BAK-12 Arresting Cable Mobile: Kabel Penahan Laju Jet Tempur F-16 TNI AU
Kabel penahan lajunya pesawat tempur, umumnya hanya terdapat di kapal induk untuk menahan lajunya pesawat yang baru mendarat agar segera tertahan, mengigat landasan pacu di kapal induk sengat terbatas panjangnya. Arresting cable seperti yang ada di kapal induk itu, sejak dekade 90-an telah pula dimiliki TNI AU, meski pun Indonesia tak punya kapal induk.
Baca juga: KC-130B Hercules – Tingkatkan Endurance Jet Tempur TNI AU
Kabel penahan pesawat tempur itu dipasang di landasan pacu pangkalan udara (lanud) untuk menahan lajunya pesawat tempur yang gagal lepas landas, abort take off, atau untuk menahan pesawat yang mendarat tetapi mengalami overshoot, alias kebablasan. Perangkat kabel penahan laju pesawat dan segala perlengkapannya diberi label BAK (Barrier Arresting Kit) -12 mobile yang beratnya mencapai 24 ton. Arresting cable ini digunakan untuk menjaga kemungkinan pengoperasian pesawat tempur F-16 Fighting Falcon, terlebih bila F-16 dioperasikan di lanud yang landas pacunya kurang panjang.
Karena perangkat yang mencapai 24 ton, maka pengangkutan perangkat BAK-12 harus menggunakan dua unit pesawat angkut sekelas C-130 Hercules. Jumlah teknisi yang menangani instalasi perangkat ini mencapai 20 orang.
Baca juga: C-130H MP Hercules – Pesawat Intai Maritim TNI AU Dengan Kemampuan Long Endurance
Dengan peran untuk mengamankan pesawat tempur yang batal lepas landas karena terjadi kelainan di saat pesawat itu sudah lari dengan kencang di landasan pacu, maka arresting cable dipasang 500 meter dari ujung landasan. Harapannya, bila sebuah F-16 batal lepas landas, maka sebelum sampai ke ujung landasan sudah ditahan oleh kabel ini. Begitu pula bila terjadi kasus sebuah pesawat yang mendarat kelewat di tengah, maka di samping penerbang berusaha mengentikan luncuran pesawat sebelum mencapai ujung landasan, sudah ada alat yang menjamin pesawat itu tidak terjungkal di ujung runway.
Untuk memasang arresting cable di landasan, 20 teknisi TNI AU membutuhkan waktu seharian. Kabelnya sendiri tidak berat. Kabel baja yang dipasang melintang landasan pacu, kabel ini terbuat dari baja berdiameter 3 cm, dan diletakkan 8 cm di atas permukaan landasan dengan disangga donat karet. Kalau di kapal induk kabel yang dipasang bisa berjumlah tiga buah, sementara TNI AU hanya menggunakan satu buah saja.Dari spesifikasi, kabel baja penahan laju pesawat punya panjang bervariasi, mulai dari 60 meter, 45 meter, dan 30 meter, dan dipilih sesuai lebar landasan, disambung dengan ban nilon selebar 20 cm, tepat di pinggir landasan. Ban nilon itu kemudian dihubungkan dengan mesin penggulung yang sekaligus berfungsi sebagai mesin rem, yang dipasang 50 meter dari tepi landasan.
Namun, sebelum masuk ke mesin penggulung, ban nilon itu masuk ke alat pengatur yang berbentuk box baja yang memanjang dengan 60 patok penahan dari baja. Patok-patok penahan itu juga terdapat pada mesin penggulung, dimana jumlahnya lebih sedikit, 16 buah. Dengan demikian, peralatan penahan yang ada di tepi landasan itu diperkuat oleh 76 buah patok baja yang ditancapkan sedalam masing-masing satu meter. Itu baru di satu sisi landasan. Sama halnya dengan sisi yang lain, sehingga jumlah patok penahan menjadi 152 buah. Inilah yang menyebabkan pemasangan arresting cable berlangsung sehari penuh. Pekerjaan yang melelahkan itu memang tidak percuma, karena dengan alat itu sebuah pesawat tempur yang harganya puluhan miliar rupiah serta sulit pengadaannya, dapat diselamatkan dari keusakan dan dapat beroperasi kembali.


Mampu Menahan Beban 40 Ton
Dengan kabel baja yang hanya bergaris tengah 3 cm serta di dukung oleh alat-alat lain beratnya 24 ton, arresting cable dapat menahan beban sebesar 40 ton. Luncuran jet tempur F-16 dengan dibantu sistem rem yang ada di pesawat, maka kabel mampu menahannya dengan baik, bahkan hingga 50 kali pemakaian. Setiap kali penggunaan, seluruh peralatan harus diperiksa kembali. Dan bila tidak pernah digunakan, maka kabel maksimal empat tahun harus diganti. Dan ban nilon, selama enam bulan terus menerus dipasang di lapangan, harus pula diganti.
