“Menghadapi” Cina dengan Senjata Buatan Cina
|
Pemerintah Cina memang dengan tegas mengakui Kepulauan Natuna sebagai bagian dari wilayah NKRI, tapi lain hal dengan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Perairan Natuna. ZEE RI yang berada bersinggungan dengan Laut Cina Selatan itu sebagian areanya dianggap sebagai traditional fishing zone oleh Cina, padahal dalam hukum laut internasional tak dikenal istilah traditional fishing zone. Klaim sepihak dari Cina ini beberapa kali menjadi sumber ketegangan hubungan diplomatik antara Jakarta dan Beijing.
Hadirnya armada kapal Penjaga Pantai Cina (China Coast Guard/CCG) yang terkesan melindungi upaya illegal fishing nelayan Cina kian menambah kisruh situasi yang terjadi di lautan. Dalam tahun ini, sudah tiga kali peristiwa ‘besar’ yang terkait penegakan hukum dilakukan aparat Indonesia. Peristiwa terakhir pada 17 Juni, dimana terjadi kejar-kejaran antara kapal perang Indonesia dengan kapal nelayan Cina, plus keterlibatan kapal CCG menghalagi kapal perang RI, hal tersebut menjadi poin titik balik bagi kesiapan TNI sebagai garda terdepan pelindung NKRI.


Baca juga: Haijing 3303: Senjata Kelas Kapal Patroli, Performa Kelas Korvet
Lanud Ranai di Pulau Natuna yang didapuk sebagai pangkalan aju, telah diperpenjang landasannya, shelter jet tempur juga sudah dibangun. Sehingga tak hanya pesawat tempur taktis Hawk 209 dan Super Tucano yang bisa mendarat mulus, saat ini satu flight F-16 Fighting Falcon TNI AU juga siap lepas landas dan mendarat dari Lanud Ranai. Begitu juga dengan perkuatan pada baterai pertahanan udara (hanud) yang ada di Natuna.

Baca juga: Laut Cina Selatan Memanas, TNI AU Gelar Garnisun Udara dari Natuna
Lepas dari itu, ada momen menarik yang layak dicermati dari insiden 17 Juni. Seperti telah dikupas pada artikel terdahulu, Komando Armabar TNI AL telah mengutus kehadiran gugus tempur terpadu ke Natuna dalam kaitan patroli sekaligus latihan di Laut Natuna dan Laut Cina Selatan. Dalam latihan yang digelar selama 12 hari, yakni dari 9 – 20 Juni 2016, TNI AL mengerahkan KRI Sultan Thaha Syaifuddin 376, KRI Sutanto 377, KRI Imam Bonjol 383, dan KRI Teuku Umar 385, keempatnya adalah jenis korvet Parchim Class buatan Jerman Timur.
Baca juga: Merespon Memanasnya Laut Cina Selatan, TNI AU Gelar Kanon Oerlikon Skyshield di Natuna
Selain itu satuan tempur laut juga diperkuat satu unit KCR (Kapal Cepat Rudal) KRI Todak 631. Dan menunjang operasi di lautan lepas, turut bergabung kapal tanker KRI Balikpapan 901. Tidak ketinggalan sebagai unsur intai dari udara disertakan pula satu unit CN-235 220 MPA (Maritim Patrol Aircraft) dari Puspenerbal.
Bila ditelaah, umumnya tingkat kesiapan senjata pada kapal korvet Parchim tidak maksimal, banyak senjata (kanon) yang dalam kondisi rusak, torpedo yang tidak berfungsi sejak pertama kali datang dari Jerman Timur, dan sonar yang tidak berfungsi. Ini menjadikan tingkat kesiapan tempur pada Parchim Class terbilang rendah. Namun diantara keempat Parchim Class, KRI Sultan Thaha Syaifuddin 376 bisa disebut menjadi yang terdepan untuk urusan senjata. Pasalnya korvet ini yang sudah mendapat upgrade senjata pada sisi haluan, yakni dengan mengganti kanon AK-230 dengan kanon CIWS (Close In Weapon System) Type 730 buatan Norinco, Cina.
Baca juga: AK-725 – Meriam Laras Ganda Kaliber 57mm Korvet Parchim TNI AL
Sementara kehadiran rudal anti kapal diwakili pada sosok KRI Todak 631, kapal jenis FPB-57 Nav V ini menggotong dua rudal anti kapal C-705 buatan China Aerospace Science and Industry Corporation (CASIC). Meski Cina tak nampak berniat untuk mengerahkan kapal angkatan lautnya ke Perairan Natuna, menjadi menarik perhatian penulis adalah penggunaan senjata andalan buatan Cina untuk menghadapi Cina.
