Dikunjungi (Lagi) Pejabat Militer Indonesia, Peluang Akuisisi Iver Huitfeldt Class Kian Terbuka
|Dikunjungi sampai dua kali oleh pejabat pertahanan, tentu membuat sosok kapal perang andalan Denmark ini menjadi topik perhatian di kalangan pemerhati alutsista di Indonesia. Ya, kapal perang yang dimaksud adalah frigat Iver Huitfeldt Class, frigat ‘kelas berat’ dengan bobot mencapai 6.645 ton ini digadang sebagai kandidat pengganti frigat Van Speijk Class (Ahmad Yani Class) yang akan purna tugas pada tahun 2024.
Baca juga: [Polling] Iver Huitfeldt Class – Heavy Frigate Paling Ideal Untuk TNI AL
Setelah pada 7 Maret 2016 lalu sempat dikunjungi Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di fasilitas pangkalan AL Denmark. Menhan saat itu melihat frigat Peter Willemoes, kapal kedua dari tiga unit Iver Huitfeldt Class yang telah beroperasi. Maka kabar terbaru yang dikutip dari Twitter KBRI Kopenhagen, menyebutkan pada 8 Oktober 2018 telah dilakukan kunjungan delegasi dari TNI AL, Kementerian Pertahanan RI dan Duta Besar Indonesia untuk Denmark, Muhammad Ibnu Said ke Pangkalan AL Korsør untuk melihat langsung frigat Iver Huitfeldt Class.
Sebagai mitra diskusi adalah DALO (Danish Acquisition Logistic Acquisition) dan prinsipal kapal perang Odense Maritime Technology. Namun belum diketahui jelas, apa hasil dari pertemuan tersebut. Selama ini berita pengadaan Iver Huitfeldt Class sudah berhembus di dalam negeri, meski belum dapat dikonfirmasi malah disebut keinginan Indonesia untuk bisa mengakuisisi dua unit Iver Huitfeldt Class, yang akan dibangun di galangan PT PAL, Surabaya.
Tentu Iver Huitfeldt Class tak melenggang sendiri untuk menggantikan singgasana Van Speijk Class, pasalnya ada dua nama besar lain yang jadi kompetitor, yaitu De Zeven Provincien Class dan Bergamini Class FREMM. Yang disebut pertama adalah lawan terberat Iver Huitfeldt Class, pasalnya frigat buatan Belanda dipandang lebih punya sejarah penggunaan oleh TNI AL, maklum pembuatnya adalah Royal Schelde, yang memproduksi korvet SIGMA Diponegoro Class.

Dalam pertemuan penulis bersama Casper Klynge, Duta Besar Kerajaan Denmark untuk Indonesia (10/8/2016), disebutkan bahwa Denmark sangat serius untuk menawarkan frigat ini ke Indonesia. “Kami menawarkan frigat Iver Huitfeldt Class dalam fleksibilitas terkait perlengkapan senjata dan sensor yang dibutuhkan Indonesia. Kami juga menawarkan untuk pembangunan kapal perang ini di fasilitas galangan Indonesia, dan ini akan menjadi peluang positif bagi industri di dalam negeri, dan tentunya skema ToT (Transfer of Technology),” ujar Casper Klynge kepada Indomiliter.com

Odense Maritime Technology selaku principal Iver Huitfeldt Class memberikan beberapa opsi bila nantinya frigat ini diakuisisi oleh TNI AL. Yang pertama adalah solusi ‘plug and play,’ dimana persenjataan dan sensor dibangun melalu modul-modul. Tentunya muatan disini dapat disesuaikan dengan keperluan misi. Masa pakai yang berbeda dari komponen-komponen dapat diatasi secara individual sistem per sistem. Pola ini dipercaya dapat menghilangkan periode “off hire” yang panjang, dan secara praktis mampu meningkatkan usia pemakaian kapal. Dalam hal perawatan, muatan dan platform dapat dirawat secara independen, ini bisa memperdendek periode proses perawatan dan memperpanjang jam operasional.
