Inilah Dilema Pengadaan Jet Tempur: Acquisition Cost Vs Life Cycle Cost
Proses pembelian jet tempur memang kerap menimbulkan efek tarik ulur yang panjang, terlebih jika yang jadi pembeli adalah negara dengan budget pertahanan serba ngepas dengan seabreg permintaan. Sekalipun punya budget cukup, mengingat banyak faktor yang saling terkait, pengadaan jet tempur kerap memakan waktu lama. Indonesia membutuhkan waktu hampir dua tahunan untuk akhirnya memutuskan memilih Sukhoi Su-35 Super Flanker sebagai pengganti jet tempur F-5 E/F Tiger II. Pun sudah diputuskan, menuju proses deal hingga penandatanganan kontrak pembelian juga butuh waktu.
Baca juga: Menerawang Plus Minus Sukhoi Su-35 Super Flanker Untuk TNI AU
Potret pengadaan Sukhoi Su-35 Super Flanker Indonesia masih belum seberapa, sebagai perbandingan Saab butuh waktu hingga 15 tahun sampai akhirnya berhasil menjual JAS-39 E/F Gripen ke Brazil. Nah dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi dalam proses pembelian jet tempur, faktor acquisition cost dan life cycle cost menjadi yang paling dominan, tentunya masih ada faktor lain seperti politik dan pertimbangan daya deteren dari si pesawat tersebut. Acquisition cost adalah biaya akuisisi untuk pembelian awal dari unit pesawat yang dimaksud. Sementara life cycle cost merupakan biaya yang digunakan selama siklus operasi pesawat.
Baca juga: Thrust Vectoring – Teknologi Dibalik Kelincahan Manuver Sukhoi Su-35 Super Flanker
Perbandingan antara acquisition cost dan life cycle cost yang ditawarkan pabrikan jelas beda-beda, tentu bergantung pada kandungan teknologi, komposisi material, dan elemen komponen yang digunakan. Kebanyakan kasus yang tejadi di dunia, negara dengan kocek ngepas lebih mengedepankan acquisition cost yang rendah, dan tidak terlalu fokus pada life cycle cost. Alhasil banyak operator jet tempur yang memang bisa mendatangkan jet tempur baru, tapi tak sanggup untuk menerbangkan jet tempur secara maksimal. Hal ini terjadi lantaran biaya operasional pesawat yang besar, sehingga menjadi beban dalam biaya operasional.
Terkait life cycle cost diantaranya ada A/C investment, initial provision package, maintenance dan petrol, oil & lubricants. Jika disarikan lagi, kemudian muncul istilah operational cost per hour (biaya operasi per jam). Elemen operational cost per hour inilah yang jadi pertimbangan penting dalam pengadaan je tempur. Secara teori, jet tempur dengan mesin tunggal lebih irit dan ekonomis ketimbang jet tempur mesin ganda.
Baca juga: Radar AESA – Absen di Sukhoi Su-35, Hadir di Eurofighter Typhoon dan F-16 Viper
Berikut ilustrasi harga jual jet tempur yang dirilis defense-aerospace.com dan operational cost per hour dari ketiga jet tempur yang berusaha mendapat tempat di langit Indonesia.
1. Sukhoi Su-35 Super Flanker
Estimasi harga per unit: US$45 – US$80 juta
Operational cost per hour: US$36.000 – US$40.000
2. Eurofighter Typhoon
Estimasi harga per unit: US$118,6 juta
Operational cost per hour: US$14.000
3. Saab Gripen
Estimasi harga per unit: US$68,9 juta
Operational cost per hour: US$3.000 – US$4.000
Dari paparan diatas, menarik dicermati Sukhoi Su-35 punya acquisition cost lebih rendah, namun sangat tinggi dalam biaya operasional per jam. Disamping itu, usia mesin Sukhoi juga kabarnya relatif lebih pendek. Namun, dilihat dari aspek daya deteren, Sukhoi Su-35 adalah yang paling superior, melengkapi keberadaan Sukhoi Su-27/Su-30MK2 yang sudah dimiliki TNI AU. Agak lamanya perjanjian kontrak pembelian pesawat ini diperkirakan terkait skema ToT (transfer of technology) yang belum disepakati kedua belah pihah, terlebih bila Indonesia membeli dengan sistem ngeteng.
Baca juga: PIRATE – Penjejak Target Berbasis Elektro Optik di Eurofighter Typhoon dan JAS 39 Gripen
Untuk Eurofighter Typhoon sebenarnya punya peluang besar, mengingat jet tempur ini mendapat dukungan dari PT Dirgantara Indonesia, lebih lagi skema ToT yang ditawarkan sangat jelas dan menguntungkan bagi Indonesia. Biaya operasi per jamnya juga tak setinggi Su-35, namun sayang harga jual per unit Typhoon terbilang sangat tinggi.
