometer persegi dalam bentuk kepulauan besar milik Indonesia jelas bukan perkara yg mudah bahkan untuk kelas USA sekalipun, bahkan jika mereka bisa mendapatkan foto citra satelit apakah Km bisa mengira kalo obyek kapal tersebut akan terus bertahan stasioner disitu? Yg namanya kapal induk jika sudah bergerak tentu bakalan susah dideteksi apalagi dalam kondisi perang. Untuk bisa mengunci seraca real-time musuh tetap harus masuk wilayah Indonesia entah itu mau pake UAV atau pake AWACS dan dg jaringan radar saat ini jelas sudah bisa dideteksi dan segera diserang balik.
Nah untuk masalah sistem Hanud, seperti yg saya katakan sebelumnya itu masih dalam tahap proses penambahan jadi gak perlu khawatir. Masak iya Indonesia tidak mau menambah sistem hanud yg ada, masak iya tidak ada rencana terobosan untuk mengatasi kekurangan biaya pengadaan??? Kalo bangun infrastruktur bisa pake utang dan lama penggunaannya juga jangka panjang lalu kenapa pengadaan Alutsista tidak dilakukan dg cara seperti itu? Lagian lama penggunaannya juga untuk jangka panjang. Beli hanud misal NASAMS, SAMP-T, Patriot atau THAAD gak mungkin diganti tiap 5 tahun sekali,pasti sampai puluhan tahun baru ganti. Jadi biaya nilai bukunya juga tidak besar kalo dihitung dg multiyears. Tenang aja Bung TN, pasti kebeli itu Merad dan Lorad
Tadi Agato sebut Hanud terintegrasi?
Seberapa kuat?
Mampukah Hanud pangkalan dan pespur serta Hanud kapal Kombatan kita menahan gempuran 5 atau 6 skuadron gemuk dari jet tempur PLAAF sekaligus?
Saya rasa tidak mampu. Lha pertahanan pangkalan kita masih pakai bedil dikira pesawat musuh masih model spitfire semua. Sedikit pangkalan atau obvit yang ada AA gun atau pun Shorad. Apalagi Hanud macam kubah besi atau Merad atau Lorad.
Bagi mereka cukup habisi kapal permukaan, pesawat tempur, pangkalan militer yang pamer tulisan gede di atapnya dan infrastruktur landasan udara dan dermaga pelabuhan dan kawasan industri. Itu doang lalu laut dan udara kita diblokade musuh.
Cukup itu saja nggak perlu musuh masuk mendarat ke salah satu pulau penting milik kita. Diblokade sehingga rakyat nggak dapat pasokan logistik. Jika musuh nggak mendarat di pulau kita maka strategi pertahanan infanteri rakyat semesta nggak bisa digunakan.
Pergerakan kapal induk susah diprediksi? Ya kalo di jaman PD 2.
C’mon are U joking ?
Sayang sekali sekarang bukan jaman PD 2. Sekarang itu jaman orang pakai satelit.
Kapal induk itu gede jalannya lambat laksana Kukang mudah dilihat dari satelit. Jauh lebih cepat bagi satelit untuk mengelilingi bumi daripada sebuah kapal induk yang berlayar misal dari Surabaya ke Jakarta.
@TN saya setuju kita tak butuh kapal induk tak perlu menjadi Blue Navy cukup Green Navy yg mampu jaga kedaulatan tiap jengkal perairan negara kita itu sudah cukup kita tak perlu sok2 an kluyuran keluar dari ZEE kita sendiri utk urusi orang atau negara lain malah merepotkan spt kurang kerjaan, 5 atau 10 tahun kedepan kompetisi negara2 didunia supaya survive tambah besar dan berat, belum yakinlah kita mampu cukupi senjata standard negara kuat buat pagari negeri Nusantara, bisa survive dah sangat bagus
Ah, ini soal Mindset Bung TN. Pada kenyataannya anggaran keseluruhan untuk pertahanan saat ini sudah hampir mencapai USD 15 Billions dan akan terus ditingkatkan lagi walopun sebagiannya pake utang khususnya untuk pengadaan alutsista. Jadi pengadaan Fregat yg mumpuni seperti Bergamini Class, Thaon di Revel dan Fregat Merah Putih akan sangat membantu perkuatan armada TNI AL dan bahkan proses ToT yg berjalan akan membuat Indonesia mampu mengembangkan dan memproduksi sendiri Fregat dg Tonase diatas 6000-7000 Ton. Itu akan menjadi backbone bagi kekuatan armada khususnya armada pelindung Kapal Induk Medium/LHA.