Opsi kedua terkait ToT, Odense Maritime Technology selaku perancang menawarkan kerjasama yang erat dengan pihak galangan kapal dan TNI AL sebagai user. Dimana semua pihak bekerja dengan mengacu pada database yang sama, sehingga memaksimalkan proses ToT dari mulai tahap perancangan hingga tahap perakitan kapal di Indonesia.
Kemudian yang terakhir adalah muatan konten lokal, dimana sebagian pembangunan dan perakitan dapat dilakukan oleh galangan kapal Indonesia. Odense Maritime Technology menawarkan keterlibatan perancang kapal lokal dalam tahap rancangan dan rekayasa, serta prinsipal akan membantu galangan kapal lokal selama fase konstruksi di Indonesia. (Haryo Adjie)
Semoga terwujud dalam akuisisi Iver.. murah dan komplit seperti De-Zeven. Untuk TOT semoga lancar dan muatan konten lokal.
Kalo opini ku, AL tetap akan mengikuti pola pengadaan kapal perang yg bersifat “bottom up”…😎
Maksutnya, pola pemenuhan kaprang akan berjenjang dari tingkat paling dasar, menengah baru yg terakhir pd puncak piramidanya adalah kapal AAW.
Saat ini kita sdh punya program KCR, sigma dan PKR…nah urutan berikutnya adalah kelas fregat multipurpose/ASW dg komparasi fregat formidable milik RSN atau fregat terbaru yg dibeli RTAN dari korea.
Kapal sekelas buatan eropa dlm rentang ini (4000-5000 ton) ada 3 kontender menurutku yaitu: Martapura 140 RN yg basisnya berasal dr desain Iver huitfeldt yg telah mendapat kustomisasi dr RN, fregat Belharra aka FTI dr perancis dan fregat M Class Replacement desain utk AL belanda & belgia.
Ketika kita bicara ttg Iver….untuk konteks Indonesia (dana&pertimbangan teknis operasional), maka desain Arrowhead rasanya lebih “membumi”.
AH 140 didesain ulang lebih slim dibanding Iver dg kisaran bobot kurang dari 6000 ton, desain anjungan juga dikustomisasi dr anjungan yg full tertutup (lazim digunakan dizona arctic) menjadi anjungan yg memiliki balkon dikedua sisinya…dan tetap mempertahankan biaya pembangunan yg rendah ala Maersk yaitu dikisaran Euro 250 juta.
Dari sisi sensor, senjata dan sewaco juga mendapatkan rancangan ulang, mulai dari desain mastnya yg tertutup, ala desain mast Gowind milik malaysia yg dilengkapi dg radar arsa, S Band NS-100…kemudian sewaconya adalah Tacticos yg sama dg sewaco pd kebanyakan kaprang milik AL.
“Mungkin lebih baik lg menggunakan rancangan integrated mast dari SAAB, dimana dalam satu mast bisa diisi 2 jenis radar yg berbeda secara bersusun, misal : NS-100 sbg radar surveillan jarak medium dan SAAB Giraffe 1X sbg radar peringatan dini (jarak pendek) thd serangan rudal sea skiming, obyek yg terapung dilaut spt ranjau atau periskop kasel, serta pendeteksi stone berukuran kecil.”
Penyeragaman dari awal dalam sensor, senjata dan sewaco memudahkan AL dalam pelatihan, operasional dan perawatan.
Juga karena AH 140 akan dibangun di inggris, maka komponen yg berhubungan dg aspek elektrikal, plumbing, hvac, cooling system, damage control dan hal2 yg bersifat mekanis spt pintu dsb akan memiliki banyak kesamaan dg yg terdapat pd MRLF milik AL.
SATU HAL LAGI YG UTAMA ADALAH MENGENAI PILIHAN JENIS RADAR YG SESAUI DG KARAKTER PERAIRAN KITA YG BERADA DIKAWASAN LITORAL DAN BERIKLIM TROPIS…padanan radar yg beroperasi pd frekuensi S Band dan X Band, seperti kombinasi radar aesa S Band NS-100 (thales) dengan radar aesa X Band Sea Giraffe 1X, lebih tepat dan rasional dibanding kombinasi radar asea L Band Smart L dan radar aesa X Band APAR.
