Kapal Induk Italia eks ITS Giuseppe Garibaldi Bawa Teknologi Propulsi COGAG, Ini Plus Minusnya!

Galangan Fincantieri dari Italia membawa teknologi baru dalam sistem propulsi kapal perang di Indonesia, setelah fregat PPA class – KRI Brawijaya 320 dan KRI Prabu Siliwangi 321 yang mengusung teknologi CODAG (Combined Diesel and Gas), maka bila rencana akuisisi kapal induk eks ITS Giuseppe Garibaldi berlanjut, maka TNI AL untuk pertama kalinya akan mengoperasikan kapal perang dengan teknologi COGAG (Combined Gas and Gas).
CODAG menggunakan mesin diesel untuk berlayar di kecepatan jelajah (cruising) yang terkenal hemat. Sementara saat kapal membutuhkan kecepatan tinggi, digunakan turbin gas yang sangat bertenaga, tetapi juga sangat boros bahan bakar dan biayanya mahal. Propulsi CODAG selain digunakan pada PPA class, juga digunakan pada kapal induk Angkatan Laut Thailand, HTMS Chakri Naruebet.
Nah, untuk ITS Giuseppe Garibaldi menggunakan sistem propulsi COGAG (Combined Gas and Gas), yakni untuk kecepatan jelajah, ia menggunakan dua turbin gas dengan daya yang lebih rendah, dan untuk kecepatan maksimal, COGAG mengaktifkan dua turbin gas lainnya, sehingga totalnya ada empat turbin gas.
Fregat PPA Class dengan Propulsi CODAG, Kini Kapal Kombatan TNI AL Sanggup Ngacir di Atas 30 Knots
HTMS Chakri Naruebet memiliki opsi mesin diesel yang hemat bahan bakar untuk berlayar normal, yang seharusnya menjadi keunggulan. Namun, biaya operasional turbin gas tetap terlalu besar.
Untuk ITS Giuseppe Garibaldi hanya mengandalkan turbin gas untuk semua kecepatan. Meskipun ini membuat operasionalnya lebih cepat, sistem ini secara keseluruhan jauh lebih boros bahan bakar daripada kombinasi diesel dan turbin.
Pelajaran dari Thailand – Kapal Induk Beli Baru dan Berusia Muda Tapi Tak Sesuai Harapan
Secara teori, potensi biaya operasional ITS Giuseppe Garibaldi akan lebih besar dan boros. Alasannya kapal ini tidak memiliki opsi mesin diesel yang hemat bahan bakar. ITS Giuseppe Garibaldi harus selalu menggunakan turbin gas, bahkan saat berlayar dengan kecepatan rendah.
Dengan menggunakan empat turbin gas dalam sistem COGAG. Ketika semua turbin diaktifkan, total tenaga dorongnya jauh lebih besar. Hal ini memungkinkan ITS Giuseppe Garibaldi mencapai kecepatan maksimal sekitar 30 knot (sekitar 56 km/jam).

Sebagai perbandingan, HTMS Chakri Naruebet hanya mengandalkan dua turbin gas untuk kecepatan tinggi, dan mengandalkan mesin diesel untuk kecepatan jelajah. Mesin diesel tidak dapat memberikan dorongan secepat turbin gas. Dengan konfigurasi ini, kecepatan maksimalnya hanya sekitar 26 knot (sekitar 48 km/jam).
Berdasarkan informasi teknis, mesin turbin yang digunakan pada kapal induk ITS Giuseppe Garibaldi adalah General Electric/Avio LM2500. Mesin ini merupakan salah satu turbin gas paling populer di dunia dan banyak digunakan pada kapal-kapal perang modern, baik kapal penjelajah, perusak, maupun fregat, karena tenaganya yang besar dan rekam jejaknya yang andal.

Pada Giuseppe Garibaldi, empat mesin LM2500 ini disusun dalam konfigurasi COGAG, yang menghasilkan total tenaga dorong lebih dari 80.000 tenaga kuda.
Mesin turbin gas GE LM2500 diproduksi di Italia melalui perjanjian lisensi. Perusahaan Italia yang memproduksi, merakit, dan melakukan pemeliharaan mesin ini adalah Avio Aero (d/h Fiat Avio), sebuah perusahaan yang dimiliki oleh GE Aerospace.
Kemitraan ini telah telah terjalin lama, dimulai sejak tahun 1970-an. Berkat kerja sama ini, Avio Aero tidak hanya memproduksi komponen, tetapi juga menyediakan layanan perakitan dan pemeliharaan untuk keluarga mesin LM2500 bagi Angkatan Laut Italia dan pelanggan GE lainnya di seluruh dunia. (Gilang Perdana)


