DZYNE ULTRA – Drone Intai Taktis AS di Timur Tengah dengan Endurance 80 Jam
|Melengkapi kehadiran satelit, drone dengan kemampuan intai taktis amat dibutuhkan oleh Amerika Serikat guna meronda kawasan di Timur Tengah. Lantaran penuh gejolak akan konflik, tak sedikt AS kehilangan drone intai yang punya kemampuan terbang lama dengan harga mahal. Berangkat dari kondisi itu, kehadiran drone intai yang mampu terbang lama (long endurance) dengan harga relatif murah menjadi kebutuhan bagi US Central Command.
Solusi untuk menyiasati kondisi di atas adalah dengan hadirnya drone intai Ultra Long-Endurance Tactical Reconnaissance Aircraft (ULTRA) besutan DZYNE Technologies, manufaktur drone asal California. Visi Angkatan Udara AS (USAF) dalam hal ini adalah mewujudkan drone pengintai berbiaya rendah dengan teknologi otonom yang dapat terbang lebih dari tiga hari berturut-turut.
Dan sejak Mei 2024, ULTRA kini telah menjalankan misi terbangnya di Timur Tengah, dari foto-foto yang beredar, ULTRA diketahui telah hadir Pangkalan Udara Al Dhafra di Uni Emirat Arab.
Dikembangkan oleh DZYNE Technologies bersama dengan Air Force Research Laboratory, ULTRA menjanjikan “babak baru” dalam misi ISR (Intelligence, surveillance and reconnaissance). Angkatan Udara AS secara resmi mulai membeli ULTRA, yang dimulai di bawah program small business innovation research (SBIR) Departemen Pertahanan, dalam permintaan anggaran tahun 2025, dan telah mengajukan permintaan untuk membeli empat drone ULTRA seharga total US$35 juta.
Drone ULTRA yang desainnya mirip glider dapat bertahan di udara selama 80 jam tanpa mengisi bahan bakar atau mendarat, dan dapat membawa muatan dengan berat hingga 181 kilogram.
Pengembangan ULTRA kian dipacu terjadi ketika Angkatan Udara AS berupaya mengisi beberapa kesenjangan pengintaian dengan drone ISR yang murah dan mudah digunakan. MQ-9 Reaper telah digunakan untuk pengawasan di Timur Tengah sejak tahun 2008, namun kini dipandang oleh Angkatan Udara sebagai terlalu mahal dan rentan.
Beberapa MQ-9 telah ditembak jatuh di Timur Tengah selama setahun terakhir, memperkuat pendapat para kritikus bahwa menerbangkan drone dengan harga per unit US$30 juta di lingkungan yang penuh persaingan tidaklah tepat.
“MQ-9 Reaper dikembangkan sebagai pesawat serang, namun hanya “persentase satu digit” dari misi pengawasan yang memerlukan kemampuan serangan.” kata Matt McCue, CEO DZYNE Technologies, sehingga Pentagon menyadari bahwa mereka tidak perlu menerbangkan “Ferrari” ketika sudah siap, cukup menggunakan “truk pickup” dan memuatnya dengan sekumpulan sensor.
DZYNE mengklaim mampu menjaga biaya operasional ULTRA tetap rendah dengan menggunakan suku cadang yang tersedia secara komersial.
Dari lembar spesifikasi, drone ULTRA diketahui punya lebar bentang sayap 24,9 meter dan berat sekitar 1.360 kilogram. Ketinggian terbang maksimum 7.620 meter dan punya kecepatan jelajah 130 km per jam. Ditenagai mesin propeller pada bagiian hidung, ULTRA dapat terbang dengan endurance lebih dari 80 jam. (Bayu Pamungkas)
Ada “Anjing Nica” di Drone Intai Taktis Sperwer Belanda, Terkait Sejarah Kelam Indonesia