Jerman Tolak Penjualan Eurofighter Typhoon ke Turki, Serikat Pekerja Layangkan Ancaman Ini
|Kanselir Jerman Olaf Scholz bisa saja menolak rencana penjualan jet tempur Eurofighter Typhoon ke Turki, maklum Jerman adalah bagian dari empat negara konsorsium yang ikut merancang dan memproduksi komponen Typhoon. Namun niatan Scholz rupanya harus mendapat ‘perlawanan’ dari kelompok pekerja penerbangan di Jerman.
Baca juga: Proyek Jet Tempur Eurofighter Typhoon Amankan 26.000 Pekerjaan di Spanyol Hingga 2060
Lebih dari 25.000 tenaga kerja dari 120 perusahaan di Jerman terkait dengan rantai produksi Eurofighter Typhoon. Dan komunitas pekerja tersebut menyatakan seruan ‘Let’s sell to Turkey’ untuk Eurofighter Typhoon, lantaran bila pesanan Turki diabaikan, plus sebelumnya penjualan ke Arab Saudi juga dibatalkan, maka nasib ribuan pekerja akan menganggur dalam beberapa tahun mendatang.
Dikutip thenationalnews.com (26/11/2023), Serikat Pekerja Penerbangan di Jerman mendukung upaya Turki untuk membeli 40 Eurofighter Typhoon karena kekhawatiran tenaga kerja spesialisnya akan hilang jika kontrak untuk jet tersebut tidak dibuat dan ditandatangani.
Menteri Pertahanan Turki Yasar Guler mengatakan dia telah melakukan pembicaraan dengan Inggris dan Spanyol untuk membeli Typhoon, namun Jerman keberatan Pada hari Kamis, Guler mengadakan diskusi dengan mitranya, Menteri Pertahanan Inggris Grant Shapps di Ankara, di tengah harapan Inggris dapat membantu membujuk Jerman untuk mempertimbangkan kembali permintaannya.
Pemerintah Jerman menghadapi tekanan yang semakin besar dari serikat pekerjanya untuk mengadakan perjanjian. Hal ini terjadi lantaran Jerman telah bertindak sebagai penghambat kesepakatan untuk menjual sejumlah jet Typhoon ke Arab Saudi.
MTU Aero Engines mengatakan bahwa penerbitan kontrak untuk membangun Eurofighter sangat penting bagi masa depan manufaktur pertahanan di Jerman. “Kami mendukung penguatan penerbangan militer di Jerman. Arahnya sekarang harus ditetapkan agar lokasi kami cocok untuk masa depan,” kata seorang juru bicara.
Hal ini memerlukan kehandalan dalam perencanaan, khususnya di bidang militer, terutama berkaitan dengan masa depan Eurofighter. Dalam hal ini perlu diluncurkan kontrak pengembangan untuk pengembangan lebih lanjut Eurofighter sebelum berakhirnya periode legislatif ini.
Berakhirnya program Eurofighter akan menyebabkan pengurangan nyata dalam lanskap pemasok teknologi tinggi Eropa hanya dalam beberapa tahun. Para pekerja dan kapasitas produksi yang sangat terspesialisasi ini harus dipertahankan dengan tujuan untuk membangun sistem pertahanan udara Eropa di masa depan lewat jet tempur generasi keenam FCAS (Future Combat Air System).
“Kami membutuhkan para insinyur yang bekerja pada pengembangan lebih lanjut Eurofighter. Jika tidak, mereka akan bermigrasi ke industri lain. Kami menciptakan landasan untuk peran yang kuat bagi industri penerbangan dan pemasok Jerman dalam proyek-proyek teknologi Eropa di masa depan.
“Eropa harus memperkuat kedaulatannya dalam masalah pertahanan. Itulah sebabnya kita tidak boleh hanya mengandalkan Amerika untuk melakukan pengadaan, seperti yang telah kita lakukan baru-baru ini.”
Michael Reisch, sekretaris politik dan manajer operasi di Airbus, yang memproduksi Eurofighter, mengatakan Jerman perlu mengeluarkan kontrak untuk memastikan “kemandirian militernya”.
Keragu-raguan Jerman untuk menyetujui penjualan jet tempur Typhoon ke Turki dikabarkan terkait dengan kritik keras Turki terhadap tindakan militer Israel di Jalur Gaza. Kanselir Jerman Olaf Scholz menanggapinya dengan menghalangi keinginan Turki untuk membeli 40 jet tempur Eurofighter Typhoon.
Seperti diketahui, akibat serangan intens dan brutal Israel di Gaza, yang mengakibatkan hilangnya lebih dari 14.000 nyawa, terutama di kalangan anak-anak dan perempuan, Turki mengutuk Tel Aviv dan menjulukinya sebagai “negara teroris.” Turki juga menahan diri untuk tidak menyebut Hamas sebagai organisasi teroris, hal ini bertentangan dengan sikap negara-negara Eropa lainnya dan anggota NATO. (Gilang Perdana)
Harusnya BerTerimakasih sdh dikasi ilmu pengetahuan dr negara2 luar sumber ilmu.
Bukannya Ngenyek-ngenyein, orang yg tdk tau.
Lu pikir gampang jd teknokrat pesawat tempur canggih. Bukti nya aja msh banyak negara pembuat yg sdh bisa msh hrs belajar ilmunya dr negara2 sumber ilmu. Belum lg ongkos produksi 1 pesawat, butuh 100 juta thn lg baru bisa.
Belajarlah bahwa selama kita masih membeli peralatan militer dari negara asing, kita masih rentan utk diembargo apabila kebijakan kita tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Manfaatkan junlah SDM indonesia yang besar utk beralih menjadi teknokrat, ingat Investasi militer tidak bisa secara instan
Beralih ke Rafale tapi antriannya bakal panjang banget. Susah juga nyari negara produsen jet tempur utama. Harapannya tinggal Perancis dengan Rafale, Russia dengan Sukhoinya dan China. Sisanya susah dan beribet.
Lucu.. Pelaku holocaiist malah jadi antek korbannya..
terus embargo , maka semangat mandiri dari negara lain akan semakin kuat yg pada akhirnya akan menghasilkan kompetitor dimasa depan,… kasus us lawan cina sebagai contoh nyata,..
Ya biar jadi bumerang aja.. Sudah muak sama alat militer eropa dn amerika cm dijadikan alat utk alasan politik, saatny negara- negara lain mandiri dalam menciptakan peralatan militernya masing2..
Semenjak ganti Kanselir. Jerman jadi ketat dalam ekspor alutsista. Asal jgn jadi boomerang aja buat industri Jerman kedepannya. Haha.