Selain lebih terjangkau dan lebih ringan tentunya (bobotnya)…kombinasi NS-100 dan SG 1X lebih sesuai karena pd lingkungan perairan litoral yg memiliki banyak clutter dan beriklim tropis kita butuh radar yg memiliki resolusi yg lebih tinggi namun tetap handal disegala cuaca.
Resolusi radar S band lebih tinggi dibanding L Band, dan jika dirasa jangkauan deteksi dr radar NS-100 yg setara dg radar Smart S (+/- 250 km) maka sudah tersedia radar aesa NS-200 yg berjangkauan 400 km…atau bisa juga pilih kombo radar aesa SGiraffe 4A dan SGiraffe 1X.
@typo…
1. Martapura 140 : Arrowhead 140
2. Pendeteksi stone berukuran kecil: Pendeteksi drone berukuran kecil
Radar untuk KRI nggak akan jauh dari Thales.
Kelihatannya bakal pakai Smart-L dan APAR juga tapi dari versi yg terbaru.
APAR block 2
https://www.thalesgroup.com/en/worldwide/defence/apar-active-phased-array-multifunction-radar
Smart-L MM bisa deteksi balistik missile sejauh 2000 km.
https://www.thalesgroup.com/en/smart-l-mm
Naaaah, saya paling demen dg pemikiran yg progresif-revolusioner ala bung Tukang Ngitung….😎😎😎
1. Tadi sudah saya singgung ttg bujet AL, kenapa pilihan kombinasi radar NS-100/200 (thales) dan radar SGiraffe 1X , lebih bersahabat dg kantong kita…dibanding kombinasi radar Smart L dan APAR (thales).
2. Misalnyapun benar akhirnya kita punya radar Smart L yg bisa mendeksi rudal balistik…lalu mau kita apakan rudal itu?
Kalo sekelas rudal essm masih bisa dijangkau, tapi kalo SM-2, SM-3 entah apakah kita sudah diijinkan memilikinya🤔🤔🤔
Sedangkan rudal Aster-30…kalo melihat apa yg sudah kita punya saat ini, beratlah 😣😣😣
3. Ada pepatah: “gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diseberang lautan tampak”…negara kita adalah kepulauan yg dikelilingi oleh beberapa ALKI dan banyak sekali selat yg bisa dilayari oleh kapal perang atau kapal selam.
Ancaman yg berupa peluncuran rudal jelajah yg diluncurkan dr kapal perang atau kapal selam dan pesawat tempur lebih aktual dibanding ancaman rudal balistik dan itu bisa dilakukan ketika sedang melintasi ALKI…lagipula siapa yg mengancam kita dg rudal balistik 🙋🙋🙋
Saat ini drone/mini drone bisa diluncurkan dr berbagai aset, baik itu kapal perang, kapal selam bahkan pesawat terbang…bayangkan itu terjadi saat kapal/pesawat asing sdh melintasi ALKI utk memata-matai kita 🤔🤔🤔
Terkadang ukuran untuk mengetahui kehebatan sebuah radar adalah daya jangkau deteksinya….🙄🙄🙄
Kita memilih radar berdasarkan kebutuhan kita, berdasar pilihan teknis (resolusi, bobot, harga)…maka seperti yg saya sebut diawal, dg kondisi perairan kita yg litoral dan beriklim tropis, kita butuh “resolusi radar” yg bagus….melebihi ukuran jangkauan deteksinya 😎😎😎
Mas Smili aka Ayam Jiago,
Ngene lho mas :
Fregat yg mau dibeli itu khan versi AAW khan ?
Versi AAW itu bakal jadi satu komando dengan Kohanudnas.
Untuk itu radar yg dipakai oleh fregat AAW itu akan jadi radar yg berada di batas ZEE atau bahkan di luar ZEE kita.
Itu adalah kepanjangan mata dari Kohanudnas kita dan akan jadi sistem peringatan paling dini manakala musuh masih berada ratusan km di luar ZEE.
Untuk itu perlu radar yg mumpuni sebagaimana radar2 yang jadi standar kohanudnas (370 – 450 km, bahkan ada yg 500 km seperti weibel). Thales Smart-L punya jangkauan 450 km dan jika diarah lebih ke atas lagi 2000 km.
Sekarang Kohanudnas pun juga punya cita2 punya rudal jarak sedang ataupun jauh.
