Frosch Class: Tulang Punggung Armada Landing Ship Tank TNI AL
|
Dalam gelar operasi pasukan, TNI AU mengandalkan sosok pesawat angkut berat C-130 Hercules. Sebaliknya di lingkungan TNI AL juga punya wahana penghantar pasukan dalam skala besar, khususnya dalam operasi amfibi, yang dimaksud adalah jenis kapal LST (landing ship tank) dan LPD (landing platform dock). Dan, karena tugas-tugasnya yang terkait operasi pendaratan amfibi, baik LST dan LPD di lingkungan TNI AL dinaungi oleh Satuan Kapal Amfibi (Satfib), yang terdiri dari Satfib Koarmabar dan Satfib Koarmatim.
Baca juga: KRI Teluk Lampung 540, Pulih Setelah Dihantam Gelombang Setinggi 10 Meter
Dari sisi daya muat perlengkapan yang dibawa, termasuk kapasitas mengangkut pasukan marinir, LPD memang jauh lebih unggul dibanding LST TNI AL yang ada saat ini. Tapi dari segi kuantitas, unit LPD TNI AL masih terbatas, hingga kini ada 5 kapal, yaitu KRI Dr. Soeharso, KRI Makassar, KRI Surabaya, KRI Banjarmasin, dan KRI Banda Aceh. Sementara untuk menunjang misi operasi amfibi dalam skala besar dan beragam tugas operasi militer bukan perang, LST masih menjadi yang paling dominan. Dan, memang dari segi jumlah, LST TNI AL jumlahnya cukup besar, yaitu 26 unit yang terdiri dari berbagai kelas, termasuk Kelas Teluk Semangka (KRI Teluk Semangka). Dipadang dari segi kuantitas, rasanya TNI AL merupakan operator LST terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Bicara lebih spesifik tentang LST di Satfib TNI AL, tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadan Frosch Class (LST kelas Frosch) buatan Jerman Timur. Alasannya jelas, jumlah Frosch class mencapai 14 unit, artinya kapal ini adalah tipe LST yang paling banyak dioperasikan TNI AL. Agar tak asing, satu per satu kami sebutkan Frosch class TNI AL yaitu:
- 531 Teluk Gilimanuk 1976/94 PAC ex-611
- 532 Teluk Celukan Bawang 1976/94 PAC ex-632
- 533 Teluk Cendrawasih 1 977/94 PAC ex-613
- 534 Teluk Berau 1977/95 PAC ex-634
- 535 Teluk Peleng 1978/93 PAC ex-632
- 536 Teluk Sibolga 1977/93 PAC ex-612
- 537 Teluk Manado 1977/95 PAC ex-633
- 538 Teluk Hading 1978/94 PAC ex-614
- 539 Teluk Parigi 1978/95 PAC ex-635
- 540 Teluk Lampung 1979/94 PAC ex-636
- 541 Teluk Jakarta 1979/94 PAC ex-615
- 542 Teluk Sangkulirang 1979/94 PAC ex-616
- 543 Teluk Cirebon 1979/95 PAC ex-E35
- 544 Teluk Sabang 1980/95 PAC ex-E36
Bila dirunut dari spesifikasinya, Frosch class dengan bobot penuh (full) 1.900 ton adalah LST tipe medium (menengah). LST ini punya dimensi 90,70 x 11,12 x 3,4 meter. Ditenagai dua mesin diesel dengan dua shafts yang menghasilkan tenaga 12.000 bhp. Jangkauan berlayarnya bisa mencapai 2.450 km. Meski ukurannya medium, Frosch class dapat membawa 11 tank amfibi atau muatan kargo seberat 400 – 600 ton. Untuk membawa pasukan pendarat, kapal dengan jumlah awak 42 orang ini diperkirakan bisa dimuati maksimum 1 kompi marinir.