Sementara untuk Saab Gripen, jet tempur ini ditawarkan dengan harga yang affordable plus biaya operasional per jam juga ramah bagi negara dengan kocek ngepas seperti Indonesia. Skema ToT pun juga telah dipaparkan untuk industri dalam negeri. Tapi sayang jarak jangkau jet tempur bermesin tunggal ini kalah jauh dibanding Su-35 dan Typhoon. Dari sisi harga, Gripen sejatinya masih mampu mengambil hati pemerintah Indonesia, maka itu Saab terlihat masih bersemangat menjajakan Gripen di Indonesia, setelah sukses menjual jet ini di Thailand. (Haryo Adjie Nogo Seno)
kurasa pembelian SU 35 kurang tepat ….itu mungkin kurang cocok blm lagi jika untuk program poros maritim dimana TNI AU terlibat didalam nya ..make jet boros buat ngawasi laut ?
saya lebih usually untuk membeli pesawat gripen baik versi c/d atau yg updatenya NG. karena lebih irit bahan bakar, biar saja mesin satu, namun TOT nya lebih menjanjikan, serta belinya langsung ke perusahaannya. mudahan pesawat gripenlah yg dibeli oleh TNI AU. aminnn
Mungkin saat ini Pak Menhan lagi pusing tujuh keliling. Russian Fans Boy udah kasih “tekanan” untuk proses pengadaan Su-35, tapi disisi lain, skema ToT dengan Rusia masih belum jelas. Padahal ToT adalah amanah Undang2.
Di luar itu, kubu Lockeed Martin kabarnya juga gencar melobi Istana utk menggolkan F-16 Viper, meski untuk soal ToT yang ini juga belum jelas.
Kalau saran saya buat Pak Menhan, pilih yang jelas dan transparan saja, selain bangsa ini dapat manfaat ilmu dr ToT, juga harga yang kita beli memang harga sebenarnya dengan nilai yang pantas, tidak memicu polemik di kemudian hari. Sekian dan terima kasih.
Su35 atau yang lain tidak masalah. Yang penting konsisten teknologinya. Jangan terlalu banyak variasi pesawat…
Kabar Terakhir :
Akhirnya Pembelian Su-35 terganjal ToT 35%
Rusia baru mau kalau ada pembelian 32 unit
Dulu Brazil juga diiming imingi ToT Su-35 kalau beli 32 unit
namun Akhirnya batal, dan Gripen Pemenangnya
Ternyata belum ada deal sama sekali antar Indonesia dg Rusia
Selama ini hanya Koar Koar saja
Kemungkinan Su-35 Gugur masih sangat besar
Beli 6 aja susah apalagi disuruh beli 32 unit ???
Pukulan telak buat Sukhoi Fans Boy…hahahaha
Klo saya sih lebih prefer ke Sukhoi, mengenai operational cost yang mahal, saya yakin negara kita mampu, yang bikin mahal itu karena di mark-up, belinya via broker bukan G-to-G itu yang jadi penyakit yang gak ilang-ilang sampe skarang…
mengingat luasnya wilayah Indonesia dan skadron tempur yang terbatas,belum lagi peswat Tanker cuma tinggal 1 biji, maka pilihan mengakuisisi SU-35 adalah pilihan cerdas. Coba di lihat Indonesia timur cuma ada 1 skadron Flanker stanbay di makasar,kalo ada Hornet masuk wilayah udara merauke terus take off pesawat dari makasar emang cukup tuh bensin’nya….
Belum lagi dalam waktu dekat kita di kepung F-35 dari depan belakang…
Seandainya benar Su-35 itu cuma pesawat Rongsokan gak sehebat anggapan kita pastinya Rusia sudah jadi negara Bagian dari Uncle Sam…..
Hebat tidaknya pesawat adalah yang sudah battle proven dan sudah banyak dipakai orang lain
Sama dengan kita, kalau mau beli sesuatu pasti akan tanya dulu yang sudah pakai.
Su-35 belum pernah terjual ke negara lain
sejak tahun 2007 sampai sekarang tidak ada yang mau beli
Su-27/Su-30 masih terus diproduksi, padahal sudah ada Su-35
Justru karena Indonesia negara besar, seharusnya tiap perbatasan harus dijaga pesawat tempur yang hemat BBM, agar bisa terus berpatroli
Lebih luas Brazil daripada Luas Indonesia, Brazil memilih Gripen-NG, menyingkirkan Su-35
padahal Su-35 yang ditawarkan ke Brazil sudah full ToT
F-35 bukan lawan Su-35, tapi lawannya PAK-FA dan J-20
Indonesia sebentarlagi akan beli pesawat tanker baru, menggantikan KC-130B yang sudah berumur 50 tahun