Update Drone KamikazeKlik di Atas

Bukan Lewat Selat Malaka atau Selat Sunda, Kapal Selam Nuklir Cina Mungkin Pilih Lintasi Selat Lombok

Meski belum banyak penampakan kapal selam AL Cina di Samudera Hindia, namun, cepat atau lambat, munculnya armada kapal selam Sang Naga tinggal menunggu waktu saja. Indikasi tersebut sudah terlihat, semisal dari pembangunan pangkalan angkatan laut Cina di Gwadar, Pakistan dan aktvitas Lanal AL Cina di Djibouti, Afrika Timur. Bahkan, seperti memagari Samudera Hidia, Cina pun tengah membangun basis militer dari Pulau Feydhoo Finolhu di Maladewa yang disewa oleh Cina senilai US$4 miliar.

Baca juga: Terobsesi di Samudera Hindia, Cina Berpotensi Buka Basis Militer Laut di Pakistan

Palagan Laut Cina Selatan faktanya tak membatasi pergerakan kekuatan laut Cina, sejak satu dekade silam, ketika Cina mampu mengirimkan armada patrolinya secara teratur ke Perairan Somalia, menjadi pertanda eksistensi kekuatan tempur Cina, jauh di luar wilayah teritorinya. Dan, kini, ketika Cina berkonfrontasi di perbatasan Pegunungan Himalaya dengan India, maka potensi gesekan armada Cina dengan kekuatan kapal selam terbesar di Asia Selatan (India), sangat mungkin terjadi. Terlebih dengan keterlibatan Cina dalam aliansi strategisnya bersama Pakistan.

Dalam aspek teknis, bukan perkara sulit bagi Cina untuk menggelar kapal selamnya ke Samudera Hindia. Dengan mengoperasikan belasan unit kapal selam nuklir dari berbagai kelas, armada Monster Bawah Laut Cina kini mulai percaya diri untuk merangsek dalam kampanye militer di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Komposisi kapal selam nuklir Cina memang punya deterensi tinggi, kelompok besar kapal selam nuklirnya terdiri dari Nuclear ballistic missile submarines (SSBN) dan Nuclear attack submarines (SSN).

Kapal selam Type 093 (Shang Class)

Ketika mimpi ekspansi ke Samudera Hindia dikumandangkan, maka kapal selam nuklir yang bakal dijagokan adalah Type 093 (kode NATO – Shang class) yang kini setidaknya ada enam unit yang telah beroperasi penuh. Kapal selam berbobot 7.000 ton ini dapat berlayar tanpa naik ke permukaan dalam waktu yang panjang berkat adopsi reaktor nuklirnya. Bicara persenjataan, Type 093 dibekali enam peluncur torpedo 533 mm, Type 093 juga membawa rudal jelajah anti kapal supersonic YJ-18 dalam peluncur VLS (vertical launching system).

Seperti disinggung pada artikel kami terdahulu – Rebutan Pengaruh Di Samudera Hinda Dan Selat Malaka, India Dan Cina Optimalkan Kehadiran Kapal Selam (21/6/2020), disebutkan ada beberapa jalur yang dapat dilalui kapal selam Cina untuk sampai di Samudera Hindia. Yang paling singat yaitu dengan melintasi Selat Malaka. Seperti dijelaskan di artikel terdahulu, melintasi Selat Malaka dengan mudah dapat terendus oleh unsur anti kapal selam Singapura, Malaysia dan Indonesia, yang notabene menjadi ‘penguasa’ Selat Malaka.

Dan jika dipahami lebih seksama, opsi melayarkan kapal selam di Selat Malaka memang hampir sulit dilakukan untuk misi senyap. Alih-alih, kapal selam yang biasanya melintasi Selat Malaka ‘diharuskan’ untuk berlayar di permukaan. Kapal selam berlayar di permukaan pun sejatinya dapat ‘disulap’ sebagai bahasa kampanye atas kehadiran kekuatan militer secara terbuka. HI Sutton, penulis dan analis pertahanan di Forbes.com, menjelaskan bahwa melayarkan kapal selam di Selat Malaka, hanya dimungkinkan dalam masa damai.