Dengan cara memasang kabel setinggi delapan centimeter di atas permukaan landasan, maka gerakan semua pesawat yang lalu lalang di atasnya tidak terganggu. Dipasangnya arresting cable dilandasan pacu, sama sekali tidak mengganggu roda pesawat yang melindasnya. Pesawat F-16 yang kecil dan rendah saja tidak terganggu, apalagi bagi pesawat-pesawat komersial yang berbadan lebar, tidak akan terasa bila menginjak kabel ini.


Dalam simulasi, bila sebuah pesawa tempur akan menggunakan kabel penahan ini, sebelum mencapai kabel, penerbang harus menurunkan hook, pengait yang ada di bagian bawah ekor. Karena kabel bisa bergerak bebas, maka pada saat hook mengait kabel, kabel akan terbawa mengikuti arah luncuran pesawat. Ketika itu mesin pengeram akan bekerja otomatis untum menahan gerakan pesawat secara perlahan sampai ia berhenti, yakni 300 meter dai posisi semula. Karena tertarik pesawat, maka posisi kabel akan tegang. Untuk melepaskan hook dari kabel, maka pesawat cukup dimundurkan sedikit. Kabel yang telah terlepas itu kemudian digulung kembali ke posisi lurus seperti semula dan siap digunakan kembali.
Karena awalnya di dapuk untuk meng-handle F-16, maka gelar arresting cable ini memang hadir di lanud Iswahjudi, Madiun, sebagai home base Skadron Udara 3 F-16. Pada tahun 1994, perangkat ini diboyong ke lanud Hasanuddin, Makassar dalam latihan puncak “Angkasa Yudha.” Saat itu lanud Hasanuddin menjadi pangkalan aju untuk F-16 Skadron Udara 3. Selain lanud Hasanuddin, kabel penahan laju ini juga dipasang di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Adopsi arresting cable di Lanud Roesmin Nurjadin dianggap sangat penting, mengingat lanud ini telah menjadi home base Skadron Udara 16 yang berisi F-16 C/D Block 52ID.
Baca juga: F-16 C/D Block 52ID – Welcome The New Indonesian Fighting Falcon
Selain menggunakan arresting cable, untuk menahan laju luncurnya, F-16 juga dibekali drag chute. Namun penggunaan drag chute dipangdang kurang efesien dan efektif. Semisal dibutuhkan waktu untuk instlasi parasut bila pesawat yang baru mendarat akan lepas landas kembali. Untuk kemampuan menghentikan laju pesawat pun, kabel penahan dari baja memang lebih tepat. (Ang)
Sudah pernah diprotes dan diralat US Embassy di Jakarta..yg TNI AU punya adalah F 16 block 25id.
Squadron F 16 TNI AU inventory rudal Air to air dan air to land/surface apa saja?
nah, berarti pesawatnya harus berada pda posisi tengah2 kabel itu sendiri y min? trus kalo misal pesawat mau landing tpi turunya berada pda posisi agak nyamping gmn (posisi agak dekat dengan mesing penggulung), apa keseimbanganya masih stabil?
Agar efek kabel penahan bisa maksimal, memang idealnya pesawat landing di bagian tengah landasan.
sayang tdk terpasang di halim. jk memang terpasang mungkin tingkat kerusakan tdk akan separah sprt yg terjadi pd insiden falcon buluk sebelum kaa
tp kata mekanik tni au (yg prnh jd bawahan alm paman) kapasitas debris pd lanud halim memang cukup beresiko. justru di pekanbaru, makassar atau madiun masih lebih bersih dibandingkan halim. makanya lanud halim lbh sering dipake untuk pesawat bermesin turboprop yg lbh toleran thd debris
Nahhh kapal induk helikopter bagus tuh. mudah2an teralisasi 🙂
seandainya pesawat komersial penumpang yang sering tergelincir dipasang hook biar bisa menggunakan alat kabel ini juga meski lebih berat kira2 apa bisa ..?
bung akimforce kapal induk indonesia untuk saat ini bagi saya masuk kategori “mimpi” karena pengembangan yg sangat lama dan butuh melatih kru dan pesawat juga belum kapal2 yg akan jaga kapal induknya
Min yang katanya mau bikin kapal induk kri nusantara itu kapan min bikinya????
besok kalo sudah siap
wah malah baru denger mas, paling rasional kedepan ya sebatas kapal induk helikopter, kami rasa begitu.