BTS Sebagai Elemen Pengendali Drone, Mungkinkah?
|Beberapa waktu lalu kami telah menurunkan artikel dengan judul “Super Drone TNI AD: Andalkan Tangki Bahan Bakar Cadangan dan Kendali via BTS,” dan dari beberapa komentar yang muncul dari pembaca menarik untuk dicermati, yakni terkait penggunaan menara BTS (Base Transceiver Station) seluler guna mendukung sistem kendali pada drone atau UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Apakah yang digunakan adalah jenis Open BTS yang di deploy oleh TNI? Ataukah memanfaatkan tebaran menara BTS operator seluler yang jika ditotal mencapai angka ratusan ribu.
Baca juga: Tantangan Dibalik Sistem Kendali dan Komunikasi Data Pada Drone
Sebelum mengupas seputar peran BTS dalam kendali drone, perlu menjadi catatan, opsi penggunaan BTS dan menaranya sebagai elemen kendali drone dilatarbelakangi ‘lemahnya’ peran satelit yang dimiliki oleh suatu negara. Sebagai ilustrasi, Indonesia yang tak punya satelit buatan sendiri, bisa saja mengandalkan satelit buatan luar negeri, atau sewa satelit misalnya. Tapi jadi masalah krusial ada di kerawanan komunikasi data antara GCS (Ground Control Station) dan drone yang mengangkasa. Basis satelit yang mencomot teknologi luar negeri secara teori sangat mungkin dilakukan penyadapan, yang pada akhirnya merugikan kepentingan strategis nasional.
Drone dan Satelit
Drone memerlukan satelit disebabkan akses komunikasi dari GCS ke drone berlangsung secara NLoS (None Line of Sight). Ini bisa dikarenakan jarak yang terlalu jauh, beyond the horizon, atau adanya obstacle berupa pegunungan dan gedung-gedung tinggi. Berkat pola NLoS-lah drone dapat dioperasikan sangat jauh dari titik operator di GCS. Seperti drone kombatan (UCAV) AS yang beroperasi di Afghanistan, operatornya justru berada di daratan AS. Nah, lawan dari NLoS adalah LoS (Line of Sight), artinya terjadi koneksi komunikasi langsung antara GSC dengan drone, umunnya ini dilakukan pada jarak pendek dan menengah (< 200 km) tanpa adanya obstacle.
Mengingat luasnya wilayah teritori NKRI dan amanah dari pemerintah untuk mengedepankan fungsi drone sebagai pengawas area perbatasan, maka gelar operasi drone harus dilhat berdasarkan kondisi geografis. Di Kalimantan yang kondisi geografisnya mendatar, operasional drone ideal dilakukan secara LoS. Peran UAV Wulung dan Aerostar di Skadron Udara 51 Lanud Supadio, Pontianak, dapat dilangsungkan secara LoS untuk memantau wilayah perbatasan RI – Malaysia. Bahkan bila rencana TNI untuk menggelar drone di Pulau Natuna untuk operasi intai maritim, maka pola LoS masih sangat ideal.
Drone dan BTS
Di lain tempat, seperti di daratan Papua operasional drone lebih ideal menggunakan pola NLoS, mengingat kontur geografis yang banyak terdapat lembah dan pegunungan. Mengingat sampai saat ini kita belum mampu mengimplementasi satelit khusus untuk kebutuhan militer, penggunaan peran BTS sebagai alternatif ‘pengganti’ satelit sangat mungkin dilakukan.
TNI, khususnya Litbang TNI AD bekerjasama dengan Universitas Surya pada tahun 2014 telah melaksanakan pengembangan open BTS, yakni infrastruktur jaringan seluler yang dibuat secara mandiri untuk kebutuhan operasional dan internal TNI. Open BTS menjadi sebuah obsesi strategis, mengingat terbatasnya coverage jaringan komunikasi seluler operator komersial, terutama di wilayah pedalaman yang secara ekonomis tidak menguntungkan bagi operator seluler. Padahal dari sisi operasi, penempatan transmisi di pedalaman, terlebih di area perbatasan sudah menjadi kebutuhan taktis dan strategis. Pembangunan open BTS pun lebih menjamin sisi keamanan komunikasi.
Lantas muncul pertanyaan, apakah cukup menggunakan open BTS untuk kendali drone di wilayah seluas Papua? Jawabannya tentu relatif, bergantung pada misi yang dibebankan pada si drone itu. Open BTS versi minimal bisa digelar dengan kocek Rp15 – Rp20 juta dengan coverage 5 – 10 meteran. Bila ingin coverage lebih besar, tinggal upgrade power amplifier-nya. Sebagai ilustrasi, Untuk 100 watt, jarak jaungkau open BTS bisa hingga 5 km.