Namun, dalam keadaan perang, hampir dipastikan Cina tak akan melayarkan kapal selamnya melewati Selat Malaka yang padat dan penuh sensor AKS (anti kapal selam). Dan seperti dikupas di artikel sebelum ini, pilihan yang dapat dilalui adalah melintasi Selat Sunda. Selat Sunda yang masuk ke dalam ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) I, memang ‘dipersilahkan’ untuk dilalui kapal perang asing, termasuk kapal selam.

Nah, meski ALKI boleh dilintasi kapal perang asing, namun ada ketentuan selama pelayaran, yaitu kapal perang tidak boleh berhenti, tidak boleh menerbangkan pesawat/helikopter, tidak boleh transit dan tidak boleh melakukan kegiatan survei. Sementara untuk kapal selam, ada tambahan ketentuan, yaitu harus nongol, alias berlayar di permukaan.

Sumber Indomiliter.com di lingkungan TNI AL menyebutkan, bahwa umumnya kapal selam dari negara sahabat, sebelum ada kapal selamnya yang melintasi ALKI, maka perwakilan di Kedutaaan Besar, dalam hal ini Atase Pertahanan (Athan) akan mengajukan ijin dan/atau pemberitahuan tergantung lokasi lintasannya. Namun, bagaimana jika kasusnya yang melintas adalah kapal selam dari negara-negara besar?

“Sampai sekarang hal itu masih menjadi perdebatan, aturan yang tertera adalah passing in normal mode. Sementara di setiap saat mereka melintas tidak meminta ijin, hanya memberi tahu, dan itu juga seringnya mendadak,” ujar sumber Indomiliter.com yang akrab dalam dunia navigasi pelayaran militer.

Kembali ke soal opsi berlayar lewat Selat Sunda, yang kemudian berlanjut menyusuri pantai Barat Pulau Sumatera, rupanya kecil kemungkinan diambil oleh kapal selam Cina. Alasan yang mengemuka adalah soal kondisi selat yang terlalu dangkal dan berbahaya untuk lalu lintas kapal selam, terlebih dalam konteks kapal selam nuklir yang punya dimensi besar (Type 093 punya panjang 110 meter) dan bobot 7.000 ton. Kedalaman Selat Sunda berkisar 100 meter, sehingga akan sangat beresiko dilalui kapal selam sekelas Type 093.

Bicara soal kedalaman, sebenarnya Selat Malaka juga tak ideal untuk kapal selam berlayar di bawah permukaan, mengingat kedalaman Selat Malaka juga termasuk dangkal (100 – 200 meter).

Baca juga: Bukan Hanya Nazi Jerman, Cina Juga Operasikan Sejumlah Dermaga Bunker untuk Kapal Selam

HI Sutton menyebut, opsi ideal yang dapat dilalui kapal selam Cina, jika ingin berlayar secara senyap ke Samudera Hindia, adalah dengan melintasi Selat Lombok. Selat Lombok yang masuk ke dalam ALKI II ini dipandang sangat ideal untuk lalu lintas kapal selam nuklir, pasalnya punya kedalaman hingga 1.400 meter. Pun bagi Cina dapat melayarkan kapal selamnya dengan mudah dari arah Laut Cina Selatan – Laut Filpina Selatan – Laut Sulawesi – Selat Makassar – Laut Flores – Selat Lombok, dan akhirnya berjumpa dengan Samudera Hindia.

Nah, yang disebut panjang lebar di atas adalah hasil dari sebuah analisa, tentang kebenaran, tentu akan berpulang pada kemungkinan yang terjadi pada eskalasi di hari-hari mendatang. (Haryo Adjie)

39 Comments