Sedangkan Sistem VLS MK41 yg ada di Iver bisa mengakomodir rudal jarak sedang ataupun jauh itu. Sistem VLSnya tidak harus Mk41, sebab Iver punya Standflex modul yg bisa diisi oleh sistem rudal apa saja.
Bisa jadi pengadaan pembelian rudal arhanud jarak jauh dan sedang akan digabungkan antara AU, AD maupun AL, sehingga bisa lebih murah, sumbernya entah dari mana dan bisa dari mana saja apakah US, Eropa ataukah Isr…
Inget sampeyan khan kepingin supaya tidak logistik nightmare khan ?
Sedang untuk radar dengan jarak deteksi lebih pendek seperti I-mast atau NS100 atau Giraffe bisa dipakai untuk OPV 85/95, FSC/KCR 85/95 yg gambar disain hullnya dulu pernah dirilis pt pal.
Jumlah selat kita 47 selat, bisa kerjasama dijaga oleh KCR 40/60/85/95 serta midget dan untuk selat2 sempit bisa dijaga tank boat dan midget.
Lalu siapa yg merilis pernyataan bhw kita butuh AAW…itukan angan-angannya para fansboy 😂😂😂
Setauku, AL baru mengatakan akan beli fregat yg sepadan dg yg dimiliki tetangga
Nah, itu kuncinya : fregat yang sepadan dengan punya tetangga.
Tetangga mana yang dimaksud ?
Bukan Singapore lho, apa lagi bukan Males juga.
Yang tetangga besar aja yaitu Australia.
Australia mau ganti ANZAC Class, juga udah punya Hobart.
Nah biar fregat kita bisa pacaran dengan pengganti ANZAC dan sekaligus bisa berdansa dengan Hobart maka butuh fregat rasa destroyer.
Pengganti ANZAC pun rencananya Hunter Class malah pakai AEGIS system dan CEAFAR2-L (link-nya cari sendiri ya).
Itu CEAFAR2-L khan pakai L band juga toh sama seperti Smart-L toh ?
@tukang ngitung
Naaaah, ini dasar opini saya diatas ttg ancaman potensial thd pengawasan ruang udara kita “dlm kurun waktu 20 tahun kedepan”, berupa: black flight, perlintasan berbagai benda asing (drone, baik HALE maupun drone taktis, rudal jelajah), pengintaian udara dan pemanfaatan ruang udara utk kepentingan pihak asing spt kasus bawean dan terakir diatas dan ambalat kemarin….dan tidak disebut ttg ancaman rudal balistik.
#Analisa intelejen dlm kurun 20 tahun kedepan ini lah yg mendasari pembangunan postur kekuatan udara dan laut kita utk saat ini 💪💪💪
http://www.angkasareview.com/2018/10/10/menuju-ideal-essential-force-ief-indonesia-perlu-menambah-348-unit-pesawat-untuk-tni-au/
Eladalah,
Rudal jelajah ?
Bukankah balistik missile termasuk kategori rudal jelajah, khan sama2 menjelajah di atas permukaan bumi toh ?
😜
Naaaah (lagi) kan…🤦🤦🤦
Kalo bung PHD yg progresif-revolusioner, menyimak komen saya sebelumnya ttg “tipe radar yg sesuai dg negara kita”, tentunya bisa paham kenapa AU memilih radar master-t, thomson-215, plessey commander…semua bekerja pd frekuensi “S”, (weibel lebih berfungsi sbg gap filler), begitu juga radar Smart-S dan MW-08 milik AL .
Aussy yg negara benua yg beriklim “sub tropik” lebih optimal memilih radar yg bekerja pd rentang frekuensi L atau C….silahkan dicek ground base radar milik RAAF, mereka semua L band.
#Jadi spt yg saya sampaikan diawal, memilih radar yg optimal itu ukurannya bukan semata-mata yg jangkauannya “paling jauh”…tapi menyesuaikan dg kondisi lingkungan masing2 negara 😎😋😎
Aussy sub tropik ?
Hanya 60% saja yg subtropik, yg 40% masih beriklim tropik.
Tapi kok pakai smart-L ? karena jangkauannya lebih panjang.