Terancam mangkrak.. Lha sebelum kedatangan ppa aja TNI AL saat dengar pendapat dg DPR sdh kewalahan dg operasional kapal2 yg ada. Bisa beli blm tentu kuat menjalankan operasionalnya.
Ahhh itu cocok tinggal ilmuan Indonesia bisa berkontribusi mengembangkan bahan bakar kelapa sawit untuk kebutuhan kapal Induk bisa mengurangi anggaran. Berdayakan source yang ada jangan cuma makan gaji dari pajak saja
Klo saya baca kelemahan biofuel itu akan ada residu di ruang bakar, asal maintenance bagus ga masalah, yang berabe kalau maintenancenya nanti-nanti.
kalau menggunakan bahan bakar olahan minyak sawit yg setara dg gas bisa nggak…ya? kan ada turunan produk minyak sawit yg bisa digunakan di pesawat jet… sbg pengganti avtur….. kalau cair. kan bisa di proses lanjut menjadi gas… oleh BPPT atau brin……
@Hoo: Dan, yang paling penting lagi adalah dipastikan kita beli kapalnya kosongan isianya dijual terpisah 😅
Pemilihan Osprey, F-35B dan kapal induk jelas bukan ngehalu karena itu sudah sangat logis kalo mau bicara tentang Poros Maritim Dunia atau Global Naval Superpower gaungnya TNI AL.
Yang halu itu yg udah udah bikin artikel ngitung alutsista berjilid-jilid tapi hasilnya nihil. Noh tanya Om Haryo masih ada bukti jejak digitalnya di web Indomiliter. Hhhhhhhhh
Sepertinya nanti akan ada perubahan mesin, mengingat kontrak 450jt usd itu juga termasuk restorasi serta upgrade sesuai dengan kebutuhan TNI-AL dan sepertinya mesin akan dirombak juga entah menjadi CODAD / CODAG
buakakaka pada menolak fakta broook, gas alam masih mintol negara lain buat olahin dibilang mampu ngejalanin kapal masbrok f-35nya mas brok + b-61 mod 12 masbrok
Widya,
Emang ini buat muter-muter lautan Indonesia?
Kayaknya sih nggak lho.
Lebih efisien kalo ditaruh di ZEE Laut Natuna Utara, lego jangkar di situ trus dipakai untuk lomba mancing ikan tuna di situ. Ikan yang didapat langsung dimasukkan ke Reefer Container yang di taruh di geladak terbang. Lalu Reefer Container yang sudah diisi penuh dengan ikan diangkat pakai Osprey untuk ke darat untuk diproses lebih lanjut. Jadi inilah gunanya kapal ini bersama Osprey. Jadi manfaat ekonominya jelas nyata. China Coast Guard nggak bakal berani nubruk kapal ini. Begitu pula para milisi China yang menyamar sebagai nelayan. Ya lumayan bermanfaat lah Osprey impian si Halu. Bisa untuk naik turunin container berpendingin (Reefer Container).
COGAG ?
Itu BBM sudah bisa dibayar on time belum?
Jangan ngutang melulu.
Gas turbine bukan pakai lpg 5kg an mas, ini pake jenis Bahan bakar sejenis yg di pakai pesawat, yang pasti nggk economical
Indonesia tahun 2025 punya anggaran militer 245 Triliun Rupiah atau sekitar USD 15 miliar, itu hampir 3x anggaran militer Thailand sekarang yg cuman 93 Triliun atau lebih dari USD 5,3 miliar. Jelas anggaran militer Indonesia lebih banyak daripada Thailand apalagi tahun depan anggaran pertahanan Indonesia akan naik jadi 334 Triliun atau sekitar USD 20 Miliar.
Anggaran seperti itu jika bisa bertahan selama 20 tahun bisa digunakan untuk membeli Kapal Induk macam Royal Navy Elizabeth Class beserta 48-60 F-35B dan semua peralatannya. USD 200 Miliar, dicicil selama 10 tahun berarti tiap tahun Indonesia cukup membayar setengah dari anggaran yg orientasinya digunakan untuk pengadaan alutsista beserta perlengkapannya. Sisa setengahnya lagi untuk pemeliharaan, gaji dan infrastruktur dasar.
Apalagi Indonesia punya cadangan gas yg luar biasa melimpah sedangkan kebutuhan dalam negeri masih tercukupi. Tentunya hanya untuk pengadaan Kapal Induk Garibaldi dg mesin COGAG bisa dilakukan dengan mudah bagi Indonesia. Akan lebih baik jika KCR Indonesia juga menggunakan mesin gas atau yg hibrid seperti CODAG untuk meningkatkan kecepatan menjadi 30 knot atau lebih. Masak KCR kecepatannya cuman 27-28 knot?
Jadi masalah anggaran dan kebutuhan bahan bakar gas untuk kapal induk bukanlah menjadi tantangan bagi Indonesia ya. Apalagi kalo cuman mau borong F-35B senilai USD 23,5 Milyar bisa kok dicicil selama 20 tahun kalo anggaran Militer Indonesia stabil di angka USD 20 Miliar/Tahun atau lebih jika harus ditingkatkan hingga 2% GDP.
Tuh kan, biaya operasional belum perawatan dan tambahan lainnya bisa bengkak keuangan negara. Tolong dipikirkan lagi jangan hanya bisa beli tapi akhirnya kerepotan ngurusnya nanti 😩
Indonesia mampu karena salah satu produsen gas alam dunia, jadi untuk mengisi bahan bakar Brawijaya Class dan Garibaldi jelas mampu.