Martin P6M SeaMaster, Flying Boat Bersenjata Nuklir Serba Bisa Andalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang Ditakuti Uni Soviet
Di awal-awal Perang Dingin (akhir dekade 40an pasca berakhirnya Perang Dunia II), US Navy atau Angkatan Laut Amerika Serikat menghadapi kenyataan pahit dianaktirikan oleh Pentagon, yang notabene lebih ‘sayang’ dengan Komando Udara Strategis Angkatan Udara. Ini bisa dibuktikan dari mentahnya proposal supercarrier USS United States di tangan Pentagon demi pembom B-36 Angkatan Udara.
Baca juga: AVIC AG-600 Flying Boat: “Tiruan” ShinMaywa US-2 dengan Payload Lebih Besar
Tak menyerah, para petinggi US Navy pun beralih dengan menyodorkan proposal pesawat amfibi (flying boat) bersenjata nuklir. Ini pun pada akhirnya disetujui Pentagon. Ketika itu, ada dua manufaktur yang mengirimkan desain prototipe pesawat, Martin dan Convair. Setelah berproses, pada tahun 1952, Pentagon menilai proposal dan desain Martin P6M SeaMaster-lah yang paling siap.
Catatan smithsonianmag.com, dalam tahap awal pengembangan, Pentagon dan Angkatan Laut Amerika Serikat memasang standar tinggi pada pesawat amfibi itu.
Disebutkan, pesawat amfibi Martin P6M SeaMaster, selain harus memiliki kemampuan melakukan serangan nuklir strategis jarak jauh, juga harus mampu melakukan misi peletakan ranjau, misi pengintaian, lihai terbang di ketinggian rendah dan kecepatan rendah (kemampuan tak biasa untuk pesawat yang dibekali mesin jet), sampai pengeboman (sebagaimana pesawat bomber milik Angkatan Udara AS).
Maka dari itu, tak heran bila pesawat amfibi berbobot 13 ton ini juga disebut sebagai pembom strategis B-52 Stratofortres yang beroperasi di laut.
Tafsiran dari semua keinginan tersebut pun dihadirkan oleh Martin dengan lahirnya satu dari dua prototipe yang dijanjikan, XP6M-1. Prototipe ini berhasil terbang perdana pada 14 Juli 1955 berbekal empat mesin turbojet Allison J71-A-4 yang dipasang di dua nacelles di atas badan pesawat dekat wing roots.
Untuk stabilitas di atas air, pesawat dilengkapi dengan anhedral yang memungkinkan wingtip tanks meluncur di lautan dan berguna juga sebagai pelampung. Dalam uji air perdana yang dilakukan secara rahasia di Chesapeake Bay dekat markas Martin Baltimore, didapatkan knalpot jet terlalu dekat dengan badan pesawat dan membuatnya hangus saat afterburner digunakan.
Tak lama berselang, prototipe kedua pun muncul pada November di tahun yang sama. Merasa cukup yakin, Angkatan Laut AS pun mengundang media secara besar-besaran dan berhasil mengundang decak kagun para awak media saat penerbangan demo.
Akan tetapi, setahun kemudian, keyakinan petinggi Angkatan Laut AS memudar dengan adanya kecelakaan pada prototipe pertama yang telah disempurnakan akibat kehilangan kendali. Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini.
Menjawab keraguan, AL AS melakukan uji coba pada model pra-produksi YP6M-1 yang telah menutup seluruh kekurangan pada model sebelumnya. Dari basis ini pada akhirnya pesawat amfibi serba bisa berkemampuan nuklir, Martin P6M SeaMaster, akhirnya diproduksi pada awal tahun 1959.
Pesawat dibekali dengan mesin turbojet Pratt & Whitney J75-P-2 yang lebih kuat (tanpa afterburner), probe pengisian bahan bakar udara, ruang bom kedap air yang berputar, navigasi Sperry , kontrol penerbangan dan sistem autopilot, visibilitas tinggi, dan kit probe-and-drogue untuk konversi ke kapal tanker. Penambahan bobot modifikasi membuat P6M-2 meluncur lebih rendah di dalam air dan tidak membutuhkan wing anhedral.
Baca juga: Bombardier CL-415: Flying Boat Turboprop Modern, Pernah Ditawarkan ke Indonesia
Kemampuan Martin P6M SeaMaster, sebagaimana yang telah disebutkan di awal, disebut mampu menumpas habis kapal selam Uni Soviet di pelabuhan sebelum mereka menghilang di kedalaman. Martin P6M SeaMaster juga disebut lebih canggih dibanding B-52 milik AU AS.