Semua kembali ke kesiapan dana pemerintah, penggelaran open BTS sebagai solusi end to end pasti butuh biaya yang tak sedikit. Perlu diperhatikan juga sumber tenaga open BTS, mengingat berlokasi di pedalaman, penggunaan energi terbarukan menjadi keharusan. Belum lagi urusan jaringan backhaul antara titik open BTS ke struktur jaringan diatas seperti BSC (Base Station Controller) dan MSC (Master Switching Control). Dari sisi operasi, perpindahan kendali pemancar agar terjadi seamless service antar BTS juga menjadi pekerjaan rumah, apalagi bila drone melaju diatas kecepatan 100 km per jam.
Agar kepak drone cukup luas dalam memonitor wilayah, pilihan combine open BTS dan BTS operator seluler bisa menjadi pilihan untuk menekan biaya deployment. Tapi mewujudkan itu pun tak mudah, Mohamad Dahsyat, Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT pernah mengatakan diperlukan setting khusus dan biaya besar. Pasalnya perlu penambahan perangkat pada tiap-tiap antena BTS, dan bukan berarti drone dikendalikan via akses SIM card.
Lepas dari daya gunanya, implementasi open BTS di Tanah Air masih menuai kontroversi, pasalnya open BTS beroperasi di frekuensi GSM yang BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensinya telah dikuasai operator seluler, yang pada sisi lain, operator seluler masih enggan membangun jaringan infrastruktur seluler di wilayah pedalaman yang nilai ekonomisnya kecil. (Haryo Adjie)
Ralat sedikit Bung Admin…Lanud Supadio bukan di Balikpapan tapi di Pontianak.
Terima Kasih.
Terima kasih buat ralatnya, akan kami revisi 🙂
Satelit pun macam2.
Palapa itu adalah jenis satelit geostasioner.
Ada juga low orbit satellite.
Jadi sebenarnya masih banyak opdi dalam hal satelit.
Belum lagi yang lain seperti troposcatter alias non-line-of-sight, jarak jauh, tapi bukan pakai satelit melainkan antena dan LEN sempat menjajaki.
bagus.. los boleh jg.. tapi kl los di daratan, jg bisa rentan dijamming/disadap karena tempat konflik sekitar. kl Nlos, bisa dijamming tp penerbangan rahasia makanya jamming gak mungkin dilakukan. Satelit itu universal bisa memantau semua di wilayah Indonesia.
TNI bisa merangkul semua operator sudah memmiliki satelit di angkasa utk melacak drone TNI. utk menguatkan lokasi drone, memerlukan 4 satelit Indonesia yg berbeda di berbagai posisi. gak bisa andalkan satu satelit sehingga pelacakan lokasi drone masih samar samar. Ada baik lbh aman, jgn pake satelit Indonesia yang sudah dibantu lacakan dari amerika. amerika sudah melock satelit2 Indonesia sehingga memungkinkan amerika bisa jamming/melumpuhkan satelit2 Indoensia jika terjadi peperangan/misi amerika. Indonesia cukup menggunakan 4 satelit RUSIA utk kerja sama koordinat drone, kaarena satelit2 rusia itu tidak ada minta amerika mencari keberadaan satelit sebulan setelah peluncuran roket pelepasan satelit. karena rusia sdh mmiliki teknologi pelacakan satelit2 sehabis peluncuran roket pelepas satelit
Bagaimana balon udara google, bisa dimanfaatkan utk mengps drone.. TNI harus lihat semua perkembangan IT oleh semua operator Indonesia. Itu harus ada dimonitor oleh divisi TNI.
tolong bahas itu sangat penting, tni bisa mantau drone2 dari satelit jauh terutama di wilayah kepulauan natuna..
semoga berguna
Semua opsi bisa mas, hanya utk Google Project Loon, si balon itu bergerak mengikuti arah putaran angin di stratosfer. Dan pastinya mengundang pihak ketiga dari luar negeri sangat resisten bagi kepentingan strategis.
soal jamming sudah diantisipasi, semisal di Wulung, jika drone itu diserang dan berhasil di jamming, maka otomatis langsung switch mode return to base.
Betul sekali, bung.
Mudah logika dan algoritmanya.
Jika komunikasi drone debgan pusat kendali jadi terputus karena jamming maka jelas dalam ukuran sekian waktu su drone kembali ke pangkalan.
Hebat sekali si Wulung ini anti jamming ,sebagai info drone AS Sentinen 170 RQ berhasil si bajak Iran dengan sukses .