Cina, India dan Korea Selatan Pacu Kapasitas dan Kemampuan Satelit Militer, Bagaimana dengan Indonesia?
|Seandainya tak ada masalah pembayaran uang muka kepada Airbus Defence and Space (ADS), sejatinya pada tahun ini (2019-red) satelit komunikasi militer pertama milik Indonesia telah mengorbit, dalam paketnya Indonesia akan mengorbitkan satu satelit geostationer (GSO) dan dua satelit non geostationer (NGSO). Tapi sayang, lantaran sengkarut masalah pembayaran, termasuk pada kasus antara Kementerian Pertahanan dengan Avanti Communication, sang operator satelit Artemis, menjadikan impian Indonesia memiliki satelit pertahanan harus tertunda lagi.
Baca juga: 2019! Satelit Militer Indonesia Resmi Mengorbit di Luar Angkasa
Dikutip dari IndoTelko.com (1//3/2019), Melihat sangkarut tersebut akhirnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan pemerintah harus mengambil kebijakan baru untuk menyerahkan operator pengadaan Satelit L-Band dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ke badan usaha lain yang bukan pemerintah. Dan informasi terakhir PT. Dini Nusa Kusama (DNK) telah ditunjuk Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mengelola slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).
Lepas dari kasus di atas, keberadaan satelit bergenre kebutuhan militer, entah untuk misi backbone komunikasi dan surveillance sudah jamak dilakoni beberapa negara besar di Asia. Bagi negara sekelas Cina, India dan Korea Selatan, kebutuhan mereka bukan lagi menempatkan orbit satelit militer, melainkan lebih untuk menambah kapasitas dan kemampuan pada varian satelit terbaru.
Seperti Cina yang getol melakukan eksplorasi dan riset bawah laut lintas samudera, dukungan satelit dengan kemampuan plus+ mutlak diperkukan untuk menjamin konektivitas data pada puluhan kapal risetnya yang bertebaran di lautan luas. Dan Cina belum lama berselang telah meluncurkan tiga satelit Yaogan-30 TacticalIimaging/ELINT yang diluncurkan dari roket Long March-2C pada 26 Juli 2019 dari Xichang Satellite Launch Centre, Sichuan, Cina.
Sebanyak empat satelit yang sudah berada di angkasa ini, menurut Otoritas Pertahanan Cina kelak akan digunakan untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik dan tes teknologi terkait.
Peluncuran Yaogan-30 Group 4 merupakan misi ke-308 untuk seri roket Long March yang ditujukan untuk menempatkan satelit di orbit, 600 km di atas permukaan bumi. Dengan beroperasi di ketinggian orbit rendah 650 Km, fungsi satelit ini sebagai remote sensing dan pengintaian. Waktu layanan satelit NGSO tak sepanjang satelit GSO, yakni pada rentang tiga sampai lima tahun. Satelit pengintai (spy) ini berjalan di spektrum frekuensi UHF, SHF, L-band, X-band, dan S-band.
Satelit Yaogan-30 dirakit oleh Chinese Academy of Science dan satelit ‘kembar tiga’ ini beroperasi dalam jarak yang relatif dekat sehingga dapat dengan akurat memendarkan sinyal. Dipercaya bahwa satelit penginderaan jauh dalam orbit 35 derajat dapat menemukan platform militer seperti kapal induk melalui transmisi elektromagnetiknya.
Sebelumnya, Triplet Yaogan 30 pertama diluncurkan pada 29 September 2017, dengan peluncuran berturut-turut pada 24 November dan 25 Desember di tahun yang sama. Memang, ketiga satelit Yaogan-30 ini berjarak sekira 120 derajat untuk menghasilkan cakupan Signals Intelligence (SIGINT) yang cukup efektif.
Tatanan ini memungkinkan People’s Liberation Army (PLA) untuk melintasi suatu area 19 kali per hari di bumi dalam mode pencitraan vertikal, atau 54 kali sehari dalam mode off-vertical SIGINT.
Penambahan triplet keempat ke orbit yang sama dengan Group 3 mengacu ke jarak genap 60 derajat antar masing-masing satelit, dimana ini akan meningkatkan tingkat revisit. Diharapkan, peluncuran dua Yaogan-30 di masa mendatang akan menciptakan konstelasi yang terdiri dari 18 satelit.
