Ingin Beli Jet Tempur Bekas Pakai? Kuncinya Jangan Lupa Melobi Negara Produsen

Pernyataan Wakil Menteri Pertahanan Malaysia Datuk Seri Ikmal Hisham Abdul Aziz yang dikutip malaymail.com (22/12/2021), menyebutkan tengah mengajukan pengadaan “lock, stock and barrel” dari 33 unit F/A-18C/D milik Angkatan Udara Kuwait, rupanya menuai polemik. Tak lama setelah kabar ramai di jagad media, justru muncul sanggahan dari pihak Kuwait.

Baca juga: Genjot Postur Kekuatan Udara, Malaysia Ingin Borong Armada F/A-18C/D Hornet Milik Kuwait

Dikutip dari berwaz.com.kw, Staf Umum Angkatan Bersenjata Kuwait menerbitkan sebuah pernyataan di situs media sosial resminya yang menyangkal penjualan pesawat F/A-18 yang dimilikinya ke Malaysia. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa berita yang beredar baru-baru ini melalui media dan situs jejaring sosial mengenai negosiasi Angkatan Udara Kerajaan Malaysia dengan Kementerian Pertahanan Kuwait sama sekali tidak benar.

Ia mencatat bahwa setiap prosedur negosiasi untuk penjualan setiap peralatan yang dimiliki oleh Kementerian Pertahanan akan diumumkan secara langsung, dan dilakukan melalui Komite Pembuangan Aset di Luar Ruang Lingkup Penggunaan Kementerian Pertahanan. Hal ini dilakukan dalam koordinasi dengan Kementerian Keuangan, setelah persetujuan dari negara yang memproduksi peralatan dan persyaratan kontrak, dan sesuai dengan kerangka kerja, undang-undang, dan sistem kontrol.

F-5F Tiger II AU Yordania

Wamen Pertahanan Malaysia Datuk Seri Ikmal Hisham Abdul Aziz tak keliru, pasalnya pengadaan itu baru dalam tahap rencana. ”Inisiatif ini masih menunggu pembahasan antara kedua negara atau di tingkat Government to Government. Jika inisiatif ini berhasil, pasti akan meningkatkan tingkat kesiapsiagaan dan kapabilitas angatan udara dalam menjaga ruang negara,” katanya dalam sesi tanya jawab di Dewan Negara pada Rabu lalu.

Lepas dari sangkalan dari pihak Kuwait, disini perlu dicatat, bahwa setiap pengalihan persenjataan dari satu negara ke negara lain, baik itu berupa hibah atau penjualan, mutlak adanya ‘lampu hijau’ dari negara produsen. Dalam hal ini, bila toh terjadi komunikasi antara Pemerintah Malaysia dan Kuwait, maka diskusi untuk meminta restu dari Washington harus dilakukan sedari awal. Tanpa izin dari AS, dipastikan niatan penjualan jet tempur itu tak akan terwujud.

Indonesia pernah merasakan beratnya niat akuisisi jet tempur bekas tapi terhalang restu dari negara produsen. Pada tahun 1993 ada tawaran untuk membeli empat unit F-5E eks surplus AU Yordania, dengan harga US$25 Juta untuk seluruh pesawat. Yordania sendiri menggunakan 61 unit F-5E dan 14 unit F-5F. Namun, karena buatan Amerika Serikat, penjualan F-5 dari negara pengguna ke negara lain, harus membutuhkan persetujuan dari negara produsen.

Apesnya, ketika izin diajukan ke Departemen Luar Negeri AS dan Kongres pada 1993, justru jawaban tidak yang diterima oleh Pemerintah Indonesia. Juru bicara Deplu AS saat itu, Sondra McCary mengatakan, “Setelah pertimbangan masak, termasuk meminta pertimbangan Kongres, Deplu AS memutuskan tidak memenuhi permintaan Yordania untuk menjual F-5 ke Indonesia.” Pangkal musababnya karena dugaan pelanggaran HAM berat atas Insiden Santa Cruz yang terjadi 12 November 1991 di Dili, Timor-Timur.

Padahal armada F-5 Tiger dari Yordania diperlukan TNI AU guna memulihkan postur kekuatan F-5 pada posisi satu skadron penuh, dimana sebelumnya telah terjadi serangkaian insiden kecelakaan yang menimpa jet tempur produksi Northrop tersebut.

Atau bila berkaca dalam konteks kekinian, saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengutarakan niatnya untuk membeli 15 unit Eurofighter Typhoon milik AU Austria, maka sudah dipastikan Indonesia juga harus melobi negara-negara anggota konsorsium perancang Eurofighter Typhoon, yakni Inggris, Jerman, Spanyol dan Italia.

Baca juga: Tawaran F-5 Tiger dari Yordania, Korea Selatan dan Taiwan, Bukti Program Pengadaan Jet Tempur Bekas Tak Selalu Mulus

Lepas dari unsur politik, pada dasarnya alih alutsista ke negara lain juga menguntungkan manufaktur di negara asal persenjataan. Sudah bukan rahasia, bahwa sebelum paket persenjataan dikirimkan ke negara penerima, maka dilakukan rekondisi atau upgrade baik mesin sampai sistem elektroniknya, dan disitu umumnya terdapat porsi bisnis yang menguntungkan bagi negara produsen asal alutsista. (Haryo Adjie)

11 Comments