LST Frosch class dibangun oleh galangan VEB Peenewerft, Wolgast, Jerman Timur pada periode tahun 1976 hingga 1980. Satu nasib dengan korvet Parchim dan penyapu ranjau kelas Kondor yang juga diborong TNI AL, LST Frosch class pasca reunifikasi Jerman juga dipensiunkan dari arsenal armada AL Jerman. Keseluruhan jenis kapal ini memang diborong ke Indonesia lewat lobi B.J Habibie yang menjabat selaku Menteri Negara Riset dan Teknologi di awal tahun 90-an.
Meski dari kapasitas angkut masih kalah dengan kelas Teluk Semangka yang buatan Korea Selatan. Tapi Frosch class dikenal sebagai salah satu LST di dunia yang punya kecepatan tinggi, yaitu 18 knot dan maksmium 19 knot. Frosch class pada dasarnya terdiri dari dua tipe, yaitu Frosch-I dan Frosch-II. Yang membedakan diantara kedua tipe adalah, pada Frosch-II terdapat crane 2Hy SWK8 pada sisi haluan, crane ini dapat mengangkat barang hingga 8 ton. Sebaliknya pada Frosch-I tidak terdapat crane. Yang termasuk Frosch-II adalah KRI Teluk Cirebon 543 dan KRI Teluk Sabang 544. Dari segi bobot kosong, keduanya sedikit berbeda, Frosch-I bobot normalnya 1.744 ton, sementara Frosch-II bobot normalnya 1.530 ton.
Lalu bagaimana dengan persenjataan di Frosch class? Senjata yang melekat pada kapal pendarat ini sejatinya cukup sangar, aslinya sejak tahun 1986, Volksmarine (AL Jerman Timur) melengkapi beberapa Frosch dengan meriam laras ganda AK-725 kaliber 57mm, meriam ini dapat ditempatkan pada sisi haluan maupun buritan. Meriam ini adalah senjata utama pada korvet Parchim, sayangnya saat Frosch dijual ke Indonesia, meriam ini nampak sudah dilepas, sebagai gantinya adalah meriam Bofors kaliber 40mm. Lain dari itu, Frosch juga dapat dipasang setting dari berbagai jenis senjata, seperti kanon laras tunggal kaliber 37, atau dua buah kanon kaliber 25mm. Tentu spesifikasi senjata disesuaikan dengan budget dan kebutuhan misi dari user.


Sebagai elemen perlindungan (decoy) dari serangan rudal udara, Frosch class juga dibekali dengan dua dispenser chaff PK-16, masing-masing tabung terdiri dari 16 tabung peluncur. Kemampuan elektronik Frosch class ditunjang satu radar navigasi TSR-333, satu radar MR-302 Rubka untuk identifikasi obyek di udara dan permukaan.
Insiden KRI Teluk Lampung 540
Pada 4 Juni 1994, KRI Teluk Lampung nyaris tenggelam di Teluk Biscay, lokasinya berada di sebelah utara Spanyol. Peristiwa itu terjadi Jumat dinihari pukul 01.26 waktu setempat atau pukul 08.26 waktu Jakarta. Segera saja ihwal KRI Teluk Lampung ini mendapat perhatian besar karena LST ini adalah salah satu dari 30 kapal perang yang dibeli oleh B.J. Habibie (saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi).
Dikutip dari ulasan di Majalah Tempo (Juni 1994). Awal kisahnya, sesudah direparasi di galangan Peenemunde, Wolgast – Jerman, kapal itu berlayar dari Laut Baltik melewati Belanda dan Perancis. Nah, ketika memasuki perairan Spanyol, KRI Teluk Lampung dihadang taifun dank abut tebal. Haluannya yang datar dan rendah dihajar ombak besar yang kemudian menerjang pintu (ramp) hingga jebol. Air laut pun masuk sehingga kapal terencam tenggelam.



Di saat gawat itu, kapal tersebut mengirimkan SOS, yang kemudian didengar oleh tim SAR (search and rescue) Perancis, SAR Perancis lalu meneruskan ke SAR Spanyol, yang segera mengirimkan dua helikopter untuk menyelamatkan 51 awak kapal KRI Teluk Lampung. Kemudian, sebuah kapal tunda milik Spanyol melego jangkar dekat KRI Teluk Lampung dan berupaya menyeret LST itu dari tempat kejadian. “Ya, mesti ditarik agar posisinya kembali seimbang. Posko penyelamatan kapal ini sudah dibentuk dan dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto dari kediamannya di Jalan Cendana. Tim dari Jerman pun segera diberangkatkan,” ungkap sebuah sumber dari majalah Tempo yang mengikuti proses pembelian kapal itu.
