Jelang Putusan Pengadaan Drone MALE untuk Kemhan, Pilih Besutan Cina atau Turki?

Belum lama berselang, Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kementerian Pertahanan RI Laksamana Muda TNI Agus Setiadji menyebut bahwa perusahaan asal Turki dan Cina telah memasuki tahap akhir tender pengadaan pesawat tanpa awak atau drone. Menurut perwira tinggi bintang dua tersebut, Pemerintah Indonesia akan memberi keputusan pada Februari nanti mengenai siapa pemenang tender pengadaan drone dengan kualifikasi MALE (Medium Altitude Long Endurance).

Baca juga: Indonesia Akuisisi Drone Tempur Wing Loong I Untuk Skadron Udara 51

Dikutip dari situs aa.com.tr (16/1/2019), penawaran dari Turki dan Cina akan memasuki tahap reverse auction. “Nanti akan diperbandingkan aspek TOT (Transfer of Technology)-nya, spesifikasi, garansi, suku cadang dan lain-lain,” ujar Agus Setiadji. Adapun spesifikasi umum drone MALE yang diinginkan Kemhan adalah memiliki bentang sayap 18 meter dan mampu terbang hingga jarak 200 km.

Untuk kebutuhan pengadaan di atas, Kemhan telah menyiapkan anggaran US$110 juta atau sekitar Rp1 triliun jika dikonversikan dengan kurs dolar AS saat ini. Agus Setiadji mengatakan, Indonesia akan membeli enam drone MALE dengan dua hanggar di wilayah Natuna, Kepulauan Riau dan Papua.

Anka-S

Cina
Atas kabar baik di atas, tentu menjadi pertanyaan, bagaimana peluang Turki dan Cina dalam proses pengadaan ini. Cina dalam publikasi media lebih dahulu populer, lantaran Kabaranahan sebelumnya, Laksda TNI Leonardi pada Juli 2017, pernah menyebut pihaknya akan membeli drone dalam jumlah besar dan yang dibeli adalah drone jenis MALE serta punya kemampuan melakukan penyerangan.

Asal pengadaan drone tempur tersebut sudah terang benderang, bukan dari Negeri kiblat teknologi drone (Israel), melainkan Kemhan akan membeli drone tempur dari Cina. “Yang mengizinkan kita untuk beli itu Cina. Yang lain enggak mau jual (UCAV/Unmanned Combat Aerial Vehicle – red). Sejauh ini sudah penjajakan G to G (pembicaraan antara pemerintah dengan pemerintah). Spesifikasi-nya dari TNI AU,” ujar Leonardi dikutip dari situs situs Merdeka.com (26/7/2017).

Wing Loong I

Pengadaannya akan dilakukan secara bertahap, yakni tiga unit, tiga baterai, jadi enam unit drone yang akan dibeli untuk tahap pertama. Pengadaan drone tempur bertujuan untuk memudahkan TNI melakukan pemantauan khususnya di wilayah perbatasan, dan melakukan penindakan secara lebih efesien. Salah satu zona perkuatan yang akan menjadi home base drone jenis ini ada di Pulau Natuna.

Meski lebih dulu dikenal, belum diketahui jelas, manufaktur drone mana dari Cina yang akan bermitra dengan Indonesia. Pasalnya ada Chengdu Aircraft Industry Group yang sukses menelurkan drone tempur Wing Loong series di pasar internasional, dan Guizhou Aviation Industry Group yang memproduksi WZ-2000, drone tempur dengan mesin jet WS-11 turbofan.

Bagi sebagian kalangan, langkah Kemhan mendatangkan UCAV dari Cina menjadi kontradiktif, pasalnya potensi konflik di Natuna dan Laut Cina Selatan justru paling besar datang dari Cina. Belum lagi ada anggapan selama ini, pihak Cina yang terkesan ‘pelit’ dalam hal ToT.

Turki
Namanya terdengar belakangan dalam pilihan drone MALE, opsi drone MALE dari Turki mencuat saat PT Dirgantara Indonesia mengumumkan akan membangun prototipe drone MALE bersama Turkish Aerospace Industries dari basis Anka-B pada Januari 2018. Kesepakatan kerjasama pengembangan drone MALE antara PT DI dan Turksih Aerospace telah dituangkan dalam MoU pada perhelatan International Defence Industry Fair (IDEF) 2017 yang diselenggarakan pada 9-12 Mei 2017 di Istanbul, Turki.

Anka-S di Indo Defence 2018

Kemitraan Turksih Aerospace ternyata bukan hanya dengan PT DI, tanpa diketahui secara luas, selama ini telah terjalin kerjasama yang erat antara BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan Turkish Aerospace. Dan jauh-jauh hari sebelum penggunaan drone menjadi trend seperti saat ini, sejak tahun 2008, kedua institusi telah menjalankan program pengembangan drone dalam uji di terowongan angin (wind tunnel).

Kerjasasama antara BBTA3 (Balai Besar Teknologi Aerodinamika, Aeroelastika dan Aeroakustika) BPPT dan Turkish Aerospace dimulai sejak 2008 ketika kampanye pertama pengujian terowongan angin dilakukan di ILST (Indonesian Low Speed Tunnel) untuk drone Anka generasi pertana, sebuah pesawat udara nirawak kelas MALE milik Turkish Aerospace.

Saat ini Turkish Aerospace meneruskan kolaborasinya dengan BBTA3 untuk yang kelima kali dalam pengujian terowongan angin Sistem UAV baru untuk High Payload Capacity. Kampanye pengujian kelima ini ditujukan untuk memperoleh karakteristik aerodinamika model pesawat baru mereka, YFYK, yang terskala dalam konfigurasi penuh. Kampanye pengujian ini dimulai September 2018 dan direncanakan untuk memperoleh 233 polar data aerodinamika termasuk untuk berbagai defleksi bidang kendali dan berbagai konfigurasi payloads hingga akhir Oktober 2018.

Baca juga: Dibalik Kesuksesan Drone Anka, Ternyata Ada Andil Besar dari BPPT

Belakangan debut Turksih Aerospace terasa semakin percaya diri,  seperti pada Indo Defence 2018, manufaktur pesawat asal Negeri Ottoman ini menampilkan full mockup drone tempur Anka-S. Sebaliknya Cina terlihat sepi dalam memamerkan produk drone-nya di pameran militer dua tahunan tersebut.

Dari uraian diatas, maka bisa menjadi gambaran calon drone MALE untuk TNI mendatang. Tentang kemampuan dan spesifikasi, drone tempur antara Cina dan Turki bisa dibilang setanding, tinggal keputusannya nanti berpulang pada faktor harga, ToT, garansi, dan suku cadang. (Haryo Adjie)

11 Comments