Ingat juga cita2 ALRI jadi blue water navy dan world class navy.
Artinya nggak melulu main di tropik aja tapi juga main di subtropik atau malah iklim dingin jika perlu.
Untuk itu perlu Smart-L. 😂😂😂
https://science.howstuffworks.com/difference-ballistic-cruise-missile.htm
Paragraf 5 kalimat 1
” Ballistic missiles are different than cruise missiles “
Kalo melihat urgenitas, kayanya belum Urgen sih..tp bukannya Frigate Talwar/Krivak IV juga masuk List?
Saya rasa dari segi bobot muatan Talwar dan KDX ii lebih masuk akal dibanding Iver, Den, Fremm..dari segi siluman, Talwar mirip sekali dengan Fremm..
Hanya saja Talwar versi India dan Rusia berbeda dalam segi jeroan, India banyak mengandalkan jeroan Israel
Masalahnya dollar naik tinggi. Pemerintah tidak punya uang untuk mewujudkan kapal sekelas iver.
Untuk itu gan solusi pembangunan di galanagan dalam negeri dan konten lokal sangat bermanfaat.
Menurut ane klo cma “dibuat di galangan indonesia” bukan termasuk “muatan lokal”, klo ada muatan lokal, brrti figate iver bbrp perangkat sewaconya ada yg buatan indo, begicu….
Nggak juga tuh.
Kalo dibangun di Indonesia, ini lho muatan lokalnya :
– buruh yg mengelas dan memotong baja.
– kalo bajanya dari dalam negeri.
– kalo pipa-pipanya dari dalam negeri.
– kalo kabel-kabelnya dari dalam negeri.
– kalo lampu-lampunya dari dalam negeri.
– kalo tempat tidur, bantal, kasur, selimut, sprei, almari, meja dan kursi, toilet, shower, keran air, dsb dari dalam negeri.
Itu udah hampir 50 persen kandungan dalam negeri (muatan lokalnya).
Tambahan lagi….
– Crane dari Pindad
– Ladder dari Pindad
– Frame dari Pindad
– Capstan dari Pindad
– Treering gear dari Pindad
– Rubber boat bisa juga dibuat didalam negeri
– Dll
– Senjata ringan juga dari pindad
– Mungkin Generator juga dari pindad
msh pnjng ini urusan pemilihan real frigate yg mau diakuisisi oleh TNI AL,..dgn kondisi ekonomi yg msh payah,..lalu thn dpn ada pilpres,..saya rasa,..ampe 2 thn kdepan, blom ada kputusan soal ini….
Wow…joosss ternyata pengganti Van Speijk si Iver tow, tak kira cukup puas dgn Martadinata class yg mau di kembangbiakan lagi….
Kemajuan signifikan….
Syukur kalo Visby juga dibungkusin sekalian.hihihi….
Lebih baik tambah PKR++ …..
PKR dg penambahan kemampuan armament, blom perlu real fregat ukuran besar.
knp blm perlu??? lantas mau pake apa payung armadanya?? yg diincar dari real frigate adalah kemampuan aaw nya yg dedicated..bukan sekedar mslh ukuran! masak cma ngandelin mica buat ngehadapin puluhan fighter yg berbasis kapal induk misalnya..yg ada blm ketemu musuh udh jebol itu armada-__-
josss….
Rudal dikasih gak nih ama yg punya?
Persenjataan bersifat customized
bisa pakai Exocet MM40 block III dan VLS Aster 15/30
semuanya tergantung keuangan pembeli
US sekarang melonggarkan proses pembelian senjata (nggak terlalu rewel HAM lagi) kecuali kalo ada hubungannya dengan Rusia.
Mengapa melonggar ? Biar senjata produksinya laku.
Tapi kalo soal kantong pembeli ya itu terserah pembeli mau belinya di mana.
Jadi rudal SM2 dan ESSM bisa jadi dikasih asal kuat bayar.
Memang kalo si Ntung Phd, mikirnya seolah kita butuh perang besok. Bukan pada sisi kemampuan keuangan negara maupun kebutuhan utama saat ini. Sampe anggaran sarana aparatur utk TNI pun diartikan sbg dana buat pembelian alutsista.