Payung udara dg adanya Kapal Induk jelas akan lebih memudahkan pergeseran kekuatan tanpa perlu banyak membangun hanggar dan Lanud di banyak Pulau. Justru dg adanya Kapal Induk, Musuh akan kesulitan untuk segera melumpuhkan kekuatan udara Indonesia mengingat jika Lanud-lanud Indonesia sudah diserang Musuh, pergerakan Kapal Induk yg susah diprediksi akan membuat musuh berpikir ulang sebelum melakukan serangan. Mereka tentunya akan berpikir percuma menghancurkan Lanud-lanud yg ada di Indonesia jika kekuatan udara Indonesia yg bertumpu pada Kapal Induk masih ada. Jika Kapal Induk yg diserang, tentunya itu takkan mudah karena sifat Geografi Indonesia yg unik berbentuk kepulauan yg sangat Luas dan besar yg artinya musuh harus menyelinap ke area Perairan dan wilayah Indonesia tanpa ketahuan dan itu bukan perkara yg mudah saat ini. Menyerang dg rudal pun juga akan percuma jika Sistem Hanud Indonesia yg sedang dipersiapkan ini sudah komplit. Jika Sistem Hanud sudah komplit dan kuat, maka Kekuatan udara musuh takkan berani menerobos langsung terang-terangan seperti yg terjadi di Ukraina dimana Angkatan Udara Rusia sangat kesulitan menembusnya dan hanya bergantung pada rudal hipersonik yg tidak banyak jumlahnya serta harganya yg sangat mahal. Tenang aja Bung TN, Sistem Hanud terintegrasi Indonesia sedang dikebut dan dikejar.
Kalo untuk masalah politik domestik itu bukan ranah saya, walopun sepertinya akan selesai jika beberapa pihak bisa mencapai kata sepakat untuk bersama baik lewat tawaran jadi menteri misalnya. Yah dinamika politik di Indonesia memang unik, beda dg negara lainnya di Dunia dan mungkin itu adalah salah satu cara yg paling baik untuk melanjutkan pembangunan yg holistik.
Kalo masalah di wilayah timur bagi saya itu hanya masalah political will saja, sisanya hanya untuk pelatihan saja.
Agato mimpi ketinggian.
1. Aircraft carrier butuh kapal kombatan semacam destroyer dan fregat yang mumpuni untuk menemaninya. Sedang kita sangat kekurangan kapal kombatan sedemikian. Untuk melindungi garis pantai dan laut kita yang sangat luas saja kita sangat kekurangan apa lagi untuk melindungi aircraft carrier.
2. Kalopun mau dibuat paling maksimum hanyalah kapal LHD saja untuk angkut helikopter dan drone serta dukungan operasi amfibi.
3. Kita pun sangat kekurangan pesawat tempur untuk melindungi langit kita. Masakah untuk langit sendiri aja kurang apalagi ingin berkelana di langit orang.
4. Dalam negeri kita masih perlu banyak dibenahi. Buat atasi gerombolan siberat di bagian timur saja nggak beres-beres apalagi mau benahi negeri lain.
5. Untuk punya navy yang kuat negara harus stabil dulu. Itu Amrik dan Tiongkok serta Inggris cukup stabil selama puluhan tahun. Sedang kita setiap 5 tahun ada gerombolan penghasut yang tidak sportif.
Setelah nanti sukses membuat LPD 165 meter pesanan UEA maka PAL akan memiliki pijakan dalam pengembangan LHD yg bila dikembangkan dg perkuatan pada dek untuk penerbangan pespur VTOL jelas akan meningkatkan kemampuan Armada Indonesia dengan memiliki Kapal Induk Pespur yg bertumpu pada F-35B. Memiliki Kapal Induk jelas bukan angan-angan tapi kenyataan yg ada.
Buat hingga 2 unit LHA yg masing-masing bisa mengangkut 24 F-35B jelas akan meningkatkan kapabilitas Armada TNI AL menjadi Blue Water Navy/World Class Navy, jika membuat hingga 4 unit maka kekuatan Armada Laut Indonesia akan langsung setara dg Armada Laut PLAN China. Sesuatu yg akan langsung mengguncang keseimbangan Kawasan Asia Pasifik dalam sekejap. Tinggal bikin rudal SRBM dan dikembangkan sebagai Rudal Hipersonik maka Indonesia akan sangat disegani oleh Dunia.