Lini Produksi Rudal Udara ke Udara PL-15 Menggunakan Teknologi Robotik, Bisa Produksi 24 Jam Tanpa Awak
|Produk alutsista buatan Cina menjadi naik pamor dalam konflik bersenjata India versus Pakistan, selain nama jet tempur JF-17 Thunder Block III dan Chengdu J-10C, maka nama rudal udara ke udara jarak jauh – Beyond Visual Range (BVR) PL-15 dan PL-15E (varian ekspor) turut terdongkrak setelah puing-puing rudal tersebut ditemukan, bersamaan dengan kabar rontoknya beberapa jet tempur dari Angkatan Udara India, yang di atas kertas lebih canggih.
Tak mau menyianyiakan promosi gratis dari laga perang di atas Kashmir, siaran televisi pemerintah Cina – CCTV merilis ulang rekaman tahun lalu, yang memperlihatkan lini produksi mutakhir untuk rudal udara ke udara PL-15E. Rilis rekaman produksi PL-15E dilakukan beberapa jam setelah Pakistan mengklaim telah menggunakan kompetitor rudal Meteor tersebut untuk menembak jatuh lima jet tempur India, yang hebatnya kelima jet tempur India ditembak jatuh saat masih berada di ruang udara India.
CCTV pertama kali menyiarkan rekaman tersebut pada bulan Juli tahun lalu. Perilisan ulangnya pada hari Kamis ditafsirkan di media sosial Cina sebagai indikasi bahwa lini produksi rudal ini telah mencapai biaya rendah dan kapasitas tinggi, yang menandakan niat untuk memperluas penjualan ekspor produk militer Cina.
Lini produksi PL-15E disebut mutakhir atau Intelligent Manufacturing, yang salah satunya dalam tahapan produksinya melibatkan lengan robotik yang dengan mulus menjalankan tugas-tugas seperti pemasangan komponen, pengelasan, dan pemeriksaan kualitas.
Para ahli yang ditampilkan dalam video tersebut mengatakan bahwa peralihan Cina ke Intelligent Manufacturing memungkinkan produksi tanpa awak (manusia) selama 24 jam, dengan sistem yang dapat beradaptasi dengan berbagai varian rudal untuk mempercepat produksi dan memangkas biaya.
“Lini produksi fleksibel kami di China Airborne Missile Academy (CAMA) memungkinkan identifikasi komponen, pemasangan, pengelasan, dan pemeriksaan kualitas secara otomatis. Proses perakitannya sepenuhnya otomatis,” kata Yao Changhong, direktur cabang Peralatan Listrik di Aviation Industry Corporation of China (AVIC).
AI: The PL-15 air-to-air missile, along with its export variant PL-15E, is manufactured using advanced automation and robotics.
Automated assembly lines: Footage released by China’s state broadcaster CCTV and other sources show robotic arms performing tasks like component… pic.twitter.com/jCLybxu1Po
— steve hsu (@hsu_steve) May 9, 2025
“Setelah bahan siap dan perangkat lunak diatur, proses berjalan secara otomatis tanpa perlu campur tangan manusia,” tambahnya.
Lini produksi fleksibel memungkinkan kompatibilitas dengan berbagai produk, mengganti kapasitas produksi berdasarkan kebutuhan, dan mendukung manufaktur multivariasi dalam jumlah kecil, menurut video tersebut.
Rudal PL-15 dan PL-15E diproduksi oleh China Airborne Missile Academy (CAMA), yang berada di bawah konglomerat pertahanan negara AVIC (Aviation Industry Corporation of China). AVIC adalah perusahaan milik pemerintah yang membawahi banyak institusi riset dan pabrik persenjataan, termasuk pengembangan sistem rudal udara ke udara.
PL-15 adalah rudal versi original untuk kebutuhan Angkatan Udara dan Angkatan Laut Cina, rudal ini disebut punya jangkauan hingga 200 Km. Dan sebelum pecah perang udara pada 7 Mei 2025, ada kabar tak resmi yang menyebut Cina telah memasok Pakistan dengan PL-15 varian ori ini. Sebagai catatan, untuk varian ekspor (PL-15E), jangkuan tembaknya diturunkan hingga 145 Km.
Selain dari jangkauan, antara PL-15 dan PL-15E diklaim punya kinerja yang sama. PL-15E tetap menggunakan teknologi seeker Active Electronically Scanned Array (AESA), sehingga memiliki kemampuan pelacakan target yang canggih. PL-15E tetap mampu mencapai kecepatan Mach 4–5, tetapi fokus lebih kepada efisiensi operasional dalam skenario standar.
PL-15 ditenagai dual pulsed solid-propellant rocket yang memungkinkan jarak tembak efektif yang sangat jauh. Rudal ini dilengkapi data-link untuk pembaruan informasi target selama penerbangan, memberikan fleksibilitas dalam menyerang target bergerak. (Gilang Perdana)
Nggak usah ngarep dibolehin beli F-35.