Sewa Bandwidth dari Amerika Serikat
Menurut Wall Street Journal, Cina justru menyewa bandwidth pada sembilan satelit AS dan mendapat manfaat militer dari kegiatan tersebut. Meskipun undang-undang AS melarang setiap perusahaannya untuk menjual satelit ke Cina, namun tidak ada peraturan yang mengatur tentang penyewaan bandwidth.
Seperti disebutkan di paragraf sebelumnya, Cina tak sendiri di Asia. Pada 22 Mei 2019, Indian Space Research Organisation (ISRO) juga telah sukses meluncurkan satelit pengamatan Bumi citra radar yang mampu menangkap gambar resolusi tinggi di tingkat militer dalam semua kondisi cuaca – baik siang atau malam hari.
RISAT-2B yang digadang-gadang memiliki bobot seberat 615 kg ini diluncurkan dari Satish Dhawan Space Center di India selatan ke sun-synchronous polar orbit, 556 km di atas Bumi. Satelit ini memiliki X-band Synthetic Aperture Radar (SAR), dan pencitraannya akan melengkapi gambar yang ditangkap oleh satelit Cartosat dari ISRO.
RISAT-2B sendiri memiliki lifespan lima tahun, dan kehadirannya ditujukan untuk menggantikan peran dari RISAT-2 buatan Israel dan RISAT-1 buatan India yang masing-masing diluncurkan pada tahun 2009 dan 2012.
Sementara itu, konsorsium asal Korea Selatan, Korea Aerospace Industries (KAI) dan Hanwha Systems bersinergi dengan Thales Alenia Space akan menyediakan SAR payload dan elemen platform yang berasal dari produk HE-R1000 – bagian dari Thales Alenia Space Observation yang juga mencakup optik radar dan satelit. Diharapkan, satelit-satelit ini akan diluncurkan pada tahun 2025 mendatang.
Empat satelit yang tergabung di dalam Project 425 akan dilengkapi dengan SAR dan salah satu dari satelit tersebut akan dilengkapi dengan kemampuan pengambilan gambar electro optic infrared dengan resousi tinggi.
Dengan kata lain, konsorsium baru ini telah sukses menyingkirkan LIG Nex1, Satrec Initiative hingga Airbus Defence and Space. Korea Selatan sendiri saat ini mengandalkan tiga satelit pengintai Arirang-Series (KOMPSAT-3, -3A dan -5) untuk mengumpulkan data intelijen.
Saat ini, LIG Nex1 dan Airbus tengah mengembangkan satelit KOMPSAT-6 SAR, akan tetapi peluncurannya terpaksa ditunda hingga 2020. Sementara untuk KOMPSAT-7 dan satelit EO / IR, dijadwalkan akan diluncurkan pada tahun 2021 mendatang. Ya, Seoul memang masih sangat mengandalkan intelijen Amerika Serikat untuk memantau Korea Utara, sehingga sangat ingin meningkatkan kapasitas pengumpulan intelijen independennya. (Nurhalim)
Mau bgmana lagi mas, wong dhuwite nggak Ada kok mau Satelit, KFX dll. Fokus jalan tol dulu lah.
Indonesia masih berkutat pd papua min yg didukung asing
😅😆
pemerintahan yang sekarang lemah di sektor pertahanan, banyak dana yang dipotong, contohnya satelit, pesawat ifx, dll
Loh bukannya bung ayam jago sales nya airbus selama ini saya jadi silent reader yg saya inget dia pernah komen kalo satelit dah dibayar kok
“Waduuuuh….gimana nih, nasib Iver, Erieye ER, Meteor dan A-400 🙆🙆🙆”
https://m.detik.com/finance/industri/d-4696079/ri-siapkan-balasan-ke-uni-eropa-soal-tarif-biodiesel-18-pekan-depan?tag_from=wpm_nhl_3
Dibilang maunya ttp super hercules,b737 aewc&b737 mpa,amraam soal iver mah tawaran mereka gila2an jadi wajar aja masih diterima rI
Lha satelit CP SAR rancangan Prof Josh kan sudah siap mengangkasa to mas @admin 🤔
Satelit yang dimaksud disini tentu perannya lebih kompleks mas 🙂
Indonesia butuh satelit K.E.P.O.
“Masak yg punya kemampuan begini perannya enggak kompleks to om @admin 🤔”
https://sains.kompas.com/read/2016/12/19/19503801/cp-sar.pertama.untuk.satelit.buatan.ilmuwan.indonesia