Tentu kita tidak berharap meletus konflik terbuka, tapi bila toh akhirnya terjadi, rasanya perlu jadi perhatian bersama bahwa lumayan banyak alutsista TNI yang merupakan produksi Cina. Bahkan beberapa proyek pengadaan alutsista berstatus baru kini tengah dalam proses pembahasan untuk bisa dioperasikan oleh TNI. Karena bersifat alutsista andalan, bukan tak mungkin bila muncul letupan konflik, maka senjata asal Cina yang digunakan TNI yang akan dimajukan untuk menghadapi kekuatan Cina yang Adidaya di Asia Pasifik.
Dan berikut kami sarikan, beberapa alutsista produksi Cina yang digunakan oleh ketiga matra TNI, sebagian masih berstatus dipertimbangkan untuk diakuisisi. Untuk melihat detail tiap alutsista, pembaca yang budiman bisa langsung meng klik tautan pada identitas senjata.
TNI AL
– AK-630M – Kanon CIWS enam laras yang terpasang di Kapal Cepat Rudal Clurit Class
– Type 730 – Kanon CIWS tujuh laras yang terpasang di korvet Parchim Class
– C-802 – Rudal anti kapal yang terpasang di sebagian frigat Van Speijk Class
– C-705 – Rudal anti kapal yang terpasang pada Kapal Cepat Rudal jenis Clurit Class, FPB-57 Nav V, dan KCR 60 Sampari Class.
– Combat Management System – Dipercaya oleh Kemhan dan PT PAL untuk memasok CMS pada KCR Sampari Class.
Baca juga: Upgrade Alutsista, TNI AL Pilih Kanon Type 730 Untuk KRI Sampari 628 dan KRI Tombak 629
TNI AD
– QW-3 Vehicle Launcher – Rudal MANPADS sebagai pengganti rudal Grom
– TD-2000B Missile Gun Integrated Weapon System
– Radar SR-74 – Sebagai radar intai dalam paket sistem rudal QW-3
– Type 80 Giant Bow – Kanon kaliber 23 mm yang digunakan Arhanud
– PF-8 Queen Bee – Roket anti tank kaliber 120 mm
– PL-9C – Rudal hanud buatan Luoyang Electro-Optics Technology yang tengah dilirik oleh Kemhan
– Type 90/35 mm – Kanon Hanud Twin Gun yang jadi incaran dalam proyek MEF II TNI
– AF902 – Unit Pengendali Tembakan Plus Sistem Radar Hanud Kanon Type 90 dan Rudal PL-9C
TNI AU
– QW-3 – Rudal MANPADS andalan Detasemen Arhanud Paskhas TNI AU
– QW-3 Twin Launcher – Platform rudal QW-3 dengan dua peluncur
– Smart Hunter – Radar intai dan pemandu rudal QW-3
Nego Keras di Proyek Rudal Anti Kapal Nasional
Diantara beragam alutsista TNI asal Cina, bisa disebut rudal anti kapal C-705 yang paling banyak mendapat sorotan. Ini tak lain terkait rencana pembangunan produksi rudal C-705 di Indonesia oleh PT Dirgantara Indonesia. Pembangunan produksi rudal C-705 ini didasari atas ToT (Transfer of Technology) yang didapat oleh Indonesia jika melakukan pembelian C-705 dalam jumlah yang disepakati.
Baca juga: Indonesia Konfirmasi Gunakan Rudal Anti Kapal C-705 Untuk KCR60 TNI AL
Sampai saat ini proyek C-705 disebut-sebut masih terus berjalan, komunikasi antara pihak Kemhan dan SASTIND (State Administration for Science, Technology and Industry for National Defense) Cina terjalin cukup intens untuk level G to G (Government to Government), sementara untuk level Business to Business yang melibatkan kepentingan dan kebutuhan industri pelaksana, masih terdapat poin yang belum disepakati. Seperti misalnya Cina meminta Indonesia untuk membeli 100 unit C-705 dalam lima tahun agar ToT dapat diberikan. Sementara disatu sisi, daya serap (belanja rudal) TNI AL tidak akan mampu sebanyak itu.


Di lain pihak, PT DI mendorong pihak Cina untuk bisa memberikan ToT dengan tawaran Indonesia ‘hanya’ membeli 50 unit rudal C-705. Selain itu PT DI juga berharap mendapatkan lisensi atas produksi C-705, sehingga dikemudian hari PT DI dapat melakukan ekspor rudal ini. Terkait permintaan lisensi dan ekspor C-705 dari pihak Indonesia, plus pembelian yang ditekan menjadi 50 unit, kini masih dalam pengkajian oleh pihak Cina. Mereka masih harus berhitung keras atas tawaran ‘ketat’ dari Indonesia. Perlu dicatat, jika proses produksi bisa mulai dijalankan, maka 20 unit rudal pertama masih dibuat di Cina, fasilitas di PT DI hanya digunakan sebagai lini perakitan. Nah, setelah rudal ke-20 tiba, baru PT DI dapat mulai memasukkan elemen TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri).