Kalau sempat tenggelam, LST itu kan sulit ditarik ke permukaan laut. Di kedalaman 100 meter saja sudah sulit, apalagi kedalaman air di lokasi kejadian mencapai 4.000 meter. Syukurlah, kapal yang tidak diasuransikan itu akhirnya bisa diselamatkan, begitu juga dengan seluruh awaknya.

Habibie menuding ombak setinggi 10 meter yang menghantam pintu kapal selama berjam-jam sebagai penyebab musibah. “Akibatnya, pintu terbuka karena memang tidak dilas mati, kata Habibie. Air pun masuk tanpa bisa dicegah. Tapi, Deputi Analisis Industri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sulaeman Wiriadidjaja berpendat bahwa sebab musibah karean titik berat kapal bertumpu pada satu sisi. Hal itu dimungkinkan karena bertumpuknya kargo disitu –milik TNI AL – padahal kargo itu mestinya tidak bergeser kalau dicantelkan ke tubuh kapal. Ternyata, prosedur ini tidak dipenuhi, hingga akhirnya mengubah titik berat kapal. Sebagai informasi, perpindahan titik berat kapal bisa berbahaya, terutama saat kapal dihantam ombak terus-menerus, akibatnya kapal bisa terguling.
Pada insiden di Teluk Biscay, KRI Teluk Lampung yang dikomandani Letkol Laut Jospeh Sutrasman itu masih bisa dilaso oleh kapal Spanyol. Menurut Dinas Penerangan TNI AL, pada Sabtu pagi KRI Teluk Lampung dapat diamankan di Gijion, Spanyol.
Sebagai kapal bekas pakai, satu unit Frosch yang dibeli Indonesia dihargai US$346.500, dan setelah melalui tahap renovasi dan perlengkapan senjata, maklum saat keluar dari Jerman, parlemen negara itu mengharuskan armada kapal yang dibeli RI harus dipreteli senjatanya, maka kemudian harga satu unit LST Frosch melambung jadi US$10 juta. (Haryo Adjie Nogo Seno/dikutip dari berbagai sumber)
Kita negara besar dan terlalu banyak orang pintar mamfaatkan mereka tapi jangan pintar komentar aja kyak yg di TV
maksud loe? lah elo aja komen GEJE kek gini kok 😛
Koment ente kayak vicky si raja tipu artis.sok cerdas tapi keliatan gak sekolahnya.doyan artis dangdut juga mas?
350 juta dollar/kapal? Ck ck ck…gile bener mark up nya.cuma untuk 1 kapal angkut bekas selevel kapal roro harganya hampir sama dengan satu kapal selam baru harga sekarang…kasihan pak habibie jadi keset orde baru terus…
Kayaknya di tulis 346,5 ribu dollar atau sekitar 4 milyar rupiah setelah di renovasi dan di lengkapi senjata menjadi 10 juta dollar atau 133 milyar dari mana dapat angka 350 juta dollar
mnurut kabar angin frosch (bareng parchim) budgetnya dimarkup gila2xan ampe habibie bengong (karena dia yg melobi pemerintah jertim) 😛
Untuk kapal jenis LST harusnya Indonesia sudah mempunyai kemampuan untuk membuatnya. Karena kapal ini bisa dibilang sangat mirip fungsinya dengan kapal komersial, hanya ditambah dengan pintu docking yang terbuka
Kabarnya Kemhan pesan 3 LST kelas 117 meter – 2 LST buatan PT. Dok dan Perkapalan (DKB) Kodja Bahari, Jakarta. Kemenhan juga memesan 1 LST ke PT. Daya Radar Utama. Cuma realisasinya masih tanda tanya 🙂
salut untuk TNI AL yang terbilang pandai merawat sista yang tergolong sudah uzur…