Meski begitu, perkembangan teknologi kapal selam yang dilengkapi dengan rudal balistik antar benua membuat proyek US$ 400 juta itu mentah. Meski sempat dicarikan jalan keluar agar Martin P6M SeaMaster tetap beroperasi, pesawat akhirnya disuntik mati pada akhir dekade 50an dengan menyerahnya produsen dalam melakukan pengembangan. Pesawat pun disimpan di Museum Penerbangan Glenn L. Martin di Baltimore sebagai tonggak keberhasilan R&D AL AS. (Alpin)
Related Posts
-
AH-64 Sea Apache – Mimpi Helikopter Serang Khas Angkatan Laut yang Tak Terwujud
No Comments | May 21, 2024
-
Jelang Serah Terima KRI RE Martadina 331, Proses Negosiasi Pengadaan Senjata Tengah Berlangsung
55 Comments | Nov 18, 2016
-
Profil KRI Teluk Penyu 513 dan KRI Teluk Mandar 514 – Dua LST yang Akan Dijual Lelang oleh Kementerian Pertahanan
6 Comments | Jan 28, 2022
-
Akhir Tahun, Radar Intai Jarak Jauh AN/TPS-77 Beroperasi di Labuan
9 Comments | Mar 18, 2023
Dalam MEF perubahan tak ada pembagian workhorse ataupun air superiority buat pespur tier 1. Dinamika saat ini lebih condong pespur tier 1 kudu pakai twin engine. Kecuali khusus F-35 karena mengejar teknologi pespur gen 5. Kesulitan birokrasi kita mendapatkan F-35 karena kita masih belum mau menerapkan Link 15 phase V. Dgn alasan paranoid tingkat dewa
@tukang ngitung
Hohoho
Hitungan ente ekstrim amat!
Idealnya 1 ska kalau kita mengacu standar NATO minimum 20 pesawat. Tapi realitanya standar minimum kita 12 pesawat. Amriki, Kroya, Nipon, Sino malah 40 pespur per ska
Di MEF Perubahan tahun 2045 ada 14 skadud pespur dgn opsi tambahan 1-2 pespur buat TNI AU & 2 skadud pespur SVTOL buat TNI AL
9 ska pespur tier 1, 1 ska pespur khusus electronic warfare mission & 4 ska pespur tier 2 (CAS, low speed interceptor, COIN & LIFT)
Opsi 1-2 ska tambahan fleksibel
Yang kita punya
1 ska Flanker (kemungkinan pensiun buat digantikan Boramae)
2 ska F-16 (bakal ditingkatkan jadi F-16V)
1 ska Hawk 100/200
1 ska T/TA-50
1 ska Sutuc
Total ska TNI AU saat ini
3:ska pespur tier 1
3 ska pespur tier 2
Dgn kemungkinan Flanker & Hawk pensiun di 2045
Maka kebutuhan kita
7 ska pespur tier 1
Ane lebih condong dgn anggaran terbatas pilihan 24 Rafale dan 60 KF-21 lebih logis daripada hitungan ente
Bisa juga 36 Rafale+ 48 KF21
1 ska pespur elektronik dulu wacananya menggunakan sebagian unit F-16 dgn ESM/ECM/ECCM tool dari Harris tapi soal ini masih gelap. Rafale bisa difungsikan sebagai Growler karena omnirole capablility
2 ska pespur tier 2
Fleksibel antara Super Tucano & FA-50. Bisa keduanya atau satu diantaranya saja. Total 24 unit. Justru bagi ane dgn anggaran terbatas pilihan menambah pespur tier 2 lebih mendesak dibandingkan pespur tier 1. Kalau Ibu Susi Pudjiastuti yang jadi Menhan kemungkinan ini yang lebih didahulukan
Untuk TNI AL jelas saja bisa ditebak karena spesies satu-satunya. Selalu ane katakan pespur ini kansnya lebih gede buat TNI AL dibandingkan TNI AU. Jumlah 24 unit
Dah tebak saja sendiri
Buat ayam jago,
Andai interceptor diserahkan pada boramae dan F16, setidaknya kita perlu 48 boramae dan tambahan F16 sebanyak 50 unit F16 blok 70 yang pakai CFT atau tambahan 84 unit F16 seken gurun yang tidak pakai CFT.
Pertanyaannya kita ada duit nggak?
Trus Rafale mau dikemanain?
Baik F16, Boramae maupun Rafale adalah pesawat multirole.
Wow, riset senilai usd 400 juta di tahun 1952 ????
Dengan menghitung rata2 inflasi per tahun sebesar 2,014% maka usd 400 juta itu sama nilainya dengan usd 1761 juta saat ini. Atau kalo usd 1761 juta itu dikurskan menjadi 26,4 triliun rupiah. Bayangin 26,4 triliun rupiah hanya untuk riset 1 macam pesawat dan akhirnya dihentikan.
Biaya riset untuk pesawat tempur kita berapa ya?
Katanya mau bangun pesawat tempur sendiri. KFX itu bukan pesawat tempur murni hasil riset kita lho. Kita cuma nebeng nama doang dan tidak riset sendiri.
Biayanya 8,8 triliun krw atau usd 6776 juta.
Porsi kita 20% x 6776 juta usd = 1355,2 juta usd atau 20,3 triliun rupiah.
Kita mbayari 20,3 triliun rupiah untuk negara lain untuk riset pesawat tempur dan kita sendiri tidak memperoleh manfaat baik secara teknologi orang2 kita nggak tambah pinter maupun secara ekonomi kita nggak dapat untung dari per unit produksinya.
Biar adil maukah mereka investasi balik sebesar usd 1,5 miliar ke dalam industri dirgantara kita. Nggak usah bikin pesawat tempur nggak apa asal ada tambahan 10 ribu orang rakyat kita tambah pinter membuat pesawat dan secara ekonomi juga dapat penghasilan darinya selama 20 tahun.