Hingga saat ini, TNI AL telah membeli enam unit rudal C-705 yang dipasang pada KCR (Kapal Cepat Rudal), sementara 50 unit yang disebutkan diatas tentu diluar enam unit yang sudah dibeli Indonesia. Indonesia sendiri kepincut dengan rudal C-705 dengan alasan nilai ToT yang diberikan, hanya Cina yang berani memberikan ToT penuh untuk rudal anti kapal, produsen rudal lain dari Eropa Barat kebanyakan masih sebatas memberi ToT pada teknologi propelan (tenaga pendorong) rudal.
Bagaimana kelanjutan negosiasi keras ini, apakah Indonesia yang terkenal jago ‘menawar’ mampu meloloskan proses negosiasi ini? Kita tunggu saja update selanjutnya, yang terpenting pemerintah harus dapat menjamin bahwa rudal yang diakuisisi dan dibangun mempunyai kualitas yang maksimal, serta mampu menghindari upaya embargo jika kelak terjadi konfrontasi. (Haryo Adjie)
Wah ternyata tmn2 yg komentar pd cerdas2.. tp sangat di sayangkan knp sesama anak negeri msh pd suka ribut2… Pdhal ancaman nyata kita itu sendiri dr produsen C-705 itu dah jelas.. Mestinya tmn2 pd akur.. Ayo kita bersatu hajar cina yg scra nyata mau merebut LCS.
Jumlah 100 unit spt yang diisyaratkan sebenarnya tdk terlalu banyak, diasumsikan 1 kapal dimuati 4~8 rudal, maka jumlah tsb baru melengkapi sekitar 20 kaprang
Yang lebih seru adl janji TOT 100%….berapapun besarnya TOT yang dijanjikan, semuanya akan kembali kpd kapasitas daya serap dalam negri menyambut teknologi tsb.
Mari kita lihat bekal pencapaian teknologi roket yang kita miliki…berapa perfomance terbaik dari R-Han kita saat ini?
Teknologi perudalan apa yang sudah ditekuni oleh lapan, len, atau perusahaan swasta yang lain (diasumsikan pt.di bertindak sbg general contractor)?
Kita bisa menengok brazil sbg contoh terdekat, mereka mengembangkan exocet block 2 dgn lisensi mbda, tapi setidaknya brazil telah memiliki bekal teknologi propelan dan motor turbofan yang sudah matang. Bahkan satu perusahaan swasta disana mampu membuat peralatan telemetri untuk keperluan uji coba rudall (utk mengukur parameter penerbangan rudal)
Ada sekitar 5 teknologi rudal yang mendasar yaitu: (seeker system, electronic jamming system, radio altimeter, gyro stabilisation, turbofan motor) yang harus dikuasai…utk meraih seluruhnya dalam waktu singkat memang tidak mudah, butuh effort, dana dan pengembangan yang kontinyu.
Jangan sampai kita terlena dg janji TOT 100%, sementara dukungan industri dalam negri serta dana pengembangannya tidak seirama, shg kita hanya menerima teknologi seeker dan elektronik jamming yang telah ditinggalkan cina krn mereka sdh menguasai teknologi yang lebih baru sementara kita tdk memiliki kemampuan dan dana utk mengupgrade sendiri
Benar nih China sebaik itu, jangan lupa kasus TOT antara PT.Indomesin Tridaya Bangsa dgn Norinco China atas 3 jenis senjata : UW-1 RCWS, MLRS 122mm dan CIWS type 730 30mm. Ternyata China tdk ingin memberi TOT kepada Indonesia, mereka hanya concern dgn jualan saja, yaitu dgn bermitra dgn Indomesin sbg ‘rebrander’ di Indonesia. Mungkin bisa jadi seperti MJA Tech (perusahaan Indonesia) yg mempromosikan Dillon Aero M134 Minigun buatan AS, bukannya mempromosikan Eli Gun buatan Indonesia pada Indodefence terakhir.
Seperti merek Smartphone lokal, ternyata hanya tempel merek saja, tetap made-in China tapi dengan merek lokal
Indonesia senang sekali ditipu macam ini, mungkin rakyatnya juga
“Cintailah Produk Indonesia”, tapi hanya tempel merek doang, barang tetap made-in China
@autoverron
Bukankah dillon M-134 vs Eli gun adalah senjata yang sama, yang pertama produk origin sdg yang kedua adl produk lisensi dg laras tetap menggunakan buatan dillon.
Coba dicek saja apakah di Indonesia ada industri senapan militer selain Pindad…
https://indonesiansoldiers.blogspot.co.id/2016/07/top-10-most-elite-spesial-forces.html
kasih suara urutan militer indonesia gan
Kekuatan militer kok di voting ? Talent show kalee.. hehehe
mau kasih suara urutan militer indonesia. sekarang urutan 4, langsung singgah bentar di https://indonesiansoldiers.blogspot.co.id/2016/07/top-10-most-elite-spesial-forces.html