1) Kita bukan sekutu Amrik.
2) Kita dianggap plin plan karena non blok.
3) Kita tidak menganggap serius tentang kerahasiaan teknologi.
4) Kita nggak sanggup biaya rawat F-35.
5) Kita tidak akan dikasih karena kita dipandang potensial sebagai musuh Singapore dan Australia. Lihat saja mereka dulu keberatan kita pakai Harpoon. Sekarang kita dibolehin pakai 36 unit F-15EX padahal Singapore punya F-15SG sebanyak 40 unit. Ada dokumen dari Singapore Defence College dengan skenario perang Indonesia Singapura untuk menciptakan Aerial dan Naval Supremacy Singapore atas Indonesia.
5) Jumlah kekuatan F-16 Singapore dan F-15SG cukup untuk beroperasi di wilayah seluas Indonesia sedangkan jumlah F-35 Australia cukup untuk memagari keliling Indonesia serta jumlah P8 Poseidon Australia cukup untuk mengawasi seluruh garis pantai Indonesia. Sehingga kekuatan udara 2 negara itu saja cukup untuk memblokade wilayah kita.
Oleh sebab itu saya bersikeras supaya kita punya paling tidak 5-9 skuadron J-10CE lengkap PL-15 dan kalo bisa untuk DDG Type 52 bukan hanya 4 unit tapi 6 – 14 unit setidaknya untuk buat gentar mereka. Sumatera, Maluku dan Papua terlalu sayang untuk dilepaskan. Skuadron-skuadron jet tempur dan destroyer-destroyer dari China untuk menjaga 3 wilayah tersebut dari gangguan FPDA.
Aneh ya, disini masih ada yg ngarep F-35. Padahal uda jelas, diawal TNI AU emang maunya F-35, eh sama Amrik ga dikasih karena khawatir F-35 nya digunakan untuk menyerang Singapore.
Makanya ditawarin yang levelnya dibawah punya Singapore, F-15EX.
@TN: 59 unit J-10 itu terlalu banyak. Akan lebih baik buat beli F-35. Itu akan lebih aman untuk menyelinap dan menyerang musuh daripada terlalu mengandalkan rudal AAW jarak jauh.
Agato,
Ngapain Su-35 sampai 24 biji?
Inget kan target 180 jet tempur yang didengungkan lebih dari 15 tahun lalu ?
Kita sudah punya 16 sukhoi dan 33 F-16.
Kita sudah beli 42 rafale. Kita juga akan beli 24 F15EX. Desas-desus yang beredar kita beli Su-35 6 unit pakai rupiah murni.
16+33+42+24+6 = 121
Masih kurang 180 – 121 = 59 unit lagi.
Beberapa minggu sebelum konflik India Pakistan ada muncul rumor AURI ngincer J-10C.
Gimana kalo beli J-10CE sebanyak 5 skuadron x 12 unit = 60 unit ?
121 + 60 = 181
Tuh cuma kelewat 1 dari target 180 unit.
Hihihi.
Jangan harap dikasih versi ekspor yang terbaik sama dengan Pakistan karena Indonesia bukans ekutu sejati Cina seperti halnya Pakistan
Saya melihat dengan kejadian yg terjadi di Kashmir maka Indonesia mungkin akan memenuhi alutsista pespur baik dari blok barat dan timur. Setelah mendapatkan Rafale, ada kemungkinan Indonesia akan membeli F-15EX dan kalo mungkin adalah F-35. F-35 jelas dibutuhkan bahkan oleh India sebagai media penetrasi sekaligus untuk melumpuhkan aset deteksi musuh seperti Ground radar, stasiun komunikasi dan komando serta AEW dan Tanker musuh. Walaupun hanya dibekali dg rudal AIM-120 C Amraam, F-35 akan tetap sangat menakutkan.
Disisi lain, kesepakatan Su-35 Indonesia dg Rusia akan dilanjutkan dg catatan Indonesia bisa mendapatkan R-37 varian ori dan Indonesia mungkin akan mengakuisisi lebih dari 24 unit. Jika Rusia menolak maka Indonesia bisa beralih kepada China dg J-10C dan J-15 dg catatan juga harus mendapatkan PL-15 ori, bukan varian ekspor.
Dan yg tidak kalah penting adalah akuisisi pesawat AEW. Indonesia bisa memilih AEW model rotodome dg menggunakan A-330 atau radar statis basis di C-295. Kebutuhan mungkin bisa 12-18 unit mengingat luasnya Indonesia.
Amerika mending mikir lagi kalo mau dorong taiwan ke medan perang. Musuhnya bisa bikin misil unlimited secara efisien.
Sekarang tergantung Paris, ngasih meteor apa nggak, kalou pelit kayak kasus Mesir, mending beli separo aja Rafale nya, sisa dana nya buat borong JF17 + PL15 ori😁
ya beginilah cara negara yang juga memproduksi barang “make amerika great again” dalam produksi, sudah menggunakan teknologi maksimal dan efisien